Surah al-Muthaffifin 83 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الْمُطَفِّفِيْنَ

AL-MUTHAFFIFĪN

Surah Ke-83: 36 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ. وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ. أَلَا يَظُنُّ أُولئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوْثُوْنَ. لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ. يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ. كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.

83: 1. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.

83: 2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,

83: 3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

83: 4. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,

83: 5. pada suatu hari yang besar,

83: 6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?

83: 7. Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn.

83: 8. Tahukah, kamu apakah sijjīn itu?

83: 9. (Ialah) kitab yang bertulis.

83: 10. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,

83: 11. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.

Wailun lil-muthaffifīn (Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang – ayat 1). Yakni, curang mengurangi hak-hak orang lain di dalam takaran dan timbangan. Bisa juga kecurangan di sini berarti kecurangan batin di dalam timbangan hakiki (al-mīzān-ul-ḥaqīqī), yakni prinsip keadilan. Yang ditimbang oleh timbangan hakiki ini adalah akhlak dan amal perbuatan.

Adapun orang-orang yang curang (al-muthaffifīn) adalah mereka yang jika menganggap lebih kesempurnaan dirinya di atas orang lain, mereka minta dipenuhi [diamini] (‘alan-nāsi yastaufūn – ayat 2); mereka juga menampak-nampakkan berbagai keutamaan (fadhā’il) ilmu dan amal mereka lebih dari yang sebenarnya, karena didorong oleh rasa ujub dan sombong.

Wa idzā (dan apabila – ayat 3) mereka membandingkan kesempurnaan orang lain dengan kesempurnaan dirinya, maka mereka mengurangi (menganggap rendah) dan menghinakannya. Mereka tidak bisa bersikap adil dan objektif dalam penilaian itu karena gelapnya jiwa mereka dan senang dilebih-lebihkan di atas orang lain. Ini seperti difirmankan-Nya: …. “Mereka senang dipuji atas apa yang tidak mereka kerjakan.” (Āli ‘Imrān [3]: 188).

Alā yazhunnu ulā’ika annahum mab‘ūtsūn (Tidakkah mereka itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan – ayat 4). Jelasnya, tidakkah mereka yang mengidap sifat rendah atau kezhaliman yang paling keji ini, menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, sehingga terbukalah keutamaan dan kehinaan jiwa mereka. Lalu Allah akan menghisab mereka dan menolak keutamaan dari sekadar ilmu saja.

Liyaumin ‘azhīm (Pada suatu hari yang besar – ayat 5). Tidak seorang pun pada hari itu mampu menampakkan apa yang tidak diamalkan mereka dan menyembunyikan apa yang mereka amalkan. Sebab pada hari itu batin mereka akan terbalik menjadi bentuk lahir rupa mereka, sehingga mereka merasa malu dan merasakan beban kehinaannya.

Yauma yaqūm-un-nāsu li rabb-il-‘ālamīn ([Yaitu] hari [ketika] manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam – ayat 6). Maksudnya, pada hari itu mereka berdiri dari berbagai tingkatan fisik mereka di depan Tuhan semesta alam, dalam keadaan “telanjang” sehingga tak sedikit pun ada yang tersembunyi dari mereka.

Kallā inna kitāb-al-fujjāri lafī sijjīn (Janganlah sekali-kali berlaku curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn – ayat 7). Kalimat “Sekali-kali jangan curang” (kallā) adalah teguran untuk tidak berlaku demikian. Karena sesungguhnya catatan amal mereka yang bersikap rendah dan melanggar prinsip keadilan syariat dan akal itu benar-benar tersimpan di sijjīn. Yang dimaksud dengan sijjīn adalah suatu tempat yang para penghuninya dipenjara dalam suatu ruangan yang amat sempit, sesak dan gelap; mereka merangkak di atas perut seperti kura-kura, ular dan kalajengking. Mereka benar-benar dalam keadaan hina di tingkat wujud (thabī‘at) paling rendah. Itulah (semacam) buku catatan amal orang-orang durhaka. Karena itu, kata sijjīn kemudian dijelaskan Allah s.w.t. dalam firman (selanjutnya).

Kitābun marqūm ([Yaitu] kitab yang tertulis). Jelasnya, itulah tempat dituliskannya amal-amal mereka yang disebut kitāb marqūm, atau kitab yang ditulisi (marqūm) berbagai bentuk sifat-sifat rendah dan kejahatan mereka.

وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ. ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ. كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِيْ عِلِّيِّيْنَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّوْنَ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُوْنَ. إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ. يُسْقَوْنَ مِنْ رَّحِيْقٍ مَّخْتُوْمٍ. خِتَامُهُ مِسْكٌ وَ فِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ.

83: 12. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,

83: 13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu”.

83: 14. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.

83: 15. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.

83: 16. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.

83: 17. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan”.

83: 18. Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyīn.

83: 19. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyīn itu?

83: 20. (Yaitu) kitab yang bertulis,

83: 21. yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).

83: 22. Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yang besar (surga),

83: 23. mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.

83: 24. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.

83: 25. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya),

83: 26. laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.

Wa mā yukadzdzibu bihi illā kullu mu‘tadin atsīm (Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu, melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa – ayat 12). Yang dimaksud orang yang melampaui batas adalah orang yang melampaui batas fitrah insani dengan melanggar prinsip keadilan, baik dengan cara mengurangi ataupun terlalu berlebihan di dalam amal mereka. Sedangkan yang dimaksud orang berdosa adalah orang yang terhijab oleh dosa-dosa berbagai bentuk sifatnya.

Kallā bal rāna ‘alā qulūbihim mā kānū yaksibūn (Sekali-kali tidak [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka – ayat 14). Kalimat “sekali-kali tidak demikian” (kallā) adalah teguran atas dua sikap rendah itu. Maksudnya, amal buruk mereka akan menjadi karat bagi hati mereka yang sangat mengotori hakikatnya, juga tabiat-tabiatnya. Yang dimaksud dengan karat adalah benteng yang terbentuk dari bertumpuk-tumpuknya dosa yang mengakar dalam, sehingga benteng itu akan menjadi hijab dan menutup pintu maghfirah. Kita berlindung dari semua itu. Karena itu, (dalam ayat selanjutnya) Allah berfirman:

Kallā innahum ‘an rabbihim yauma’idzin lamaḥjūbūn. (Sekali-kali tidak [kallā], sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari [rahmat] Tuhan mereka – ayat 15). Kata kallā (sekali-kali tidak) berarti: Jauhilah karat hati itu! Pada hari itu mereka benar-benar tertutup dari [rahmat] Tuhan karena hati mereka tak bisa lagi menerima cahaya atau kembali suci seperti keadaan fitrah semula. Hati demikian tak ubahnya seperti air belerang (yang tak bisa dijernihkan kembali). Sebab, jika air belerang dijernihkan dengan cara disaring atau diuapkan, misalnya, maka tentu ia tak akan kembali menjadi dingin atau tawar karena substansi airnya telah berubah. Ini berbeda dengan air mendidih yang hanya berubah keadaannya saja, tanpa berubah substansinya. Karena itulah, mereka pantas mendapatkan adzab yang kekal dan dijatuhi hukuman dengan firman-Nya:

Tsumma innahum lashāl-ul-jaḥīm. (Kemudian sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka – ayat 16).

Inna kitāb-al-abrāri lafī ‘illiyyīn (Sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu [tersimpan] dalam ‘illiyyīn – ayat 18). Jelasnya, bentuk amal perbuatan orang-orang yang berbahagia, bentuk jiwa-jiwanya yang bercahaya serta sifat-sifat keutamaan mereka, semuanya itu tersimpan dalam ‘illiyyīn. Yang dimaksud dengan ‘illiyyīn, berlawanan dengan sijjīn yang sangat rendah, adalah catatan amal orang-orang baik yang sangat tinggi derajatnya. Ini seperti dijelaskan Allah dalam firman (selanjutnya):

Kitābun marqūm. ([Yaitu] kitab yang bertulis – ayat 20). Jadi, kitāb marqūm adalah tempat mulia yang ditulis bentuk-bentuk amal mereka, bisa berupa benda samawi bisa pula berupa unsur insani.

Yasyhaduh-ul-muqarrabūn (Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan kepada [kepada Allah] – ayat 21). Yakni, tempat itu adalah khusus untuk kekasih Allah (ahlullāh) (11) dari kalangan ahli tauhid sejati (at-tauḥīd-udz-Dzāti).

Inn-al-abrāra lafī na‘īm. ‘alal-arā’iki yanzhurūn. (Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar. Mereka [duduk] di atas dipan-dipan sambil memandang – ayat 22-23). Jelasnya, orang-orang berbakti yang berbahagia dan suci dari sifat kotor jiwa mereka sesungguhnya berada dalam kenikmatan yang besar, berupa surga-surga berbagai sifat dan perbuatan-Nya. Di “kamar mempelai” alam Quddūs yang tersembunyi dari penglihatan orang, mereka [duduk] di atas dipan-dipan yang tak lain adalah maqām-maqām mereka dari nama-nama Ilāhi. Dari atas dipan-dipan itu mereka melihat seluruh tingkata wujud, menyaksikan penghuni surga dan neraka serta pahala dan siksa yang dialami mereka. “Kamar mempelai” itu tak menghalangi mereka untuk melihat semua itu, sementara yang lainnya tak bisa melihat mereka.

Ta‘rifu fī wujūhihim nadhrat-al-na‘īm (Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan – ayat 24). Kesenangan hidup itu berupa kegembiraan, kepercayaan dan berbagai efek kesenangan.

Yusqauna min rahīqin makhtūm (Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak [tempatnya] – ayat 25). Yang dimaksud khamar murni adalah cinta-ruhani yang benar-benar sejati tanpa dicampuri cinta nafsu untuk materi. Cinta murni itu dibatasi oleh batas syariat supaya tidak tercampuri kotoran-kotoran setan berupa cinta-cinta wahm yang diharamkan dan syahwat nafsu yang dimudahkan setan.

Khitāmuhu misk (Laknya adalah kesturi – ayat 26). Yang dimaksud dengan lak adalah hukum syariat tentang berbagai hal mubāḥ (boleh) yang baik untuk jiwa dan memperkuat hati.

Wa fī dzālika falyatanāfas-il-mutanāfisūn (Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba – ayat 26). Jelasnya, untuk minuman cinta ruhani murni yang dibatasi oleh batas-batas syariat itu, berikut kelezatannya yang suci, maka hendaknya orang berlomba-lomba. Karena sesungguhnya minuman cinta-ruhani itu jauh lebih mulia ketimbang belerang merah sekalipun. (22)

وَ مِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيْمٍ. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ. إِنَّ الَّذِيْنَ أَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يَضْحَكُوْنَ. وَ إِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ. وَ إِذَا انْقَلَبُوْا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَ. وَ إِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوْا إِنَّ هؤُلآءِ لَضَالُّوْنَ. وَ مَا أُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حَافِظِيْنَ. فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ

83: 27. Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim,

83: 28. (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

83: 29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.

83: 30. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.

83: 31. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.

83: 32. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”,

83: 33. padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.

83: 34. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,

83: 35. mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.

83: 36. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

Wa mizājuhu min tasnīm (Dan campuran khamar itu adalah dari tasnīm – ayat 27). Jelasnya, campuran khamr murni orang-orang berbakti (al-abrār) itu adalah dari mata air (tasnīm) “golora cinta-hakiki-murni” (al-‘isyq-ul-ḥaqīq-ush-shirf) (33). Itulah “cinta yang terserap ke dalam Dzat” (maḥabbat-udz-dzāt) yang dilambangkan dengan kafur (yang bersifat meliputi), (44) yakni ketika sang hamba terserap ke dalam berbagai cita-rasa khasnya (seperti fanā’, “mabuk” dan cinta – pen.) di dalam Kesatuan (al-jam‘). Mata air yang menjadi campuran khamr murni (raḥīq) itu disebut Tasnīm (yang secara harfiah berarti “tinggi menjulang” hingga mengatasi [sesuatu]) karena ketinggian derajatnya, yakni menjulang tinggi dilihat dari sudut pandang sang hamba yang sudah “turun” kembeli ke kancah kemajemukan makhluk sebagai manifestasi dari berbagai sifat dan nama-Nya (tafshīl). Sebab, mata air Tasnīm itu adalah tingkatan wujud tertinggi. (55) Bahkan, konon, ia mengalir tanpa melalui parit karena keterbebasannya dari tempat, bentuk dan sifat. Lebih jelasnya, (ayat 27 itu menjadi berarti). Sementara mereka mengalami “cinta yang terserap ke dalam sifat-sifatNya” di dalam maqam mereka, mereka pun mengalami “cinta-murni yang terserap ke dalam “Dzat”-Nya itu bercampur dengan “khamr murni” cinta ruhani mereka, karena dari balik hijab sifat-sifatNya, mereka menyaksikan “Dzat”-Nya.

‘Ainan yasyrabu bih-al-muqarrabūn ([Yaitu] mata air yang diminum orang-orang yang didekatkan kepada Allah – ayat 28). Jadi, Tasnīm adalah mata air orang-orang yang benar-benar didekatkan kepada Allah (al-muqarrabūn). Mereka itulah Manusia Paripurna yang telah mencapai tauhid dzat serta teguh (tamkīn) dan tegak bersama Allah (untuk menegakkan keadilan) di tengah-tengah masyarakat (maqām-ul-tafshīl/jalwah).

Karena itu, (rangkaian ayat di atas juga) sekaligus membedakan antara “orang-orang yang didekatkan” (al-muqarrabūn) dengan “ahli ibadah belaka” (al-‘ubbād). Al-muqarrabūn adalah orang-orang yang teguh bersama Allah di tengah-tengah masyarakat (tafshīl), sementara al-‘ubbād adalah orang-orang yang tenggelam di dalam lautan Kesatuan (al-jam‘). Mereka dibedakan dari segi nama, nama minuman mereka berikut penemuan cita-rasanya, serta hakikat minuman mereka. Dari segi nama, yang pertama disebut al-muqarrabūn (yang didekatkan) karena memiliki berbagai cita rasa (asy‘ār) yang jauh berbeda dengan cita-rasa al-‘ubbād itu, sementara itu, mereka yang tenggelam dalam kesatuan disebut ‘ubbād (hamba-hamba Allah), karena memiliki berbagai cita-rasa yang menguasai mereka berikut keistimewaan-keistimewaan yang memungkinkan mereka fanā’, minuman mereka disebut mata air Kafur, karena mengandung cita-rasa menyatu dengan Kesatuan murni, suci-putih tanpa adanya hubungan dan perbedaan (dualisme). (66).

Catatan:


  1. 1). Ahlullāh searti dengan ahl-ul-Ḥaqq, juga dengan ahl-ul-Qur’ān. William C. Chittick, op. cit., h. 388-400 – peny. 
  2. 2). Belerang merah (al-kibrit-ul-aḥmar) adalah lambang kesadaran-ruhani seseorang yang sangat tinggi dan berharga. Belerang merah sangat langka tapi dicari karena bisa mengubah logam biasa menjadi emas murni. Menemukan syaikh seringkali diumpamakan sebagai “menemukan belerang merah”. Menemukan khazanah tersembunyi dalam rahasia diri sendiri adalah belerang merah. Seperti halnya belerang merah bisa mengubah logam menjadi emas, begitu pula seorang guru bisa – dengan izin Allah – mengubah orang menjadi berhati mulia. Amatullah Armstrong, op. cit., h. 149. Ibn Arabi sendiri di gelari belerang merah oleh para pengikutnya. Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, h. 112-pen. & peny. 
  3. 3). Cinta hakiki yang amat bergelora (‘isyq) adalah perkembangan lanjut dari cinta-ruhani (maḥabbah). Maḥabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah. Pencapaian cinta ini mengubah murid dari “orang yang menginginkan Allah” menjadi murad, yakni “orang yang diingatkan Allah”. “Kemabukan” ruhani oleh anggur maḥabbah berasal dari hanya memikirkan Sang Kekasih. Kebenaran maḥabbah adalah bahwa setiap atom dalam diri sang pecinta memberi kesaksian atas kadar cintanya kepada Allah. Dari mahabbah inilah berkembang ‘isyq, yakni kerinduan penuh bergelora yang terus-menerus membakar (kembali). Sesudah tahap fanā’ dalam Allah (fanā’ fī Allāh) dan terserap ke dalam Allah (jam‘-ul-jam‘) – yang di dalamnya semua adalah kegelapan dan tak ada visi sama sekali – sang pecinta pun terpisah dari Kekasih (jam‘-ut-tafrīqah) dan ‘isyq-nya pun membakar kembali. Amtullah Amstrong, op. cit., h. 121 & 165. Agaknya, mahabbah terjadi menjelang dan di dalam keterserapan (fanā’) di dalam Allah, sementara ‘isyq terjadi setelah sang hamba mengalami baqā’, yakni setelah ia turun kembali mengemban amanah-Nya untuk menyempurnakan orang yang belum sempurna. Pada saat baqā’ setelah fanā’ itulah (al-baqā’u ba‘d-al-fanā’), kerinduan sang hamba membakar kembali dan semakin menjadi-jadi (‘isyq). Tetapi, karena pengembanan amanah harus tetap terjaga, sang hamba pun kemudian mengupayakan tingkatan ruhani yang paling tinggi, yakni penggabungan antara kebersatuan (al-jam‘) dan keterpisahan (at-tafrīqah), di mana fanā’ dan baqā’ bisa menyatu dalam dirinya; di mana hatinya bisa terus bersatu dengan-Nya, sementara tangannya terus aktif di tengah-tengah masyarakat – pen. Lihat juga catatan kaki surah an-Naba’ no. 3 
  4. 4). Lihat catatan kaki surah an-Naba’ no. 10. 
  5. 5). Mata air tertinggi di surga yang mengalirkan anggur murni dan beraroma wangi. “Mereka yang didekatkan” (al-muqarrabun) meminum dari mata air tasnīm. Tasnim adalah “tempat” ketenangan (sahw) setelah kemabukan (sukr), kekekalan (baqā’) setelah kefanā’an, dan Pengetahuan Allah (ma‘rifah) setelah Cinta Tuhan (‘isyq). Tiada orang yang meminum dari mata air Tasnīm sebelum meminum dari mata air Kafūr. Amatullah Armstrong, op. cit., h. 290-219. 
  6. 6). Agaknya, Ibn ‘Arabi membedakan antara al-muqarrabūn dengan al-‘ubbād dari segi tingkat kedekatannya kepada Allah. Karena begitu dekatnya al-muqarrabūn di sisi Allah, mereka bisa mengalami fanā’ dan baqā’ sekaligus. Mereka berjalan di tengah makhluk sambil tetap bersama Allah. Sementara al-‘ubbād, karena tingkat kedekatannya lebih rendah dari al-muqarrabūn, mereka baru bisa mencapai fanā’ – pen. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *