Surah al-Muthaffifin 83 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-Muthaffifin 83 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-83
AL-MUTHAFIFĪN

Surat al-Muthaffifīn bermakna orang-orang yang curang. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-‘Ankabut, dan terdiri dari 36 ayat.

A. SEJARAH TURUN

Menurut sebagian ‘ulama’ al-Qur’ān, al-Muthaffifīn ini merupakan surat terakhir yang turun di Makkah. Mereka mengatakan bahwa surat ini membahas keadaan penduduk Madīnah. Ketika tiba di Madīnah, Nabi menemukan penduduknya sangat curang dalam timbangan dan takaran.

Siyāq (kontekstual/konteks) ayat menekankan bahwa surat ini turun di Makkah.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian surat yang telah lalu (al-Infithār) dengan surat ini adalah:

  1. Surat ini menguraikan dengan jelas beberapa perbuatan maksiat yang berlaku pada masa itu, yaitu berlaku curang dalam masalah timbangan dan takaran, mendustakan hari kiamat, menganiaya, menuduh bahwa al-Qur’an tidak lain merupakan dongengan zaman purba, dan menjelaskan tentang pembalasan yang akan diterima oleh orang-orang yang mendustakan kebenaran. Sedangkan surat yang telah lalu menjelaskan masalah pembalasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbakti (taat) kepada Allah.
  2. Dalam surat yang telah lalu dijelaskan bahwa manusia didampingi malaikat hafazhah (pencatat ‘amal). Dalam surat ini diterangkan tentang catatan malaikat hafazhah tersebut ditempatkan di ‘Illiyyīn dan Sijjīn. Surat ini dalam garis besarnya menjadi tafsir surat yang telah lalu.

C. TAFSĪR SURAT AL- MUTHAFIFĪN

1. Balasan terhadap perbuatan curang dalam sukatan (takaran) dan timbangan.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

 

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ.

Wailul lil muthaffifīn.
“Kebinasaan yang besar untuk orang-orang yang berlaku curang dalam takaran dan timbangan.” (11) (al-Muthaffifīn [83]: 1).

‘Adzab dan kehinaan yang sangat pada hari kiamat ditimpakan kepada orang yang berbuat curang dalam takaran dan timbangan. Jika melakukan takaran untuk dirinya dilakukan dengan sempurna, tetapi jika melakukan takaran untuk orang lain dilakukan dengan curang.

Allah mengkhususkan ancaman ini kepada orang yang curang, karena saat itu perbuatan semacam itu tersebar luas di Makkah dan Madīnah.

الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ. وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ.

Alladzīna idzaktālū ‘alan nāsi yastaufūn. Wa idzā kālūhum au wazanūhum yukhsirūn.
“Yaitu, mereka yang apabila menakar (sesuatu) dari orang lain, mereka memenuhi takaran itu. Apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya.” (al-Muthaffifīn [83]: 2-3).

Orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan adalah mereka yang apabila menerima barang dari orang lain, mereka tidak mau menerima jika takaran atau timbangannya tidak sempurna. Sebaliknya, apabila melakukan penakaran atau penimbangan untuk orang lain, mereka berusaha agar timbangan dan takarannya tidak sempurna, sehingga mereka memperoleh keuntungan yang banyak. (22).

Menurut riwayat Abū Hurairah, di Madīnah ada seorang lelaki bernama ‘Amar, yang mempunyai dua takaran: satu besar dan satu kecil. Jika membeli barang dia menakar dengan takaran berukuran besar. Jika menjual barang kepada orang lain dia menggunakan takaran berukuran kecil.

An-Nasā’ī meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa ketika Nabi s.a.w. datang di Madīnah, Nabi menemukan kebiasaan penduduk Madīnah yang suka berbuat curang dalam masalah takaran. Akan tetapi sesudah Tuhan menurunkan surat ini, maka mereka semua menjadi orang-orang yang jujur.

Berlaku curang tidak saja terjadi dalam takaran dan timbangan, tetapi juga dalam pengupahan, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya. Maka, janganlah seseorang (pengusaha) apabila mempekerjakan tenaga buruh, berusaha memeras (mengeksploitasi) tenaganya dengan upah yang kecil atau tidak sepadan. Sebaliknya, buruh juga harus memperhatikan kepentingan majikannya, dengan bekerja secara baik.

أَلَا يَظُنُّ أُولئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوْثُوْنَ. لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ.

Alā yazhunnu ulā’ika annahum mab‘ūtsūn. Liyaumin ‘azhīm.
“Apakah orang-orang itu tidak mengira bahwa mereka akan dihidupkan kembali sesudah mati? Pada hari yang besar?” (al-Muthaffifīn [83]: 4-5).

Perbuatan curang, baik dalam takaran, timbangan, penyerobotan (perampasan) hak-hak yang bukan milikinya maupun dalam masalah yang lain, hanyalah dilakukan oleh orang-orang yang mengira bahwa dia tidak akan dihidupkan lagi pada hari kiamat dan ‘amalnya tidak akan dihisab. Seandainya dia percaya bahwa dirinya akan menghadapi hari akhir dan dia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, tentulah dia tidak berlaku curang dalam masalah takaran, timbangan, perampasan hak orang lain dan sebagainya.

يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Yauma yaqūmun nāsu lirabbil ‘ālamīn.
“Pada hari (ketika) manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam.” (al-Muthaffifīn [83]: 6).

Hari yang besar adalah hari ketika manusia dikumpulkan untuk dihisab dan menerima pembalasan di hadapan Allah, Tuhan semesta alam.

2. ‘Amalan-‘alaman Buruk dalam Kitab Yang Disebut Sijjīn. Ucapan-ucapan Orang Musyrik Mengenai al-Qur’ān. Pengingkaran terhadap Adanya Hari Bangkit Hanya karena Keras Kepala dan Banyak Dosa.

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ.

Kallā inna kitābal fujjāri lafī sijjīn.
“Janganlah kamu berbuat demikian. Sesungguhnya buku-buku catatan ‘amal orang-orang yang keluar dari batas benar-benar dicatat dalam Sijjīn.” (al-Muthaffifīn [83]: 7).

Tinggalkan perbuatan curang dalam takaran dan timbangan. Ingatlah hari ḥisāb dan pertanggungjawaban semua ‘amal perbuatan. Allah pun telah menyediakan sebuah kitab yang mencatat semua ‘amal perbuatan untuk mereka, dan kitab itu dinamakan “Sijjīn”.

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ.

Wa mā adrāka mā sijjīn.
“Mengertikah kamu, apakah Sijjīn itu? (al-Muthaffifīn [83]: 8).

Kamu tidak mengetahui, apakah sijjīn itu? Sijjīn adalah nama sebuah buku catatan ‘amal manusia yang besar. Di dalamnya dicatat semua keburukan orang-orang yang berbuat durhaka.

كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ.

Kitābum marqūm.
“Dia suatu kitab yang terang dan tulisannya sangat jelas.” (al-Muthaffifīn [83]: 9).

Sijjīn adalah kitab yang diberi tanda yang menunjukkan bahwa semua isinya merupakan catatan hitam dari ‘amal perbuatan seseorang. Tiap orang yang berbuat jahat (maksiat) mempunyai suatu lembaran hitam yang mencatat ‘amal itu, dan ditempatkan dalam sebuah himpunan yang besar yang dinamai sijjīn.

وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.

Wailuy yauma’idzil lil mukadzdzibīn. Alladzīna yakadzdzibūna biyaumid dīn.
“Kebinasaan yang besar pada hari itu untuk orang-orang yang mendustakan. Yaitu ornag-orang yang mendustakan hari pembalasan.” (al-Muthaffifīn [83]: 10-11).

‘Adzab sengsara adalah untuk orang-orang yang mendustakan hari bangkit dan hari pembalasan, baik mereka menyangkal dengan menolak kebenaran hari bangkit ataupun dengan tidak mempedulikan siksa dan ‘adzab yang akan dihadapi pada hari itu.

وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ.

Wa mā yukadzdzibu bihī illā kullu mu‘tadin atsīm.
“Tidak seorang pun yang mendustakan hal itu, melainkan orang yang melanggar batas dan berdosa.” (al-Muthaffifīn [83]: 12).

Yang mendustakan hari pembalasan hanya orang-orang yang menolak kebenaran, tidak insaf, dan orang-orang yang telah biasa melakukan perbuatan berdosa. Sebab, mereka itu sangat sulit untuk tunduk atau percaya kepada keterangan tentang akhirat. Mereka tidak memperhatikan keterangan-keterangan yang menunjuk adanya hari akhir.

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ.

Idzā tutlā ‘alaihi āyātunā qāla asāthīrul awwalīn.
“Apabila dibacakan ayat-ayat Kami kepadanya, dia mengatakan: “Dongengan orang-orang purbakala” (33) (al-Muthaffifīn [83]: 13).

Orang-orang yang apabila dibacakan al-Qur’ān, mengatakan: “Al-Qur’ān itu bukan wahyu yang diturunkan dari Allah, tetapi kumpulan cerita orang-orang purbakala, yang diterima dari orang-orang lain.”

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.

Kallā bal…. rāna ‘alā qulūbihim mā kānū yaksibūn.
“Jangannya kamu menganggap demikian. Sebenarnya apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hatinya (menutupi hatinya).” (al-Muthaffifīn [83]: 14).

Janganlah kamu mengatakan bahwa al-Qur’ān itu adalah dongengan orang-orang purbakala.

Al-Qur’ān itu bukanlah dongengan orang-orang purbakala. Sebenarnya yang memberanikan mereka berkata demikian adalah perbuatan-perbuatan yang mereka biasakan setelah hatinya berkarat hingga tidak dapat lagi membedakan antara yang dusta dengan yang benar.

3. ‘Amalan Orang-orang Baik Tercantum dalam Kitab ‘Illiyyīn. Pengaruh Nikmat pada Penduduk Surga.

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ.

Kallā innahum ‘ar rabbihim yauma’idzil lamaḥjūbūn.
“Tidaklah seperti yang mereka katakan. (Betul), sesungguhnya mereka (para kafir) pada hari itu benar-benar berdinding (terhalang) dari Tuhannya.” (al-Muthaffifīn [83]: 15).

Janganlah kamu mengatakan bahwa pada hari kiamat kamu memperoleh kedudukan yang baik di sisi Allah. Sebab, yang sebenarnya, kamu termasuk orang-orang yang dihalau (dijauhkan) dari rahmat Allah dan tidak memperoleh keridhaan-Nya.

ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ.

Tsumma innahum lashālul jaḥīm.
“Kemudian mereka sesungguhnya benar-benar menderita panasnya api neraka.” (al-Muthaffifīn [83]: 16).

Selain pada hari kiamat tidak dibenarkan dekat kepada Allah, kamu akan dicampakkan ke dalam neraka, sehingga akan menderita kepanasan yang tidak ada putus-putusnya.

ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ.

Tsumma yuqālu hādzal ladzī kuntum bihī tukadzdzibūn.
“Lalu dikatakan kepada mereka: “Inilah kenyataan yang dahulunya kamu dustakan.” (al-Muthaffifīn [83]: 17).

Kemudian para pengawal Jahannam mengatakan kepada mereka: “Inilah pembalasan yang harus kamu terima sebagai hukuman terhadap perbuatanmu mendustakan keterangan-keterangan Rasūl.”

Catatan:

  1. 1). Baca kisah Madyan dalam kisah Hūd, QS. asy-Syu‘arā’ [26]: QS. al-A‘rāf [7], kemudian QS. al-Infithār [82].
  2. 2). Baca QS. al-Isrā’ [17]: 25, QS. ar-Raḥmān [55].
  3. 3). Baca QS. al-Furqān [25]: 4-6.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *