Tafsīr Ayat
“Hai orang yang berselimut”; hai orang yang berselimut dengan pakaiannya. Yang dimaksudkan adalah Nabi Muḥammad s.a.w. Panggilan “Hai orang yang berselimut” menunjukkan kelembutan Allah kepada beliau di samping untuk menghibur beliau. As-Suḥailī berkata: “Jika bangsa ‘Arab menginginkan sikap lembut kepada orang yang diajak bicara dan tidak mencelanya, maka mereka menyebutnya dengan kata-kata yang menunjukkan sikapnya. Misalnya sabda Nabi s.a.w. kepada ‘Alī ketika dia sedang marah kepada Fāthimah dan di lambungnya ada debu. “Berdirilah, wahai Abū Turāb (orang yang berdebu).” Ini untuk menunjukkan beliau bersikap lembut kepadanya dan tidak mencelanya. Faedah Kedua, mengingatkan kepada setiap orang yang tidur berselimut agar dia bangun untuk shalat malam dan dzikir kepada Allah. Kata “orang yang berselimut” di sini untuk Nabi s.a.w. dan setiap orang yang berselimut. (7561) Penyebab beliau berselimut adalah seperti yang diriwayatkan dalam hadits shaḥīḥ. Riwayat ini menegaskan, ketika Nabi s.a.w didatangi Jibrīl di gua Ḥirā’ pada permulaan wahyu, beliau kembali kepada Khadījah dengan hati bergetar. Lalu, berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku! Aku sungguh mengkhawatirkan jiwaku.” Nabi s.a.w. memberitahu Khadījah apa yang terjadi padanya. (7572) Maka turunlah ayat: “Hai orang yang berselimut”. Yakni hai orang yang berselimut dengan selimutnya dan berbaring di sudut rumahnya yang menyerupai orang yang ingin istirahat dan menenangkan diri berusaha terlepas dari beban-beban berat. “bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)”; tinggalkan berselimut dan bangkitlah melakukan shalat malam serta bangun dalam beberapa saat untuk beribadah kepada Tuhanmu agar siap menanggung hal yang besar dan urusan yang penting. Yaitu, menyampaikan ajakan Tuhanmu kepada manusia agar mereka mengetahui agama yang baru.
Kemudian Allah menjelaskan kadar waktu yang sebaiknya digunakan Nabi s.a.w. untuk beribadah. “(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu.”; berdirilah kamu untuk shalat dan beribadah pada setengah malam atau kurang dari setengah malam atau lebih dari setengah malam. Yang dimaksudkan adalah waktu untuk beribadah adalah lama, tidak kurang dari sepertiga malam dan tidak lebih dari dua pertiga malam. Ibnu ‘Abbās berkata: “Qiyām-ul-Lail asalnya fardhu (wajib) atas Nabi s.a.w. Sebab Allah berfirman: “bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari”. Kemudian kewajiban ini dinasakh (dihapus atau diganti hukumnya) dengan firman Allah: “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”. (al-Muzzammil [73]: 20). Jarak waktu antara permulaan fardhu tersebut dan nasaknya adalah satu tahun. (7583) Inilah surat yang bagian akhirnya menasakh bagian awalnya. Allah merahmati kaum muslimin, sehingga Dia menurunkan keringanan untuk mereka dengan ayat: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu….” “Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan”; bacalah al-Qur’ān pada saat kamu Qiyām-ul-Lail dengan bacaan perlahan agar membantumu untuk memahami al-Qur’ān dan merenunginya. Al-Khāzin berkata: “Ketika memerintah Nabi s.a.w. untuk Qiyām-ul-Lail, maka Allah memerintah beliau untuk membaca al-Qur’ān dengan tartīl (perlahan-lahan). Ini agar orang yang shalat dapat hadir hatinya dan merenungkan hakikat ayat serta maknanya. Ketika dia berhasil dzikir kepada Allah, maka hatinya merasakan kebesaran-Nya. Ketika dia ingat akan ancaman dan janji Allah, maka dia akan berharap dan takut kepada-Nya. Ketika dia ingat kisah dan perumpamaan dalam al-Qur’ān, maka dia bisa mengambil pelajaran. Dengan demikian, hatinya bersinar karena cahaya ma‘rifat. Terburu-buru dan cepat dalam membaca al-Qur’ān menunjukkan seseorang tidak merenungkan maknanya. Dengan demikian jelaslah, bahwa inti tartil adanya hadirnya hati ketika membaca al-Qur’ān. (7594). Nabi s.a.w. melambatkan dan memutus-mutuskan bacaan huruf demi huruf; maksudnya membaca al-Qur’ān dengan perlahan-lahan dan melafazhkan huruf dengan jelas. Beliau tidak melewati ayat rahmat kecuali berhenti dan memintanya. Tidak melewati ayat siksa, kecuali berhenti dan berlindung darinya. (7605).
Setelah memerintah Nabi s.a.w. untuk meninggalkan tidur, melaksanakan Qiyām-ul-Lail, merenungkan al-Qur’ān dan memahaminya, Allah beralih menyebutkan alasan menunaikan ketiga hal tersebut karena akan menerima tugas berat: “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”; hai Muḥammad, Kami akan menurunkan kepadamu ayat yang besar dan berat, berwibawa, mengagumkan dan agung sebab merupakan firman Maha Raja Yang Maha Mengetahui. Imām ar-Rāzī berkata: “Berat maksudnya dalam hal kedudukannya. Inilah yang dimaksud Ibnu ‘Abbās, bahwa yang dimaksudkan perkataan yang berat adalah perkataan yang agung. Pendapat lain menegaskan, yang dimaksudkan adalah isi al-Qur’ān berupa perintah, larangan yang merupakan taklif berat bagi mukallaf (hamba Allah yang sudah memiliki syarat beban kewajiban). Urutan ayat ini menurut kami adalah Allah menyuruh Nabi s.a.w. untuk shalat malam. Seakan-akan Allah berfirman: “Kami menyuruh kamu untuk shalat malam hanya karena Kami akan menurunkan firman yang agung kepadamu. Jiwamu hanya siap untuk menerimanya dengan melakukan shalat malam. Jika manusia sibuk beribadah kepada Allah dalam malam yang gelap dan dzikir kepada-Nya dengan merendahkan diri di hadirat-Nya, maka jiwanya siap untuk menerima keagungan Allah.” (7616).
Kami (penafsir) berkata: “Makna ini sangat lembut dalam mengaitkan antara shalat malam dengan membaca al-Qur’ān, sebab Allah memerintah Nabi s.a.w. agar mengajak manusia memeluk agama yang terdapat banyak tugas yang berat bagi jiwa. Juga agar Nabi s.a.w. membebani mereka untuk memperhatikan syariat dan hukum Islam. Tugas berat Nabi s.a.w. di atas jelas memerlukan kesabaran dan mujāhadah (kesungguhan). Sebab, tugas itu berarti menyuruh manusia untuk meninggalkan prinsip yang mereka gandrungi dan menjauhi adat kebiasaan yang mereka warisi dari para pendahulu. Karena itu, hai Muḥammad, kamu akan menjadi sasaran mara bahaya dan menghadapi banyak rintangan dalam berdakwah dan mendorong manusia untuk memeluk agama Islam. Lalu, bagaimana mungkin kamu mampu menjalankan tugas penting ini, sedangkan kamu masih berselimut dan beristirahat, jauh dari usaha keras dan mujāhadah dengan lama beribadah, banyak tahajjud dan mempelajari ayat-ayat al-Qur’ān dengan merenungi dan memahaminya? Maka bangkitnya kamu dari tempat tidurmu dan berjagalah dalam sebagian besar malam dalam munajat kepada Allah. Ini agar kamu siap untuk menjalankan beratnya dakwah dan menyebarkan berita gembira ini yaitu agama Islam. Maka Nabi s.a.w. bangkit dan berdiri di hadirat Tuhannya sampai kedua telapak kaki beliau bengkak.
Catatan: