Diriwayatkan oleh al-Firyabī, Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Ḥātim dari jalur ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah: (السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ) “Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu.” Ia menjelaskan: “Penuh, dengan bahasa Ḥabasyah”. Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan darinya, ia berkata: “Terbebani.” Ibnu Abī Ḥātim juga meriwayatkan darinya tentang ayat ini, ia menjelaskan: “Yakni, langit retak-retak.”
إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا. إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَ نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ وَ طَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ وَ اللهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضَى وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ آخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا وَ اسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
73: 19. Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya.
73: 20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(al-Muzzammil [73]: 19-20).
Isyarat dengan perkataan: (إِنَّ هذِهِ) “Sesungguhnya ini” ditujukan kepada semua yang telah lalu, dari ayat-ayat, peringatan, dan nasihat. Isyarat ini ditujukan kepada semua ayat-ayat al-Qur’ān, dan bukan hanya terdapat di dalam surah ini. (فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا.) “Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya.” Yakni, menempuh dengan ketaatan, yang di antara yang terpenting adalah bertauhid kepada Allah sebagai jalan yang dapat menyampaikannya kepada surga.
(إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ) “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam.” Makna (أَدْنَى) “lebih dekat” adalah (أَقَلَّ) “lebih sedikit”, hanya saja “dipinjam” untuknya, karena jarak antara dua masa apabila telah dekat, maka akan lebih sebentar antara keduanya. (وَ نِصْفَهُ) “atau seperdua malam” di-‘athaf-kan kepada (أَدْنَى). Dan (وَ ثُلُثَهُ) “atau sepertiganya” di-‘athaf-kan kepada (وَ نِصْفَهُ), dan maknanya: Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa Rasūl-Nya s.a.w. bangun lebih sedikit daripada dua pertiga malam, beliau bangun setengahnya, dan terkadang sepertiganya.
Kedua lafazh ini (نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ) dibaca dengan nashab oleh Ibnu Katsīr dan ulama Kūfah. Sementara Jumhur ulama membaca (نِصْفِهِ وَ ثُلُثِهِ) dengan jarr karena di-‘athaf-kan kepada (ثُلُثَيِ اللَّيْلِ) “dua pertiga malam” dan maknanya: Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa Rasūl-Nya s.a.w. bangun lebih sedikit daripada dua pertiga malam, lebih sedikit daripada setengahnya, dan lebih sedikit daripada sepertiganya. Qirā’ah jumhur ini dipilih oleh Abū ‘Ubaid dan Abū Ḥātim berdasarkan firman-Nya: (عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ) “Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu.” Tidak akan dapat mengetahui ukuran-ukuran malam dan siang secara sebenarnya. Dan pada partikel (أَنْ) terdapat dhamīr sya’n yang dihilangkan, dan ada yang mengatakan bahwa maknanya: Kalian tidak akan mampu melakukan qiyām-ul-lail.
Al-Qurthubī berkata: “Pendapat yang pertama lebih tepat karena qiyām-ul-lail tidak diwajibkan sepanjang malam sama sekali.” Muqātil dan yang lain berkata: Tatkala diturunkan firman Allah: (قُمِ الَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ) “bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu.” Kaum muslimin merasa kesulitan karenanya, seseorang tidak mengetahui kapan itu pertengahan malam dari sepertiganya, maka ia bangun hingga pada menjelang (waktu subuh) karena takut akan keliru, sehingga kaki mereka bengkak dan wajah mereka menjadi pucat, maka Allah mengasihi mereka dan memberikan keringanan kepada mereka, dan berfirman: (عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ) “Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu.” Yakni Allah mengetahui bahwa kalian sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, karena jika kalian menambahkan batasannya, maka itu akan sangat berat untuk kalian dan memberatkan diri dengan sesuatu yang tidak diwajibkan, dan jika kurang dari kalian, maka itu akan membuat kalian merasa tidak nyaman.
(فَتَابَ عَلَيْكُمْ) “maka Dia memberi keringanan kepadamu.” Yakni Allah kembali kepada kalian dengan permaafan dan memberikan kalian keringanan karena meninggalkan qiyām-ul-lail yang telah Dia wajibkan karena kalian tidak mampu melaksanakannya. Asal makna taubat adalah kembali, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Maka maknanya: kembali dari pemberatan kepada keringanan dan dari kesulitan kepada kemudahan.
(فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ) “karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān.” Yakni, bacalah di dalam shalat malam ayat-ayat al-Qur’ān yang mudah dan ringan bagi kalian, tanpa harus memantau waktu. Al-Ḥasan berkata: “Yaitu, apa yang kau baca dalam shalat maghrib dan ‘isyā’.” As-Suddī berkata: “Juga, bagi orang yang membaca seratus ayat dalam satu malam tidak berarti menentang al-Qur’ān.” Ka‘b berkata: “Siapa yang membaca seratus ayat dalam satu malam dicatat sebagai orang yang taat.” Sa‘īd berkata: “Lima puluh ayat.”
Pendapat lain mengatakan makna (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān” maka shalatlah sesuai yang kalian mampu dari shalat malam, dan shalat juga terkadang dinamakan al-Qur’ān, sebagaimana firman Allah: (وَ قُرْآنَ الْفَجْرِ) “dan (dirikanlah pula shalat) subuh.” (Qs. Al-Isrā’ [17]: 78).
Ada yang mengatakan bahwa ayat ini me-nasakh kewajiban qiyām-ul-lail, setengahnya, kurang dari setengah, dan lebih darinya. Maka dimungkinkan bahwa ayat ini mengindikasikan kewajiban yang valid, atau barangkali telah di-nasakh oleh firman Allah: (وَ مِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا.) “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Al-Isrā’ [17]: 79).