Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Mishbah (3/5)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Mishbah

KOLOMPOK 2

AYAT 11-20

وَ ذَرْنِيْ وَ الْمُكَذِّبِيْنَ أُوْلِي النَّعْمَةِ وَ مَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا. إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا وَ جَحِيْمًا. وَ طَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَ عَذَابًا أَلِيْمًا. يَوْمَ تَرْجُفُ الْأَرْضُ وَ الْجِبَالُ وَ كَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيْبًا مَّهِيْلًا. إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُوْلًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلًا. فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيْلًا. فَكَيْفَ تَتَّقُوْنَ إِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيْبًا. السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُوْلًا. إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا. إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَ نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ وَ طَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ وَ اللهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضَى وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ آخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا وَ اسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

AYAT 11-13

Dan biarkanlah Aku bersama para pengingkar; pemilik kemewahan dan beri tangguhlah mereka sedikit sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan jaḥīm, serta makanan yang menyumbat dan siksa yang pedih.”

Kelompok ayat yang lalu merupakan tuntunan Allah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. guna menyiapkan mental beliau melaksanakan tugas-tugas dakwah. Di sana diperintahkan tabah, menahan diri, dan bersabar menghadapi gangguan kaum musyrikin. Perintah ini bukan berarti bahwa orang-orang yang mengganggu beliau dibiarkan begitu saja. Tidak! Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah s.w.t. sendiri yang akan menghadapi dan melakukan perhitungan dengan mereka. Allah berfirman: Dan biarkanlah Aku sendiri bersama, yakni bertindak terhadap, para pengingkar itu, yaitu orang-orang pemilik kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sedikit penangguhan atau sedikit waktu, yakni sebentar, karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat yang akan mengikat mereka dan neraka jaḥīm yang bernyala-nyala, serta makanan yang menyumbat di kerongkongan dan siksa yang pedih.

Ayat-ayat di atas seakan-akan berpesan bahwa: Hai Nabi Muḥammad, engkau tidak perlu menghiraukan gangguan mereka, tidak perlu memikirkan bagaimana cara membalas mereka, yang dituntut darimu hanya menyampaikan ajaran, kewajiban, serta wewenang, Kami-lah melakukan perhitungan dengan mereka.

Kata (ذَرْنِيْ) dzarnī/tinggalkan Aku hanya ditemukan tiga kali dalam al-Qur’ān. Ia terambil dari kata (وذر) wadzara yang pada mulanya berarti memutus kemudian pengertian tersebut berkembang sehingga menjadi meninggalkan karena sesuatu yang putus berarti tertinggal. Kata ini dalam al-Qur’ān digunakan dalam konteks ancaman yang keseluruhannya ditujukan kepada yang mendustakan al-Qur’ān.

Kata (النَّعْمَة) an-na‘mah terambil dari kata (نعم) na‘ima yang kemudian mengambil beberapa bentuk, antara lain seperti (نعمة) ni‘mah, (نعيم) na‘īm, (نَعْمَاء) na‘mā’, (أَنْعُم) an‘um dan lain-lain sebagainya. Tentunya terdapat perbedaan-perbedaan arti bagi tiap-tiap kata tersebut walaupun seluruhnya bermuara kepada makna asalnya.

Sementara ulama berpendapat bahwa makna asal bentuk-bentuk tersebut di atas berarti bertambah atau berlebih.

Kata (نَعْمَة) na‘mah hanya ditemukan dua kali dalam al-Qur’ān, pada ayat ini dan pada QS. ad-Dukhān [44]: 25-27. Konteks uraian keduanya selalu berkaitkan dengan sikap kemegahan dan keangkuhan pelaku-pelakunya.

Digunakannya kata (نَعْمَة) na‘mah dengan fatḥah pada huruf nūn, bukan kasrah bukan (نِعْمَة) ni‘mah, untuk menggambarkan bahwa “kelebihan dan nilai tambah” yang mereka peroleh itu mereka gunakan untuk berfoya-foya serta bermegah-megah.

Kata (مَّهِيْلًا) mahīlan berasal dari akar kata (مَهَلَ- مُهْلَة) mahala-muhlah yang antara lain berarti: tenang, perlahan-perlahan. Dari asal makna ini, kata tersebut kemudian berkembang artinya antara lain seperti yang dimaksud oleh ayat ini, yaitu menangguhkan, karena penangguhan mengandung arti ketenangan dan keperlahan-lahanan.

Kata (مَهِّل) mahhil terambil dari kata kerja (مَهَّلَ) mahhala. Bentuk timbangan kata seperti ini mengandung arti tahapan/sedikit demi sedikit, berbeda dengan bentuk kata (أَمْهِل) amhil yang terambil dari kata (أَمْهَلَ) amhala yang menggambarkan keserentakan atau sekaligus.

Ayat 11 surah ini menggunakan bentuk pertama, yakni yang menggambarkan arti pentahapan dan sedikit atau sesaat demi sesaat. Hal ini berarti bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. – dan semua penganjur kebenaran – dituntut oleh ayat ini untuk berkali-kali dan dari saat ke saat bersabar sambil menangguhkan sampai akhirnya tiba saat perhitungan serta pembalasan Tuhan terhadap pengganggu dan pengingkar mereka. Kalau demikian, bila tibanya siksaan dan perhitungan itu?

Istri Nabi Muḥammad, ‘Ā’isyah r.a., dalam suatu riwayat yang dinisbahkan kepadanya berpendapat bahwa ancaman siksa tersebut terlaksana ketika peperangan Badr di tahun ke-2 dari hijrah Nabi s.a.w., atau dengan kata lain sekitar 13 tahun dari turunnya al-Qur’ān.

Sebagian ulama tidak sependapat. Mereka memahami ancaman yang diisyaratkan di sini baru akan terjadi di akhirat kelak. Pendapat ini didukung oleh lanjutan ayat-ayat di atas yang berbicara tentang berbagai macam siksaan ukhrawi.

Kata (لَدَيْنَا) ladainā/pada sisi Kami berbentuk jama‘, sedang ayat 11 menggunakan bentuk tunggal, yaitu dzarnī/biarkan Aku. Bentuk jama‘ ini untuk menggambarkan bahwa di sisi Allah bersama atau melalui malaikat-malaikatNya terdapat beberapa macam alat dan sarana penyiksaan yang kesemuanya pada akhirnya ditetapkan oleh-Nya sendiri. Alat-alat itu sangat luar biasa tidak seperti apa yang tergambar dalam benak seseorang dewasa ini. Makna terakhir ini diperoleh dari kata ladainā yang biasanya digunakan al-Qur’ān untuk mengisyaratkan hal-hal yang bersifat luar biasa atau suprarasional.

Kata (أَنْكَالًا) ankālan adalah bentuk jama‘ dari (نكل) nakl(un) yang ada mulanya berarti penghalang. Kata (نكَل) nakala berarti menghalangi. Siksaan dinamai demikian karena ia diharapkan dapat menghalangi pelaku kejahatan di dunia untuk mengulangi perbuatannya serta menghalangi selainnya untuk melakukan kejahatan yang sama, sedang di akhirat siksaan tersebut menghalangi yang tersiksa untuk bebas berbuat apa yang dikehendakinya.

Kata (جَحِيْمًا) jaḥīman berasal dari (جُحْمَة) juḥmah yang berarti nyala api yang berkobar-kobar sehingga jaḥīm berarti api (neraka) yang berkobar-kobar. Ada juga yang mengartikannya sebagai api di atas api.

Kata (غُصَّة) ghushshah adalah sesuatu yang berada di kerongkongan namun tidak dapat ditelan. Penggalan ayat ini menjelaskan bahwa di sana ada makanan yang menyumbat di kerongkongan yang tidak dapat ditelan, tapi tidak pula dapat dimuntahkan. Bacalah QS. ash-Shāffāt [37]: 64 dan ad-Dukhān [44]: 43. (451).

 

AYAT 14

Pada hari bumi dan gunung-gunung berguncangan dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang beterbangan.”

Ayat-ayat yang lalu menggambarkan beberapa alat penyiksaan terhadap para pendurhaka. Ayat di atas menjelaskan kapan siksaan itu akan terlaksana. Allah berfirman: Siksa yang diancamkan itu pasti akan terjadi pada hari yang bermula ketika bumi dan gunung-gunung berguncangan dengan sangat kerasnya. Menjadilah bumi ketika itu datar sama sekali dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan pasir yang beterbangan.

Kata (يَوْم) yaum dalam bentuk tunggal dan berdiri sendiri terulang di dalam al-Qur’ān sebanyak 365 kali (sebanyak hari-hari sepanjang tahun). Kata ini biasa diterjemahkan dengan hari. Terjemahan ini dapat diterima, hanya saja perlu dicatat bahwa kata tersebut tidak selalu digunakan oleh al-Qur’ān dalam arti dua puluh empat jam. Ia digunakan juga dalam sesaat yang singkat atau periode yang panjang.

Hari berguncangannya bumi dan gunung-gunung, di samping tidak dapat diketahui kapan terjadinya, juga tidak dapat diduga berapa lama berlangsungnya serta berapa ukuran guncangannya menurut skala perhitungan manusia.

Kita tidak dapat memahami arti (يَوْم) yaum/hari di sini sama dengan seribu tahun, walaupun ada ayat yang menyatakan:

وَ إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.

Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu.” (QS. al-Ḥajj [22]: 47) karena perhitungan manusia tentang waktu berbeda satu dengan lainnya bahkan berbeda lamanya dari satu ukuran ke ukuran lainnya.

Kata (كَثِيْبًا) katsīban dari segi bahasa berarti tumpukan pasir, sedang kata (مَّهِيْلًا) mahīlan berarti runtuh sehingga gunung ketika itu digambarkan bagaikan tumpukan-tumpukan pasir yang runtuh. Perlu diperhatikan bahwa gunung tidak lagi berupa tumpukan batu-batu yang kukuh, tetapi ia berubah menjadi tumpukan pasir, itupun dalam keadaan runtuh. Gambaran tentang gunung yang diberikan oleh ayat ini pada hakikatnya adalah salah satu proses dari kehancurannya, proses terakhirnya digambarkan dalam QS. al-Qāri‘ah [101]: 5) di mana dinyatakan bahwa:

وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ.

Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan” sehingga pada akhirnya lokasi tempat gunung itu menjadi datar sama sekali (baca QS. Thāhā [20]: 106).

 

AYAT 15-16

Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang Rasūl menjadi saksi atas kamu sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir‘aun seorang Rasūl. Lalu, Fir‘aun mendurhakai Rasūl itu, maka Kami telah menyiksanya dengan siksa yang pedih.

Ayat-ayat yang lalu menguraikan siksaan ukhrawi, melalui ayat-ayat di atas manusia diingatkan pula tentang kemungkinan siksaan duniawi. Allah berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu, wahai penduduk Makkah bahkan umat manusia seluruhnya yang hidup pada masa turunnya al-Qur’ān dan masa sesudahnya – mengutus seorang Rasūl, yakni Nabi Muḥammad s.a.w., untuk menjadi saksi atas kamu menyangkut sikap dan perbuatan kamu sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir‘aun, yakni penguasa Mesir, seorang Rasūl, yakni Nabi Mūsā a.s. Lalu, Fir‘aun itu mendurhakai dan menentang Rasūl yang Kami utus itu, maka Kami telah menyiksanya dengan siksa yang pedih. Dengan demikian, jika kamu mendurhakai Nabi Muḥammad yang Kami utus, kamu pun dapat Kami siksa sebagaimana Fir‘aun itu.

Diamati bahwa al-Qur’ān sering kali mengkisahkan atau paling tidak menyinggung Fir‘aun dan Musa. Kisahnya terulang sekitar 30 kali, antara uraian panjang atau singgungan pendek, walaupun setiap pengulangan memberikan informasi baru atau tekanan tertentu, pertanyaan tentang pengulangan yang demikian banyak tidak dapat dielakkan.

Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa pengulangan tersebut disebabkan Fir‘aun adalah tokoh pembangkang nomor wahid. Ia dijadikan oleh al-Qur’ān sebagai lambang dari puncak pembangkangan manusia kepada Tuhan, yang manifestasinya antara lain tampak dari pernyataannya bahwa dia (Fir‘aun) adalah satu-satunya tuhan Bani Isrā’īl (QS. al-Qashash [28]: 38). Dalam hal ini, al-Qur’ān ingin menyatakan bahwa jika orang yang seperti dia pun dibinasakan Tuhan walaupun pada detik-detik akhir hayatnya mengakui keesaan Allah (baca QS. Yūnus [10]: 109). Jika yang seperti dia pun dibinasakan, apalagi penguasa dan pembangkang-pembangkang “kecil” selainnya.

Di sini Allah mengingatkan umat manusia seluruhnya bahwa “sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang Rasūl”, jangan membangkang dan mendustakannya karena, jika membangkang, perlakuan Kami terhadap kalian akan sama dengan perlakuan Kami terhadap Fir‘aun dan kaumnya.

Kata (شَاهِدًا) syāhidan terambil dari akar kata (شَهِد) syahida yang antara lain berarti menyaksikan, baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Kesaksian Nabi Muḥammad s.a.w. yang dimaksud di sini antara lain ditunjuk oleh firman-Nya dalam QS. an-Nisā’ [4]: 41:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أَمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَ جِئْنَا بِكَ عَلَى هؤُلَاءِ شَهِيْدًا.

Maka bagaimanakah halnya para pendurhaka nanti apabila Kami menghadirkan seorang saksi atas tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Nabi Muḥammad) sebagai saksi atas mereka?

Fir‘aun, atau Pharaoh (dalam bahasa Inggris), adalah gelar penguasa tertinggi Mesir Kuno, seperti Kaisar untuk Romawi, atau presiden, raja, untuk negara tertentu dewasa ini.

Dalam al-Qur’ān, ditemukan gelar lain untuk penguasa tertinggi Mesir kuno, yaitu (مَلِك) malik/raja. Gelar ini diberikan kepada penguasa yang sezaman Nabi Yūsuf (baca QS. Yūsuf [12]: 43 dan seterusnya).

Apakah ketika itu gelar tertinggi di Mesir adalah Raja? Syaikh Mutawallī asy-Sya‘rawī mengonfirmasikan hal ini yang menurutnya berdasarkan data sejarah. Kalau yang demikian itu benar, ini menunjukkan ketelitian redaksi al-Qur’ān. Namun demikian, kita dapat mengambil kesimpulan lain, yaitu al-Qur’ān menggunakan gelar Fir‘aun bagi penguasa-penguasa Mesir yang durhaka. Ini karena keseluruhan kata tersebut terulang sebanyak 74 kali digunakan al-Qur’ān dalam konteks ini, hal mana berbeda dengan gelar malik/raja yang menunjuk penguasa Mesir pada masa Nabi Yūsuf. Di sini sama sekali tidak terlibat atau berkesan adanya kedurhakaan atau pembangkangan, bahkan justru sebaliknya sikap musyawarah dan keadilan yang diperankan oleh penguasa itu dan yang puncaknya terjadi ketika ia meminta kepada Yūsuf untuk menjadi “orang dekat serta penasihatnya” (Basa QS. Yūsuf 12: 54). Siapa Fir‘aun yang mendurhakai Mūsā, kapan bila ia menjadi sejarahwan berusaha mengungkapnya berdasarkan hasil-hasil penelitian arkelogi dan penemuan-penemuan lainnya.

Dr. Bucaille menguraikan pendapat di antara sejarahwan yang menyatakan bahwa Fir‘aun yang dimaksud bernama “Maneftah”, memerintah di Mesir antara 1224 SM sampai dengan 1214 SM, atau menurut pendapat lain 1204 SM. Maneftah ditemukan muminya di Wād-il-Mulūk (lembah raja-raja) daerah Thaba-Luxor Mesir pada tahun 1896 M dan dibuka pembalut-pembalutnya oleh Eliot Smith seorang ahli purbakala Inggris pada tanggal 8 Juli 1907.

Siksaan yang dijatuhkan kepada Fir‘aun itu bukan disebabkan pribadi Mūsā tetapi karena penolakannya terhadap risalah dan ajaran Ilahi. Makna ini dipahami dari redaksi lalu Fir‘aun mendurhakai Rasūl tidak menyatakan “lalu Fir‘aun mendurhakai Mūsā.”

Di sisi lain, pengulangan kata “Fir‘aun” pada ayat di atas, setelah sebelumnya pada ayat 15 telah disebutkan, adalah untuk mengisyaratkan bahwa manusia yang angkuh dengan segala kemewahan dan keangkuhannya seperti Fir‘aun sekalipun tidak dapat berkutik sedikit pun di hadapan kebesaran dan kekuasaan Allah s.w.t.

Catatan:

  1. 45). Baca volume 12 halaman 325.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *