“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan”; orang-orang yang mendustakan bagi mereka kehancuran dan kebinasaan. “(yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan”; mereka mendustakan hari kebangkitan dan pembalasan. “Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa”; hanya orang yang melampaui batas dalam kekafiran dan kesesatan yang mendustakan hari pembalasan. Mereka sangat durhaka, menentang dan banyak berbuat dosa. Kemudian Allah menjelaskan sebagian dosa yang mereka perbuat: “yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu””; jika ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan adanya hari kebangkitan dan pembalasan dibaca kepadanya, dia berkata: “Ini hanya dongeng dan tahayyul orang-orang dahulu. Mereka menulisnya dan menghiasinya dalam kitab-kitab mereka.” “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”; hendaknya orang jahat itu menghentikan ucapan batil tersebut, sebab al-Qur’an bukan dongeng orang-orang dahulu. Mereka tidak beriman kepadanya karena hati mereka diselimuti dosa akibat perbuatan mereka. Dosa itu yang menghapus mata hati mereka. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Ulama tafsir berkata: “Yakni dosa di atas dosa, sehingga hati menjadi hitam.” (9551).
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka”; hendaknya orang-orang yang mendustakan itu menghentikan kesesatan dan kedurhakaan mereka sebab mereka di akhirat kelak terhalang dari Allah. Mereka tidak akan melihat-Nya. Imām Syāfi‘ī berkata: “Ayat ini menunjukkan, bahwa kaum muslimin bisa melihat Allah.” Imām Mālik berkata: “Ketika Allah menghalangi musuh-musuhNya sehingga mereka tidak melihat-Nya, maka Allah menampakkan Diri kepada para kekasih-Nya, sehingga mereka melihat-Nya.” (9562). “Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka”; di samping terhalang dari melihat Allah, mereka masuk neraka dan merasakan siksanya yang amat menyakitkan. “Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan””; para malaikat penjaga Jahannam berkata kepada mereka untuk mempermalukan dan mengejek, “Inilah siksa neraka yang kalian pernah dustakan selama di dunia”. “Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?” (ath-Thūr: 15).
Setelah membicarakan keadaan orang-orang kafir di akhirat, Allah memaparkan kenikmatan orang-orang yang berbakti kepada-Nya. “Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyīn”; potongan awal ayat sebagai larangan dan hardikan. Maksudnya, yang benar tidak sebagaimana yang kalian katakan bahwa antara orang-orang durhaka dan orang-orang yang berbakti sama saja. Kitab orang jahat ada di sijjīn dan kitab orang yang berbakti ada di tempat tinggi yang mulia di surga bagian atas. Dalam at-Tasḥīl, disebutkan kata ‘Illiyyīn menunjukkan mubālaghah (redaksi yang bemakna lebih kuat). Kitab itu ditempatkan di ‘Illiyyīn sebab kitab itu menyebabkan terangkatnya derajat mereka di dalam surga. Atau karena kitab itu ada di tempat tinggi yang mulia. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa kitab itu ada di bawah ‘Arasy. (9573). “Tahukah kamu apakah ‘Illiyyīn itu?”; ini ayat yang mengagungkan ‘Illiyyīn. Maksudnya, apa yang kamu ketahui hai Muḥammad apa ‘Illiyyīn itu? “(Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)”; kitab orang-orang yang berbakti adalah kitab yang bertulis, di mana ditulis amal perbuatan mereka dan berada di ‘Illiyyīn pada derajat tertinggi surga. Kitab itu disaksikan oleh malaikat-malaikat muqarrabīn (yang didekatkan kepada Allah). Ulama tafsir berkata: “Jika ruh mu’min dicabut, maka dibawa naik ke langit. Pintu-pintu langit dibuka untuknya dan disambut oleh para malaikat dengan kabar gembira. Kemudian mereka membawanya keluar hingga mereka sampai di ‘Arasy. Lalu dikeluarkan secarik kertas untuk mereka. Lalu kertas itu dituliskan dan distempel dengan selamat dari hisab dan siksa dengan disaksikan oleh malaikat-malaikat muqarrabīn.” (9584).
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yang besar (surga)”; orang-orang yang taat kepada Allah berada dalam surga yang sejuk, naungan luas penuh kenikmatan. “mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang”; mereka berada di atas ranjang-ranjang yang dihiasi dengan kain dan kelambu indah. Sembari itu mereka memandang kepada segala kenikmatan yang disediakan oleh Allah untuk mereka di surga. “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan”; jika kamu melihat mereka, maka kamu tahu mereka adalah pemilik nikmat. Di wajah mereka kamu melihat cahaya putih dan keindahan serta kebahagiaan. “Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya)”; mereka diberi minum dengan arak surga yang putih, harum, jernih dan tidak keruh oleh tangan. Bejana-bejana itu disegel. Yang membuka segel itu hanya orang-orang yang berbakti. “laknya adalah kesturi”; minuman yang tersisa terakhir menyerbakkan aroma kasturi. “dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”; untuk memperoleh kenikmatan dan minuman yang enak itu, hendaknya seseorang mencintai dalam bersegera taat kepada Allah dan berlomba. Ath-Thabarī berkata: “Perlombaan adalah memperebutkan sesuatu yang sangat disukai oleh banyak orang. Maka, hendaknya mereka berlomba untuk meraih kenikmatan tersebut dan hendaknya setiap jiwa memiliki keinginan memperolehnya.”(9595). “Dan campuran khamar murni itu adalah dari tasnim”; arak itu dicampur dengan mata air yang mulia. Inilah minuman paling mulia bagi ahli surga yang disebut Tasnim. Karenanya, Allah berfirman sesudahnya: “(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah”; Tasnim adalah mata air tempat hamba-hamba al-muqarrabin meminum air murni dan mata air itu dicampur untuk ahli surga yang lain. Dalam at-Tasḥīl disebutkan: Tasnim adalah mata air dalam surga yang diminum oleh al-muqarrabin secara langsung dan dicampurkan ke arak yang diminum oleh orang-orang yang berbakti. (9606).
Setelah menuturkan nikmat orang-orang yang berbakti, Allah meneruskannya dengan menyebutkan tempat kembali orang-orang yang durhaka. Ini untuk menghibur kaum muslimin dan menguatkan hati mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman”; orang-orang durhaka yang berwatak jahat dan melakukan dosa sewaktu di dunia mereka menertawakan kaum muslimin. Dalam at-Tasḥīl disebutkan: sasaran turunnya ayat ini adalah para pemimpin kaum kafir Quraisy, seperti Abū Jahal dan lainnya. Pada saat ‘Alī bin Abū Thālib dan beberapa orang muslim melewati mereka, kaum kafir Quraisy itu menertawakan dan menghina para sahabat Rasulullah s.a.w. itu. (9617). “Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya”; jika kaum muslimin melewati orang kafir, sebagian orang kafir mengedipkan matanya kepada yang lain untuk menertawakan muslimin. Ulama tafsir berkata: “Orang kafir saling mengedipkan mata jika para sahabat Nabi lewat dengan tujuan meremehkan mereka. Orang kafir berkata: “Para raja dunia mendatangi kalian.” Dengan kata-kata ini orang kafir Quraisy menghina sahabat Rasulullah karena keimanan mereka dan berpegangan teguh dengan Islam.
“Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira”; jika orang-orang kafir kembali ke rumah dan keluarga mereka, mereka kembali dengan puas karena telah menghina kaum muslimin. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, yakni mereka kembali dengan merasa puas karena menyebutkan dan menertawakan kaum muslimin sebagai peremehan terhadap ahli iman. (9628). “Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat””; jika orang-orang kafir melihat kaum muslimin, mereka berkata: “Orang-orang ini sungguh sesat karena mereka beriman kepada Muḥammad dan mereka tidak menuruti kesenangan hidup.” Allah membantah ucapan mereka: “padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin”; orang-orang kafir tidak diutus untuk mengawasi kaum muslimin, menulis amal perbuatan mereka dan menjadi saksi tentang kebenaran atau kesesatan. Kalimat ini menertawakan dan menghina kaum kafir Makkah. Seakan-akan Allah berfirman: “Aku tidak mengutus orang kafir itu sebagai pengawas dan Aku tidak menugaskan mereka untuk mencatat perbuatan kaum muslimin serta menunjukkan mereka kepada kemaslahatan. Lalu kenapa mereka menyibukkan diri dengan apa yang tidak berguna bagi mereka?
“Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir”; pada hari kiamat, orang mu’min menertawakan orang kafir, sebagaimana orang kafir menertawakan orang mu’min di dunia sebagai balasan yang setimpal. “mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang”; orang mu’min duduk di atas ranjang dari mutiara dan yakut memandang orang kafir dan menertawakan mereka. Al-Qurthubī berkata: “Dikatakan kepada ahli neraka ketika mereka di dalamnya: Keluarlah kalian! Pintu-pintu neraka dibuka untuk mereka, namun ketika mereka sampai di pintu, pintu-pintu itu ditutup di dekat mereka. Maka orang mukmin menertawakan mereka.” (9639). “Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”; orang kafir di akhirat dibalas dengan apa yang mereka lakukan di dunia terhadap orang mu’min, yaitu menertawakan dan menghina? Sebagai balasan yang sesuai.
Aspek Balaghah
Dalam Sūrat-ul-Muthaffifin terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:
Pertama; redaksi nakirah (isim yang masih umum) untuk mengancam dan menakuti serta mengagungkan:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ.
“celaka bagi orang mengurangi timbangan.”
Kedua, thibāq (perbandingan) antara (يَسْتَوْفُوْنَ) memenuhi dan (يُخْسِرُوْنَ) merugi.
Ketiga, perbandingan antara keadaan orang durhaka dan orang yang berbakti:
(كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ) dan (كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ).
Keempat, pengagungan martabat orang yang berbakti:
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّوْنَ.
“Apa yang kamu ketahui tentang ‘Illiyyīn.”
Kelima, jinās isytiqāq (penyebutan dua kata sejenis dari satu akar kata):
فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
“Hendaklah berlomba-lomba orang yang berlomba.”
Keenam, ithnāb (merinci dengan berulang-ulang) dengan menuturkan sifat dan nikmat orang yang bertakwa:
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ.
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan”.
Ketujuh, tasybīh bāligh (perumpamaan paling mengena) (خِتَامُهُ مِسْكٌ) yakni bagaikan kasturi harumnya dan indahnya.
Kedelapan, keserasian akhir-akhir ayat:
يَضْحَكُوْنَ، يَنْظُرُوْنَ، يَكْسِبُوْنَ، يَفْعَلُوْنَ.
Catatan:
- 955). Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan suatu kesalahan, maka dalam hatinya ada sebuah titik hitam. Jika ada berhenti dan memohon ampun kepada Allah serta bertobat, maka hatinya cemerlang. Jika dia mengulangi, maka titik tadi bertambah, sampai menguasai hatinya.” Itulah yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini.” (H.R. Tirmidzī).
- 956). Tafsīr-ul-Qurthubī (19/259).
- 957). At-Tasḥīl, 4/185.
- 958). Disebutkan oleh al-Qurthubī dari Ka‘b, 19/260.
- 959). Tafsīr-ul-Qurthubī (30/68).
- 960). At-Tasḥīl, 4/185.
- 961). At-Tasḥīl, 4/183.
- 962). al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/443).
- 963). Tafsīr-ul-Qurthubī (19/268).