Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

سُوْرَةُ الْمُزَّمِّلِ

AL-MUZZAMMIL (Orang yang Berselimut)

Surah ke 73: 20 ayat.

Firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا.

Hai orang yang berselimut (Muḥammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”

(Qs. al-Muzzammil [73]: 1-2).

Allah s.w.t. menjelaskan bahwa ukuran yang dikehendaki dengan shalat tengah malam yang ada setelahnya: (نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا.) “(Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”, maksudnya adalah, dari setengahnya atau lebih dari setenghanya.

Dalam ayat ini dan setelahnya adalah penjelasan untuk ke-mujmal-an firman Allah s.w.t.: (وَ مِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ) “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (Qs. al-Isrā’ [17]: 79).

Di dalamnya terdapat penjelasan tentang cara melakukan ibadah tengah malam, yakni membaca Qur’ān secara perlahan-lahan.

Di dalamnya juga terdapat penolakan terhadap dua masalah yang diperselisihkan:

Masalah pertama, jumlah rakaat shalat malam, delapan rakaat atau lebih?

Nabi s.a.w. diminta untuk memilih waktu dari malam tersebut, dan membiarkan itu sesuai dengan kerajinan, kesiapan, serta waktu istirahatnya, sehingga tidak mungkin beribadah dengan jumlah yang tidak sah dengannya dan tidak boleh melebihinya.

Terdapat perbedaan pendapat tentang shalat malam pada bulan Ramadhān khususnya, dan yang pertama mengambil yang diridhai oleh ulama salaf. Kami telah paparkan pula masalah ini dalam bentuk risalah umum, yakni risalah tarawih lebih dari seribu tahun di masjid Nabi, dan telah ditetapkan pelaksanaannya pada hari ke-20 bulan Ramadhān.

Masalah kedua, apa yang disebutkan oleh para fuqahā’ tentang cara melakukan shalat malam secara umum. Apakah lebih utama banyaknya rakaat karena berarti banyaknya ruku‘ dan sujud, lantaran posisi terdekat seorang hamba kepada Allah s.w.t. adalah ketika bersujud, atau lebih utama lamanya berdiri untuk membaca ayat-ayat al-Qur’ān, karena membaca al-Qur’ān mendapatkan sepuluh kebaikan untuk setiap huruf yang ia baca, lantaran Allah berfirman: (وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا.) “Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan”. (al-Muzzammil [73]: 4) merupakan nash bahwa yang dipertimbangkan adalah membaca al-Qur’ān secara perlahan-lahan. Ayat ini menggunakan bentuk mashdar sebagai penguat untuk makna ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas‘ūd: “Janganlah membacanya seperti menaburkan pasir, dan jangan melantunkannya seperti lantunan pantun, melainkan berhentilah pada setiap keajaiban-keajaibannya dan gerakkanlah hati padanya, sehingga kalian tidak akan berharap berhenti di akhir surah.”

Ummu Salamah r.a. menjelaskan bacaan Rasūlullāh s.a.w. dengan menyatakan: Beliau memutuskan bacaannya ayat demi ayat: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ) “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai Hari Pembalasan.” (Qs. al-Fātiḥah [1]: 1-4). (HR. Aḥmad). (2471).

Dalam Shaḥīḥ dari Anas yang ditanya tentang bacaan Rasūlullāh s.a.w., maka ia menjawab: Aku memanjangkan, kemudian membaca: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.) “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” dengan memanjangkan (بِسْمِ اللهِ), (الرَّحْمنِ), dan (الرَّحِيْمِ). (2482).

 

Peringatan

Mād memiliki batas tertentu dalam ilmu tajwid berdasarkan yang diajarkan oleh para ahli qira’at, jika melebihi berarti mempermainkan, dan jika kurang berarti kesembronoan dalam hal bacaan.

Dari sini diketahui bahwa orang-orang yang membaca al-Qur’ān seperti yang lainnya dalam hal melakukan perenggangan dan penambahan, sehingga tidak menjaga makna ayat, dan ini tidak berarti melarang memperindah suara bacaan, sebagaimana petunjuk Nabi s.a.w.: (زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ) “Hiasilah al-Qur’ān dengan suara kalian.” (2493).

Abū Mūsā berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Jika aku tahu engkau mendengarkan bacaanku, maka aku akan membaguskannya untuk engkau.” Inilah sifat yang mudah terlihat dari tujuan bacaan, yakni memikirkan dan merenungkan, sebagaimana dalam firman Allah: (أَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ.) “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān?” (Qs an-Nisā’ [4]: 82 Sebagaimana itu adalah sifat yang dengannya tersedia tujuan berupa kekhusyu‘an hati, seperti firman Allah: (اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ حُلُوْدُهُمْ وَ قُلُوْبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ.) “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’ān yang serupa (muta ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (Qs. az-Zumar [39]: 23) serta tidak berpengaruh pada hati dan kulit kecuali dibaca secara pelan. Jika pembacaannya seperti syair atau perkataan biasa, maka tidak dapat dipahami, dan jika dilagukan seperti nyanyian, maka tidak akan membekas di hati, maka hendaknya dibaca pelan-pelan sebagaimana dijelaskan Nabi s.a.w.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا.

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat

(Qs. al-Muzzammil [73]: 5).

Telah maklum bahwa kata (قَوْل) di sini sebagaimana firman Allah: (إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ) “Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrīl).” (Qs. at-Takwīr [81]: 19).

(وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقُوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ) “Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (al-Qur’ān) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran”. (Qs. al-Qashash [28]: 51).

(إِنَّهُ لَقُوْلٌ فَصْلٌ) “Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil.”. (Qs. ath-Thāriq [86]: 13).

(وَ مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلًا) “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (Qs. an-Nisā’ [4]: 122).

Akan tetapi, penyifatannya dengan (ثِقَالٌ) padahal kata tersebut untuk timbangan, dan itu bersifat indrawi.

Sebagian mufassir berkata: Sesungguhnya kata (ثِقَالٌ) berlaku pada timbangan pahala. Ada juga yang mengatakan pada pembebanannya. Yang lain mengatakan pada saat turunnya kepada beliau. Semua itu ditetapkan pada al-Qur’ān. Dari segi penurunannya telah ditetapkan bahwa jika Nabi s.a.w. kedatangan wahyu maka beliau merasakan tekanan yang hebat, (2504) dan wajah beliau memerah, (2515) dan jika wahyu turun dalam perjalanan di atas kendaraan maka untanya (2526) seketika menderum.

Terdapat riwayat dari Anas bahwa suatu ketika Nabi s.a.w. meletakkan kepala beliau di atas pahanya, kemudian wahyu datang. Anas berkata: Seakan-akan pahaku hampir terlepas dariku. (2537).

Dari sisi pembebannya, maka terasa berat bagi langit, bumi dan gunung dan mereka khawatir tidak bisa menanggung amanat tersebut sebagaimana telah maklum.

Dan dari sisi pahalanya, dalam hadits Muslim dijelaskan:

الْحَمْدُ للهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ وَ سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ تَمْلَآنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ.

“Al-Ḥamdulillāh” memenuhi timbangan, “subḥānallāh” dan “al-ḥamdulillāh” keduanya memenuhi di antara langit dan bumi.” (2548).

Juga hadits Bithaqah yang semuanya memperkuat antara satu dengan yang lainnya, bukan menafikannya.

Allah s.w.t. menjelaskan mengenai “beban berat” bahwa Allah terkadang meringankannya kepada kaum muslim sebagaimana dalam hal shalat melalui firman-Nya: (وَ إِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ، الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلَاقُوْا رَبِّهِمْ) “Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 45-46).

Al-Qur’ān juga berat bagi orang kafir dan ringan bagi orang beriman, serta menarik hati mereka (orang beriman).

Terdapat dalam atsar bahwa sebagian salaf melakukan shalat malam seluruhnya dengan surah al-Qur’ān karena kenikmatan dan kepuasan, sebagaimana firman-Nya: (وَ لَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ) “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran.” (Qs. al-Qamar [54]: 17). Itu berat dalam timbangannya namun berat dalam bebannya. Akan tetapi Allah s.w.t. meringankan dan memudahkannya bagi orang yang diberi-Nya petunjuk dan dikehendaki-Nya.

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءًا وَ أَقْوَمُ قِيْلًا.

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‘) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan

(Qs. al-Muzzammil [73]: 5).

Maksudnya, apa yang membangunkannya berupa shalat malam adalah lebih tepat untuk hati, dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan dalam pembacaan, memikirkan, dan merenungkan, dan selanjutnya dengan pengaruhnya. Di dalamnya terdapat petunjuk kepada apa yang menandingi berat ini dari perkataan yang akan diturunkan, yakni dalam kedudukan sebagai pemberi petunjuk kepada sesuatu yang menjadi bekal untuk menanggung berat beban da‘wah dan risalah.

Saya mendengar dari syaikh perkataannya: Al-Qur’ān tidak bisa menetap dalam dada dan tidak mudah menghapalnya, serta tidak mudah memahaminya kecuali dilakukan di tengah malam. Allah s.w.t. tidak membiarkan dan menolaknya dari malam yang panas dan dingin. Makna ini diambil dari firman Allah s.w.t.: (وَ اسْتَعِيْمُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلَاةِ) “Dan minta pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 45).”

Jadi, bila Nabi s.a.w. tertimpa sesuatu maka beliau meminta tolong kepada shalat. (2559).

Demikian juga di sini, bangun pada waktu malam adalah sebagai perlindungan Nabi s.a.w. atas apa yang akan diturunkan kepada beliau berupa perkataan yang berat.

 

Masalah

Shalat malam hukumnya wajib bagi Nabi s.a.w. sebelum diwajibkannya shalat lima waktu, berdasarkan firman Allah s.w.t.: (وَ مِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ) “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (Qs. al-Isrā’ [17]: 79).

Kata (نَافِلَةٌ) berarti (زِيَادَةٌ), dan dikatakan: Shalat malam hukumnya fardhu bagi Nabi s.a.w. dan kaum muslim, berdasarkan firman Allah s.w.t.: (إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَ نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ وَ طَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ) “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu” (Qs. al-Muzzammil [73]: 20).

Dia lalu meringankan semua ini dengan firman-Nya:

(فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ) “Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”. Hingga (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya” (Qs. al-Muzzammil [73]: 20).

Akan tetapi, jika Nabi s.a.w. melakukan sesuatu maka beliau melanggengkannya, sehingga beliau melakukan shalat malam sebagai bentuk syukur kepada Allah s.w.t., sebagaimana dalam hadits ‘Ā’isyah r.a. (أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا) “Apakah tidak sebaiknya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur,” (25610) dan tetap menjadi amalan sunnah bagi selain beliau dengan ukuran yang memudahkan bagi mareka.

Catatan:


  1. 247). Al-Musnad (6/302). 
  2. 248). HR. al-Bukhārī dalam pembahasan tentang keutamaan al-Qur’ān (no. 5046). 
  3. 249). Diriwayatkan dari al-Barrā’ bin ‘Āzib: Abū Dāūd dalam pembahasan tentang shalat (no. 1468), an-Nasā’ī dalam pembahasan tentang iftitāḥ, bab: Menghiasi al-Qur’ān dengan Suara, Ibnu Mājah dalam pembahasan tentang mendirikan shalat (no. 1342), Aḥmad dalam al-Musnad (2/283), dan ad-Dārimī dalam pembahasan tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’ān, bab: Melagukan al-Qur’āan. 
  4. 250). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: Muslim dalam pembahasan tentang tobat (no. 56). 
  5. 251). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya. 
  6. 252). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: Aḥmad dalam al-Musnad (6/118). 
  7. 253). HR. al-Bukhārī dalam pembahasan tentang jihad (no. 2832), Abū Dāūd dalam tafsir al-Qur’ān (no. 2507), at-Tirmidzī dalam tafsir al-Qur’ān (no. 3033), an-Nasā’ī dalam pembahasan tentang jihad, bab: Keutamaan Orang-orang yang Ikut Berperang dan Orang-orang yang Tidak Ikut Berperang, serta Aḥmad dalam al-Musnad (5/184, 190). 
  8. 254). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya. 
  9. 255). Diriwayatkan dari Ḥudzaifah bin al-Yaman: Ibnu Jarīr ath-Thabarī dalam Jāmi‘-ul-Bayān (1/205). 
  10. 256). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a.: Al-Bukhārī dalam tafsir (no. 4837) dan Muslim dalam pembahasan tentang sifat-sifat orang munafik dan hukum mereka (no. 81). Diriwayatkan dari al-Mughīrah bin Syu‘bah: al-Bukhārī dalam tafsir (no. 4836) dan Muslim dalam pembahasan tentang sifat-sifat orang munafik dan hukum mereka (no. 79 dan 80). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *