Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Mishbah (4/5)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Mishbah

AYAT 17-18

Maka bagaimana kamu akan memelihara diri kamu jika kamu ingkar kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban. Langit terpecah disebabkan olehnya; dan adalah janji-Nya terlaksana.”

Setelah ayat-ayat yang lalu menggambarkan jatuhnya siksa kepada Fir‘aun yang telah mencapai puncak kedurhakaan, umat manusia generasi Nabi Muhammad dan generasi berikutnya diperingatkan bahwa: Maka bagaimana kamu akan memelihara dan membela diri kamu dari jatuhnya siksa Allah jika kamu tetap ingkar kepada hari yang demikian dahsyat dan mengerikan sehingga menjadikan anak-anak yang kecil berubah – karena takutnya – menjadi tua dan beruban.” Sedemikian dahsyat hari itu sehingga langit yang kukuh ini menjadi hancur terpecah disebabkan olehnya. Jangan duga ini hanya ancaman. Tidak! Ini adalah janji Allah Yang Maha Kuasa dan adalah janji-Nya pasti terlaksana.

Terjemahan ayat di atas demikian karena kata (يَوْم) yaum/hari dipahami sebagai objek dari kata (كَفَرْتُمْ) kafartum/mengingkari.

Ada juga ulama tafsir memahami kata (يَوْم) yaum/hari sebagai keterangan tentang waktu terjadinya siksaan sehingga, jika demikian, terjemahan ayat tersebut ialah: “Maka bagaimana kamu akan memelihara diri kamu dari siksaan yang akan terjadi pada hari yang menjadikan anak-anak beruban.”

Kata (شِيْبًا) syīban adalah bentuk jama‘ dari kata (الشَّيْب) asy-syayb/orang tua yang beruban. Pengertian beruban diambil dari kata tersebut yang pada mulanya berarti memutih. Gunung yang ditutupi oleh salju sehingga tampak putih dinamai (شِيْب) syīb. Hari-hari turunnya salju dinamai (يَوْم الشَّيْب) yaum-usy-syaib. Bulan Desember di mana udara di negeri-negeri ‘Arab sangat dingin sehingga di beberapa bagian turun salju dinamai juga bulan (شَيْبَان) Syaibān. Itu sebabnya orangtua yang telah memutih rambutnya dinamai asy-Syayb/syīban.

Sementara ulama memahami penggalan ayat ini dalam arti hakiki. Sehingga, mereka menyatakan bahwa ketika kiamat nanti anak-anak kecil akan menjadi tua. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama tafsir, mereka cederung memahaminya dalam arti majāzi.

Ada yang mengartikannya sebagai kiasan tentang panjangnya waktu ketika itu, walaupun disertai dengan catatan bahwa ini bukan berarti bahwa kiamat adalah “sepanjang rentang waktu antara masa kanak-kanak dan masa tua beruban.”

Penulis cenderung memahami ayat di atas sama dengan pemahaman ulama lain yang menyatakan bahwa ia adalah kiasan tentang “sulitnya keadaan”. Hari itu adalah hari yang sangat meresahkan dan mengkhawatirkan setiap makhluk. Benar bahwa kesulitan yang silih berganti dialami seseorang dapat menjadikannya tampak tua, bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dari Ibn ‘Abbās bahwa suatu ketika Sahabat Nabi Abū Bakr melihat uban di kepala beliau, maka sahabat itu menyampaikannya dan Nabi bersabda: “Surah-surah Hūd, al-Wāqi‘ah, al-Mursalāt, ‘Amma, dan Idz-asy-Syamsu Kuwwirat telah menjadikan aku tua dan beruban.” Surah-surah tersebut berbicara antara lain tentang Hari Kemudian. Sekali lagi, penulis katakan bahwa, walaupun benar kesulitan serta pikiran yang kacau yang menggelisahkan serta menakutkan dapat menjadikan seseorang beruban, ini bukan berarti bahwa ayat 17 di atas harus dipahami dalam arti panjangnya waktu atau beralihnya anak-anak menjadi tua.

Huruf (بــــ) bā’ pada kata (بِهِ) bihi dapat diartikan pada atau ketika dan dapat pula diartikan sebab.

Sementara ulama membedakan antara kata (وَعْد) wa‘d dan (وَعِيْد) wa‘īd. Yang pertama berarti janji baik/membahagiakan dan yang kedua berarti janji yang mengerikan/menakutkan. Ayat ini menggunakan kata wa‘d dan dengan demikian – kata mereka – ia tidak dapat dipahami kecuali dalam arti janji-janji baik. Dari sini, ada yang memahaminya sebagai janji Tuhan untuk memenangkan Rasul s.a.w. dalam perjuangan beliau di dunia dan ada pula yang memahaminya bahwa janji Tuhan yang pasti terlaksana itu kelak di hari Kemudian adalah janji-janjiNya memberikan ganjaran kepada yang taat. Adapun ancaman-ancamanNya, dapat saja dibatalkan oleh-Nya berdasarkan hikmah kebijaksanaan-Nya.

Kata (وَعْد) wa‘d/janji dihubungkan dengan Allah tapi tidak menyebut secara eksplisit nama atau sifat-Nya, hanya menyebut pengganti nama-Nya dengan menyatakan adalah janji-Nya. Pengganti nama biasanya harus didahului oleh penyebutan, sedang sebelum ayat ini tidak pernah disebut secara eksplisit nama Allah. Hal ini, menurut sementara ulama, untuk mengisyaratkan bahwa janji-janji tersebut tidak dapat terlaksana kecuali melalui Dia (Allah) sendiri, tanpa menyebut nama-Nya, sekalipun orang seharusnya sadar bahwa keadaan hari Kemudian sebagaimana yang digambarkan di atas hanya dapat dilakukan oleh-Nya sendiri.

 

AYAT 19

Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka, barang siapa yang menghendaki niscaya ia akan menempuh menuju Tuhannya jalan (yang jelas).

Setelah ancaman-ancaman di atas, kembali al-Qur’ān mengingatkan bahwa: Sesungguhnya ini, yakni ayat-ayat al-Qur’ān, termasuk yang memaparkan hakikat-hakikat di atas adalah suatu peringatan dan nasihat. Maka, barang siapa yang menghendaki, niscaya ia akan menempuh menuju Tuhannya saja, tidak kepada selain-Nya jalan yang jelas lagi damai.

Kata (سَبِيْلًا) sabīlan terulang sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk jama‘. Di sisi lain, ditemukan bahwa kata tersebut sering kali dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula manusia yang durhaka. Banyak jalan yang terhampar tetapi yang diridhai Allah adalah jalan-jalan yang bercirikan kedamaian. Jalan-jalan itulah pada akhirnya bermuara kepada “ash-Shirāth-ul-Mustaqīm” atau kumpulan jalan-jalan yang bercirikan kedamaian itulah yang dinamai ash-Shirāth-ul-Mustaqīm.

Allah berfirman dalam QS. al-Mā’idah [5]: 15-16:

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَ كِتَابٌ مُبِيْنٌ، يَهْدِيْ بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَ يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَ يَهْدِيْهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.

Telah datang kepada kamu dari Allah cahaya dan Kitāb (al-Qur’ān) yang jelas. Dengannya Allah mengantar orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan kedamaian, dan mengeluarkan mereka itu dari aneka kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Ayat ini dapat dipahami sebagai ajakan kepada manusia untuk memilih jalan yang dikehendakinya termasuk memilih salah satu atau lebih dari jalan-jalan kedamaian.

Apa pun sabīl/jalan yang ditempuh oleh manusia, pasti pada akhirnya ia bertemu dengan Tuhan.

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيْهِ.

Hai manusia, sesungguhnya kamu bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqāq [84]: 6).

Setiap perjalanan atau setiap kegiatan menuju sesuatu membutuhkan jalan, baik perjalanan atau kegiatan itu positif maupun negatif. Setiap langkah pada akhirnya mendekatkan kepada tujuan tersebut. Allah s.w.t. dalam hal ini adalah tujuan akhir, tetapi akhir tersebut bukan dalam pengertian “batas” sebagaimana batas geografis.

Jika anda berjalan menuju ke Bandung, tujuan yang menjadi batas perjalanan anda adalah Bandung. Anda tidak akan dinamai mencapai tujuan jika anda baru sampai di Bogor atau Puncak karena dalam hal ini Bandung merupakan batas geografis dari perjalanan anda.

Perjalanan menuju Tuhan tidak demikian. Di mana pun anda tiba, ke mana pun perjalanan anda serta apa pun kualitasnya, pasti pada akhirnya anda menemui-Nya. Dia Maha Mutlak sehingga mencakup segala-galanya serta meliputi segala-galaNya. Di mana pun anda berhenti, anda pasti menemui-Nya karena Dia Maha Mutlak, tanpa batas, sehingga berada di sepanjang jalan.

Ayat di atas memberikan pilihan kepada manusia untuk memilih jalan (sabīl) yang dikehendakinya dan yang beraneka ragam itu. Ada jalan-jalan dekat penuh kedamaian dan ada pula jalan-jalan yang menyesatkan jauh dan yang menjadikan pejalan jatuh meluncur sebagaimana diisyaratkan oleh firman-Nya:

وَ مَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِيْ فَقَدْ هَوَى.

Barang siapa yang tertimpa oleh amarah-Ku maka ia telah jatuh meluncur” (QS. Thāhā [20]: 81). Sedang, yang menempuh jalan-jalan kedamaian akan melaju ke atas sampai terbuka baginya “pintu-pintu langit”. Pintu-pintu yang tidak pernah akan dibukakan bahkan dijamah oleh orang-orang yang bergelimang di dalam dosa.

إِنَّ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا وَ اسْتَكْبَرُوْا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ.

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit.” (QS. al-A‘rāf [7]: 40). Allah s.w.t. dalam ayat 19 surah ini mengajak umat manusia agar memilih jalan yang mengantar mereka kepada kedamaian abadi dan ketinggian.

Siapa yang ingin menelusurinya silakan, dan siapa yang enggan maka dia sendiri yang menanggung risikonya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *