Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani – Bagian 4

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani

(يَوْمَ تَرْجُفُ الْأَرْضُ وَ الْجِبَالُ) “Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan”. Manshūb-nya zharaf (يَوْمَ) entah dengan lafazah (وَ ذَرْنِيْ) “Dan biarkanlah aku” (Qs. al-Muzzammil [73]: 11) atau dengan istiqrār yang berkaitan dengannya (وَ لَدَيْنَا) “pada sisi Kami”, atau ia merupakan sifat untuk (عَذَابًا), maka berkaitan dengan sesuatu yang dihilangkan (maḥdzūf), yakni: (عَذَابًا واقعا يَوْمَ تَرْجُفُ) “Adzab yang menimpa pada hari bergoncang”, atau terkait dengan (أَلِيْمًا) “yang pedih.”

Jumhur ulama membaca (تَرْجُفُ) dengan harakat fatḥah pada tā’ dan dhammah pada jīm dengan posisi mabnī lil-fā‘il. Sementara Zaid bin ‘Alī membaca dengan bentuk mabnī lil-maf‘ūl, diambil dari akar kata (أرْجُفُ), dan maknanya: bergerak dan terombang-ambing dengan semua yang ada di atasnya. (الرَّجْفَةُ) artinya guncangan dan getaran yang sangat kuat.

 

(وَ كَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيْبًا مَّهِيْلًا.) “dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.” Yakni menjadilah gunung-gunung…. di sini disebutkan dengan bentuk lampau (mādhī), untuk memastikan terjadinya. (الكثيب) adalah pasir yang bertumpuk-tumpuk. (المهيل) adalah yang lewat di bawah kaki.

Al-Wāḥidī mengatakan: “Yakni, pasir yang mengalir.” Dikatakan untuk segala sesuatu yang dihamburkan, baik itu debu atau makanan maka disebut (أهلته هيلا). Adh-Dhaḥḥāk dan al-Kalbī berkata: (المهيل) adalah sesuatu yang apabila engkau injak dengan kaki, maka akan luluh dari bagian bawahnya, dan apabila engkau ambil bagian bawahnya maka ia akan hancur.

 

(إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُوْلًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ) “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang Rasūl, yang menjadi saksi terhadapmu”. Khithāb (pembicaraan) di sini ditujukan kepada orang-orang kafir Makkah atau kepada semua orang kafir dan Nabi Muḥammad s.a.w. maknanya: Rasūl itu akan menjadi saksi terhadapmu pada Hari Kiamat kelak dengan amal-amal perbuatanmu. (كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلًا.) “sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasūl kepada Fir‘aun”. Yaitu, Mūsā a.s.

 

(فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ) “Maka Fir‘aun mendurhakai Rasūl itu”. Yang telah Kami utus kepada mereka, dan Fir‘aun mendustakannya, serta tidak beriman kepada apa yang ia bawa. Kedudukan kāf di sini adalah nashab karena sebagai sifat untuk mashdar yang dihilangkan, dan maknanya: Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul, kemudian kamu mendurhakainya, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir‘aun seorang rasul dan ia mendurhakainya.

 

(فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيْلًا.) “lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat”. Yakni, siksaan yang keras dan berat. Maknanya: Kami menyiksa Fir‘aun dengan siksaan yang keras dengan ditenggelamkan (di laut). Di sini terdapat sisi penakut-penakut kepada orang-orang kafir Makkah, bahwa akan turun kepada mereka siksaan sperti yang telah diturunkan kepada Fir‘aun, meskipun bentuk siksaannya berbeda.

Az-Zajjāj berkata: “Berat dan tebal.” Di antara penggunaan kata ini dikatakan untuk hujan yang deras (وَابِل), dan al-Akhfasy berkata: Keras, dan maknanya saling berdekatan (mirip). Juga dikatakan untuk makanan (وَبِيْل) apabila ia tidak habis. Di antara contoh penggunaannya juga adalah perkataan al-Khansā’:

لَقَدْ أَكَلَتْ بُجَيْلَةُ يَوْمَ لَاقَتْ فَوَارِسَ مَالِكٍ أَكْلًا وَبِيْلًا

Bujailah makan pada hari ia bertemu ksatria-ksatria raja makanan yang banyak.”

 

(فَكَيْفَ تَتَّقُوْنَ) “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu”. Yakni, bagaimana kamu dapat menjaga dirimu sendiri, (إِنْ كَفَرْتُمْ) “jika kamu tetap kafir”. Yakni, jika kamu tetap dalam kekufuranmu, (يَوْمًا) “kepada hari”. Yakni siksaan pada hari: (يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيْبًا.) “yang menjadikan anak-anak beruban.” Karena sangat mengerikannya. Yakni, anak-anak berubah menjadi orang tua dan beruban. (الشيب) adalah bentuk jama‘ dari (أشيب) “beruban”, ini bisa saja secara hakiki bahwa mereka menjadi demikian, atau sebagai perumpamaan orang yang menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan akan melemah kekuatannya dan seluruh anggota badannya menjadi lemas, dan menjadi seperti orang yang lanjut usia dari sisi kelemahan dan hilangnya kekuatannya. Ini merupakan kecaman dan celaan yang besar bagi mereka. Al-Ḥasan berkata: Yakni, bagaimana kamu dapat terjaga pada hari yang menjadikan anak-anak beruban, jika kalian tetap ingkar.

Demikian pula Ibnu Mas‘ūd dan ‘Athiyyah membaca (يَوْمًا) sebagai maf‘ūl bih (obyek penderita) untuk (تَتَّقُوْنَ), Ibn-ul-‘Anbarī berkata: “Di antara mereka ada yang me-nashab-kan lafazh (اليوم) dengan adanya kalimat (كَفَرْتُمْ), dan ini adalah pendapat yang jelek. (الْوِلْدَانَ) berarti (الصبيان) “anak-anak kecil”

Kemudian Allah menambahkan deskripsi kedahsyatan pada hari itu, Dia berfirman: (السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ) “Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu”. Yakni, retak-retak karena kedahsyatan hari itu dan kengeriannya. Kalimat ini merupakan sifat yang kedua untuk (يَوْمَ), dan bā’ ini adalah sababiyyah. Ada yang mengatakan bahwa bā’ di sini bermakna (فِيْ) “di dalam”, yakni (مُنْفَطِرٌ فِيْهِ), ada juga yang mengatakan bā’ tersebut bermakna lam, yakni (مُنْفَطِرٌ لَهُ). Di sini disebutkan (مُنْفَطِرٌ) dan bukan (مُنْفَطِرَةٌ), karena langit di sini telah berubah menjadi sesuatu yang lain, dan tidak ada yang tersisa darinya selain yang bisa dinamakan dengan “sesuatu”. Abū ‘Amr bin al-A‘lā: Allah tidak menyebutnya (مُنْفَطِرَةٌ) karena secara majaz ia adalah atap (السقف). Sebagaimana dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī:

فَلَوْ رَفَعَ السَّمَاءُ إِلَيْهِ قَوْمًا لَحِقْنَا بِالسَّمَاءِ وَ بِالسَّحَابِ

Kalau saja langit mengangkat suatu kaum kepadanya, tentu kita akan menyusul langit dengan awan.”

Maka ini seperti dalam firman-Nya: (وَ جَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوْظًا) “Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara.” (Qs. al-Anbiyā’ [21]: 32). Al-Farrā’ berkata (السَّمَاءَ) “langit” bisa disebut sebagai mudzakkar dan mu’annats. Abū ‘Alī al-Fārisī berkata: Ia termasuk dari bab pembahasan sejenis “belalang-belalang yang bertebaran”, “pohon-pohon yang hijau”, dan “batang-batang kelapa yang landai”. Abū ‘Alī juga mengatakan: Yakni langit memiliki keretakan, seperti perkataan (امرأة مرضع) “perempuan menyusui” yakni (ذات إرضاع) “memiliki susuan” melalui jalan keturunan dan terpecahnya langit karena turunnya para malaikat, sebagaimana Allah berfirman: (إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ) “Apabila langit terbelah,” (Qs. al-Infithār [82]: 1) dan firman-Nya: (تَكَادُ السَّموات يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ) “Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas.” (Qs. asy-Syūrā [42]: 5).

Ada juga pendapat yang mengatakan: (مُنْفَطِرٌ بِهِ) “menjadi pecah belah pada hari itu”, yakni oleh Allah, dan maksudnya langit terpecah belah perintah-Nya. Dan pendapat yang pertama lebih tepat.

(كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُوْلًا.) “Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana.” Yakni, janji Allah dengan semua yang dijanjikan-Nya, yang di antaranya akan adanya kebangkitan, perhituangan, dan lain-lain, itu semua pasti akan terjadi, tidak mungkin tidak, maka mashdar di sini disandarkan (mudhāf) kepada maf‘ūl-nya. Dan Muqātil berkata: “Janji-Nya adalah akan meninggikan agama-Nya di atas seluruh agama yang lain.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *