Surah al-Muthaffifin 83 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 83; 36 ayat
Al-Muthaffifīn
(orang-orang yang curang).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Muthaffifīn

Orang yang mampu menapaki jalan keadilan Ilahi dan mengokohkan telapak kaki niat dan kesungguhannya di jembatan lurus yang dapat mengantarkannya menuju mata air lautan keesaan zat; pasti mengetahui kalau keberpalingan dan penyimpangan dari keadilan Ilahi itu diakibatkan oleh penindasan hewani yang begitu kuat, penguasaan setan amarah atas tentara-tentaranya yang tenang, dan menangnya kekuatan dan tabiat yang mewariskan berbagai macam kehinaan dan kerugian.

Tidak diragukan lagi bahwa lemahnya keadaan yang tercela ini berasal dari tindakan mengikuti hawa nafsu dan tunduk pada perhiasan duniawi. Dan di antara tindakan mengikuti hawa nafsu itu adalah tindakan mengurangi dan berlaku curang dalam masalah takaran dan timbangan yang sebenarnya ditetapkan untuk memelihara keadilan, menjaga karakter dan keseimbangan di antara kaum Muslim. Barang siapa yang menyimpang dari berlaku adil, baik karena lalai maupun sengaja melampaui batas, berarti ia pantas mendapatkan kecelakaan yang abadi dan kehancuran yang kekal, sebagaimana yang dipaparkan dalam surah ini. Setelah memberi keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang bersemayam di atas jembatan keadilan dan keseimbangan, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada semua hamba-Nya dengan menciptakan timbangan yang lurus dan benar, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada orang-orang khusus yang ada di antara para hamba-Nya dengan cara memberi petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus.

Ayat 1.

(وَيْلٌ) [Kecelakaan besar] dan siksaan yang teramat pedihlah (لِّلْمُطَفِّفِيْنَ) [bagi orang-orang yang curang], yang mengurangi takaran dan timbangan serta menganiaya hak-hak orang lain.

Allah s.w.t. menamai mereka sebagai orang-orang yang curang karena mereka mencuri hak-hak orang lain dengan cara yang hina dan keji. Tindakan ini termasuk perbuatan tercela yang paling hina, rendah, dan paling kotor.

Dalam salah satu hadits, Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang mengingkari janji, melainkan Allah s.w.t. akan menjadikan musuh mereka dapat menguasai mereka. Tidaklah mereka berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah s.w.t., melainkan kefakiran akan menyebar di antara mereka. Tidaklah perbuatan keji muncul di antara mereka, melainkan kematian akan menyebar di antara mereka. Tidaklah mereka berlaku curang dalam timbangan, melainkan Allah s.w.t. akan menahan tumbuhnya tanaman bagi mereka dan menimpakan kemarau panjang kepada mereka (sehingga mereka menderita kekeringan dan ketandusan). Tidaklah mereka enggan membayar zakat, melainkan hujan akan ditahan untuk mereka.” (681) Mereka adalah:

Ayat 2.

(الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ) [Orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain] maksudnya: saat mereka mengambil takaran dari orang lain untuk diri mereka sendiri, (يَسْتَوْفُوْنَ) [mereka minta dipenuhi] dan ditambahi takarannya sedikit demi sedikit agar hasil yang mereka dapatkan lebih berat.

Ayat 3.

(وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ) [Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi] dan menghilangkannya sedikit demi sedikit untuk lebih melipatgandakan keuntungan mereka atas orang tersebut. Padahal fungsi takaran dan timbangan adalah untuk menyamakan dan menyeimbangkan.

Lalu dengan nada heran dan mencela, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 4.

(أَلَا يَظُنُّ أُولٰئِكَ) [Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa] yang berbuat zalim dan melampaui batas dengan melakukan tindakan yang tercela ini, (أَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَ) [sesungguhnya mereka akan dibangkitkan].

Ayat 5.

(لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ) [Pada suatu hari yang besar], karena besarnya, kebengisan dan kengerian yang terkandung di dalamnya, serta adanya berbagai macam hal yang menakutkan dan menyedihkan pada hari tersebut, apalagi bagi para pelaku maksiat. Sebab semua keburukan mereka akan disingkap di hadapan semua orang.

Ayat 6:

(يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ) [(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri] semua untuk (لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ) [menghadap Rabb semesta alam] supaya Dia dapat memberikan keputusan atas nasib mereka sesuai dengan pertanyaan dan hasil hisab yang ada, di mana keputusan-Nya bisa jadi menggiring mereka ke surga dan bisa pula menyeret mereka ke neraka.

Ayat 7.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman: (كَلَّا) [Sekali-kali jangan curang]. Kalimat ini berfungsi untuk mereka orang-orang yang curang karena tindakan keji mereka dan karena keluarnya mereka dari tuntunan keadilan ilahiyah yang diletakkan di antara mereka dengan adil. Maksudnya adalah; mengapa mereka keluar dari jalan keadilan padahal (إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ) [sesungguhnya kitab orang yang durhaka], yakni kitab yang di dalamnya tertulis secara rinci semua amal, perbuatan, akhlak, dan keadaan mereka yang tercela. Semua catatan itu akurat dan terjaga. Lalu, berdasarkan catatan yang ada dalam kitab mereka, Allah s.w.t. menghukumi mereka sebagai orang-orang yang (لَفِيْ سِجِّيْنٍ) [benar-benar berada dalam Sijjin], yakni mereka akan berada di lapisan neraka paling bawah.

Kemudian Allah s.w.t. menyamarkan Sijjin, demi untuk mengintimidasi dan memberi penekanan, dengan berfirman:

Ayat 8.

(وَ مَا أَدْرَاكَ) [Tahukah kamu] wahai orang-orang yang lalai dan melampaui batas, (مَا سِجِّيْنٌ) [apakah Sijjin] yang belum kamu tempati dan belum kamu rasakan siksaan dan kebengisannya?

Ayat 9.

Intinya, kitab orang yang durhaka adalah (كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ) [kitab yang bertulis] dan berisi catatan yang terdiri dari angka-angka dan gambar, di mana orang yang melihatnya pasti memahami bahwa dalam kitab tersebut tidak ada catatan kebaikan maupun hal yang bermanfaat bagi pemiliknya. Bahkan sebaliknya, kitab itu mengindikasikan adanya berbagai macam siksa dan hukuman bagi pemiliknya.

Ayat 10.

Ringkasnya (وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ) [kecelakaan yang besarlah pada hari itu], yaitu pada hari kitab tersebut diberikan (لِّلْمُكَذِّبِيْنَ) [kepada orang-orang yang mendustakan]-nya ketika mereka berada di dunia. Karena pendustaan dan pengingkaran itulah mereka melakukan berbagai kejahatan dan kemaksiatan yang jumlahnya tidak terhingga.

Ayat 11.

Maksudnya: mereka adalah (الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ) [orang-orang yang mendustakan hari pembalasan] dan penghukuman serta berbagai perkara lainnya yang terkait dengan akhirat, seperti adanya pertanyaan, penghabisan, pemberian kitab, dan lain-lain.

Ayat 12.

(وَ) [Dan] ringkasnya, (مَا يُكَذِّبُ بِهِ) [tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu], apalagi setelah turunnya berbagai ayat yang qath‘i dan petunjuk yang bertebaran dari sisi Allah s.w.t. kepada ahli kebenaran, (إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ) [kecuali setiap orang yang melampaui batas], mengabaikan ketentuan-Nya secara berlebihan dan keterlaluan, mengingkari kekuasaan-Nya yang sempurna dan cakupan ilmu-Nya, hingga mengingkari kemampuan-Nya untuk membangkitkan kembali, padahal yang terkait dengan penciptaan awal ditentukan oleh kekuasaan-Nya yang besar, (أَثِيْمٍ) [lagi melakukan dosa] yang keterlaluan dalam kebodohan dan kelalaiannya dengan cara menanamkan hawa nafsunya ke dalam mata hatinya sehingga ia tidak dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Ilahi yang sangat berlimpah dan tidak terhitung jumlahnya.

Padahal setiap tanda itu, bagi orang yang mau merenungkannya dan bersikap jujur, merupakan dalil yang menunjukkan adanya hari kebangkitan kembali. Namun orang yang ingkar, tetap menentangnya sesuai dengan alur pikirannya. Tidak ada yang dapat mendorong dan membujuknya untuk ingkar dan bersikap keras kepala selain angan-angan dan khayalan setan yang diwariskan kepadanya dari teman karibnya – yaitu tabiat – dan dari kuatnya adat yang dibangun di atas pondasi taklid yang kokoh, yang bersemayam dalam hati orang-orang lalai dan sesat.

Ayat 13.

Karena itulah, (إِذَا تُتْلَى) [apabila dibacakan] dan dipaparkan (عَلَيْهِ آيَاتُنَا) [kepadanya ayat-ayat Kami] yang menunjukkan pada kekuasaan Kami yang sempurna, pada pilihan Kami, dan pada kebebasan Kami dalam semua keinginan dan perbuatan yang terjadi pada kekuasaan dan kerajaan Kami. Lalu dengan dasar kebodohannya yang kelewat batas dan kelalaiannya yang tidak berujung serta keberpalingannya dari kebenaran, (قَالَ) [ia berkata], “Semua itu tidak lain (أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ) [hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu”] maksudnya: semua itu hanyalah kebohongan orang-orang terdahulu yang dicatat pada buku-buku karangan mereka.

Ayat 14.

Namun Allah s.w.t. membantah pernyataan mereka dengan berfirman: (كَلَّا) [Sekali-kali tidak (demikian)], untuk menghalangi mereka dari melakukan kebohongan dan keragu-raguan yang disampaikan melalui pengingkaran dan pengolok-olokan. Maksudnya: berbagai tanda yang jelas ini bukanlah bagian dari kebohongan, seperti yang disangkakan orang-orang yang melakukan kebohongan, melampaui batas, dan binasa dalam lubang kedustaan, kezhaliman, kesesatan, dan permusuhan. Namun karena kotoran kelalaian dan karat kebodohan serta kesesatan telah (بَلْ رَانَ) [menutup], yakni menimpa jiwa mereka, di mana kotoran itu semakin hari semakin bertambah sampai akhirnya menguasai dan menyelimuti (عَلَى قُلُوْبِهِمْ) [hati mereka]; maka hati tersebut akan tertutupi dan terkotori hingga membuatnya semakin gelap dan menghitam. Akibatnya, tak ada lagi semburat cahaya iman di dalamnya. Ini disebabkan oleh sesuatu (مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ) [yang selalu mereka usahakan] dari berbagai macam kemaksiatan dan syahwat yang menghilangkan fitrah asli yang baik dan kecerdasan watak, padahal pada mulanya mereka diciptakan untuk mengikuti fitrah tersebut.

Ayat 15.

Selanjutnya Allah s.w.t. kembali berfirman: (كَلَّا) [sekali-kali tidak] untuk mencegah mereka dari melakukan perbuatan kotor yang mengkontaminasi hati mereka. Tapi mengapa mereka melakukan hal itu, padahal mereka diciptakan dalam fitrah iman dan tauhid? (إِنَّهُمْ) [Sesungguhnya mereka], yakni orang-orang yang berbuat kerusakan dan berpaling dari (عَنْ رَّبِّهِمْ) [Rabb mereka] yang telah menuntun mereka dalam meraih kemaslahatan ma‘rifat dan iman, (يَوْمَئِذٍ) [pada hari itu], yakni pada saat mereka melakukan kemaksiatan yang kotor, (لَّمَحْجُوْبُوْنَ) [benar-benar terhalang] dari-Nya dan dari pantulan cahaya-Nya yang berkilau di lembaran jiwa dan jagat raya. Padahal tidak ada tirai Allah s.w.t., dan tidak ada pula hijab dalam keadaan yang mereka jalani. Namun karena bangunannya roboh, mereka pun tidak dapat melihat matahari Dzat-Nya yang berkilau, melalui awan kecintaan mereka yang batil maupun pandangan mereka yang tidak berfungsi.

Ayat 16.

(ثُمَّ إِنَّهُمْ) [Kemudian, sesungguhnya mereka], setelah terhalang dari Allah s.w.t. dan dilarang melihat wajah-Nya yang mulia, (لَصَالُوا الْجَحِيْمِ) [benar-benar masuk neraka] dan kekal di dalamnya.

Ayat 17.

(ثُمَّ يُقَالُ) [Kemudian dikatakan] pada mereka pada saat itu, dengan nada mengejek dan untuk menunjukkan beratnya siksa yang bakal mereka terima dari Allah s.w.t. (هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ) [ “Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan”]. Mereka terus-menerus mendustakan dan mengingkari azab yang telah diancamkan Allah s.w.t., bahkan mereka mengejek dan menertawakannya.

Ayat 18.

Kemudian Allah s.w.t. mengulangi lagi kalimat: (كَلَّا) [sekali-kali tidak] untuk mencegah mereka, sebagai bentuk penegasan dan teguran, juga sebagai pengantar dan pendahuluan untuk membandingkan ancaman yang mereka terima dengan janji yang diberikan kepada kaum Mukmin. Perbandingan ini berfungsi untuk semakin menambah teguran dan celaan kepada mereka atas berbagai dosa dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan, yang mengantarkan mereka menuju rumah penyesalan dan larangan (yakni neraka). (إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ) [Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu], yakni orang-orang yang dalam catatan amalnya ditulis semua peninggalan amal shaleh mereka sebagai hasil dari keimanan, penyerahan diri, dan kepercayaan mereka (kepada) Allah s.w.t., juga karena rasa takut mereka pada kemarahan-Nya – di mana semua catatan itu akan tetap terjaga dan menjadi pegangan-Nya saat akan memberi keputusan kepada mereka –; tersimpan (لَفِيْ عِلِّيِّيْنَ) [dalam surga ‘Illiyyin], yakni bermukim yang paling mulia.

Ayat 19.

Kemudian Allah s.w.t. menyamarkan surga tersebut, demi untuk mengagungkan dan menegaskannya, dengan mengajukan pertanyaan: (وَ مَا أَدْرَاكَ) [tahukah kamu] wahai orang yang banyak berbakti lagi banyak melakukan kebaikan, (مَا عِلِّيُّوْنَ) [apakah ‘Iliyyin itu?] Di manakah posisinya yang tinggi dan tempatnya yang menakjubkan? Serta bagaimanakah bentuk kelezatan rohani yang ada di dalamnya, yang belum pernah dirasakan dan diketahui oleh seorang pun? Semoga Allah s.w.t. memberi anugerah kepada kita untuk bisa mendapatkannya.

Ayat 20.

Ringkasnya, kitab orang-orang yang berbakti adalah (كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ) [kitab yang bertulis], bernomor, dan berisi uraian:

Ayat 21.

(يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُوْنَ) [yang disaksikan oleh orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)], yakni orang-orang yang mendapatkan pertolongan dan taufiq-Nya. Mereka dapat langsung mengetahui kalau semua isi kitab itu adalah kebaikan, pada saat pertama kali mereka melihat dan menyaksikannya.

Ayat 22.

Ringkasnya: (إِنَّ الْأَبْرَارَ) [sesungguhnya orang-orang yang berbakti] kepada Allah s.w.t. dan berbuat baik di antara manusia (لَفِيْ نَعِيْمٍ) [itu benar-benar dalam kenikmatan yang besar (surga)] dan langgeng.

Ayat 23.

Mereka bersandar (عَلَى الْأَرَائِكِ) [di atas dipan-dipan] yang dibuat dari amal yang shaleh, akidah yang bersih, dan akhlak terpuji yang mereka lakukan, (يَنْظُرُوْنَ) [sambil memandang] berbagai pemandangan yang baik dan hiburan yang menakjubkan, menyenangkan dan membahagiakan mereka.

Ayat 24.

Dari situ (تَعْرِفُ) [kamu dapat mengetahui], wahai orang yang melihat (فِيْ وُجُوْهِهِمْ) [dari wajah mereka] – pada saat pertama kali memandang -, adanya (نَضْرَةَ النَّعِيْمِ) [kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan], keindahan, dan adanya kilauan perasaan ridha dan menerima dengan lapang dada.

Ayat 25.

Di samping itu, (يُسْقَوْنَ مِنْ رَّحِيْقٍ) [mereka minum dari khamar murni] dari khamar kecintaan dan persahabatan (مَّخْتُوْمٍ) [yang dilak], yakni ditutup tempatnya dari orang lain sehingga orang tersebut tidak dapat mencium baunya sama sekali.

Ayat 26.

(خِتَامُهُ مِسْكٌ) [Laknya adalah kesturi] maksudnya: aromanya yang sampai kepada mereka, sebelum khamar itu diperlihatkan kepada mereka, adalah seperti aroma minyak kesturi yang tidak menyebarkan bau bacin maupun menjijikkan seperti halnya aroma khamar dunia; (وَ فِيْ ذلِكَ) [dan untuk yang demikian itu] yakni untuk meraih arak kebenaran, cawan mahabbah dan kejujuran, (فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ) [hendaknya orang berlomba-lomba] dan memohon dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kejernihannya, segera diperkenankan meraih kebenaran dan kecondongannya, serta menggapai kelezatannya yang sempurna.

Ayat 27.

(وَ مِزَاجُهُ) [Dan campuran khamar murni itu] maksudnya: air pengetahuan dan air hakikat yang memabukkan, yang dikeluarkan dari khamar dan bercampur itu (مِنْ تَسْنِيْمٍ) [adalah dari tasnim] yang berada di maqam yang tinggi. Tasnīm ini adalah sumber lautan wujud di mana ia mengekspresikan keesaan Dzat Ilahiyah.

Ayat 28.

Ia juga merupakan (عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ) [mata air yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah] maksudnya: yang diminum oleh orang yang mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. adalah kesegaran dan rasa tawarnya. Dengan demikian, mereka meminum dari mata air keesaan yang tanpa campuran sama sekali. “Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang dapat mencicipi manisnya kenikmatan-Mu, dinginnya keyakinan-Mu, dan segarnya sumber air minum-Mu, wahai Dzat Pemberi Rezeki yang paling baik.”

Ayat 29.

(إِنَّ الَّذِيْنَ) [Sesungguhnya orang-orang] musyrik dan melampaui batas (أَجْرَمُوْا) [yang berdosa] dengan berbagai kejahatan besar yang mengharuskan mereka ditimpa berbagai macam balasan, di antaranya (كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يَضْحَكُوْنَ) [adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman] dan mengolok-olok kaum Mukmin yang miskin.

Ayat 30.

(وَ إِذَا مَرُّوْا بِهِمْ) [Dan ketika orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka], dengan sikap mengejek (يَتَغَامَزُوْنَ) [mereka saling mengedip-ngedipkan matanya] dengan penuh kesombongan dan kecongkakan.

Ayat 31.

(وَ إِذَا انْقَلَبُوْا) [Dan ketika orang-orang berdosa itu kembali] dan berbalik menuju (إِلَى أَهْلِهِمُ) [kepada kaumnya], kembali ke tempat tinggal mereka dan saudara-saudara mereka, (انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَ) [mereka kembali dengan gembira], merasa senang, dan meremehkan semua perbuatan kaum Mukmin yang mereka lihat, mulai dari shalatnya, kekhusyu‘annya, ketenangannya, dan ketawadhu‘annya terhadap saudaranya.

Ayat 32.

(وَ) [Dan] karena watak buruk dan kedengkian mereka, (إِذَا) [ketika] mereka lewat dan (رَأَوْهُمْ) [melihat orang-orang Mukmin], maka dengan nada mengejek, (قَالُوْا إِنَّ هؤُلَاءِ) [mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu], yaitu orang-orang hina yang mengharapkan kebaikan, (لَضَالُّوْنَ) [benar-benar orang-orang yang sesat] yang berpaling dari petunjuk dan hidayah karena mengikuti orang gila ini,” yakni Muhammad s.a.w.

Ayat 33.

(وَ) [Dan] mereka berkata demikian karena kesesatan diri mereka sendiri, bahkan karena kedengkian mereka kepada kaum Mukmin. Padahal (مَا أُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ) [orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim] kepada kaum Mukmin (حَافِظِيْنَ) [untuk menjadi penjaga bagi kaum Mukmin]. Maksudnya, mereka bukan dikirim untuk melindungi amalan kaum Mukmin dan menyaksikan hidayah dan kesesatannya. Tapi justru sebaliknya, mereka dikirim untuk mengikuti kaum Mukmin.

Ayat 34.

(فَالْيَوْمَ) [Maka pada hari ini], yakni hari yang telah dijanjikan di mana hari itu adalah hari kiamat, (الَّذِيْنَ آمَنُوْا) [orang-orang yang beriman] kepada Allah s.w.t., mempercayai akhirat dengan semua perkara yang dijanjikan bakal terjadi di dalamnya, akan (مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَ) [menertawakan orang-orang kafir] yang semakin terjerumus dalam penentangan dan pengingkaran mereka. Maksudnya, pada hari itu kaum Mukmin balik menertawakan orang-orang yang menertawakan mereka di dunia. Sebab kaum Mukmin melihat mereka berada dalam keadaan dihinakan, direndahkan, terbelenggu dalam neraka yang sudah pasti mereka tempati, dan disiksa dengan berbagai macam siksaan.

Ayat 35.

Di sisi lain, kaum Mukmin pada hari itu duduk bersandar (عَلَى الْأَرَائِكِ) [di atas dipan-dipan] yang dipersiapkan bagi mereka sebagai balasan atas ketawakalan mereka kepada Allah s.w.t., atas penyandaran diri mereka pada fadhilah dan kebaikan-Nya, atas ketekunan mereka dalam menjalankan semua perintah dan meninggalkan larangan-Nya, dan atas kesabaran mereka memikul beban ketaatan dan taklif, di mana semua itu dapat mencabut akar kelezatan jasmaniyah dan syahwat nafsaniyyah. Pada hari itu, dengan cahaya keimanan dan sucinya keyakinan serta pengetahuan, mereka (يَنْظُرُوْنَ) [memandang] berbagai kesulitan yang menimpa orang-orang kafir dan mensyukuri kenikmatan iman dan ihsan.

Ayat 36.

(هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ) [Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran] dan dibalas pada hari itu dengan balasan paling buruk, yang disebabkan oleh (مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ) [sesuatu yang dahulu mereka kerjakan], mulai dari menghina kaum Mukmin, meremehkan, menertawakan amalannya, dan mengejeknya dengan mengedip-ngedipkan mata di antara mereka.

Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita sebagai orang yang dapat melihat aib diri masing-masing dan dibutakan dari melihat aib orang lain dengan karunia dan kedermawanan-Nya.

 

Penutup Surah al-Muthaffifīn

Wahai pengikut ajaran Muhammad s.a.w. yang selalu mengawasi pendidikan jiwa dan senantiasa mensucikan akhlak; kamu harus membersihkan jiwamu dari berbagai macam kehinaan yang dapat mengeruhkan kejernihan air tauhid, membebaskannya dari semua ikatan fasilitas yang berasal dari kezhaliman tabiat, dan menghiasinya dengan berbagai macam akhlak yang baik dan dengan keadaan yang sesuai dengan fitrah asal pada saat kamu diciptakan pertama kali. Kamu juga harus menyandarkan diri kepada Allah s.w.t. dan berpaling dari orang-orang yang lalai dan sesat.

Berhati-hatilah! Jangan sampai kamu bercampur-baur dan duduk bersama mereka. sebab berteman dengan para pelaku keburukan dapat mematikan hati, membekas pada sirr, menghilangkan kualitas kecerdasan, mengeruhkan kejernihan air tauhid, menambah kebiadaban, dan mewariskan sifat lupa yang dapat mengakibatkan berbagai macam kerugian dan kefakiran.

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang dapat mencicipi manisnya berkhalwat dengan-Nya dan merasakan kenyamanan saat bersama keesaan-Nya.

Catatan:


  1. 68). H.R. Ibnu Majah [2/1332, hadis nomor: 4019, bab: al-‘Uqūbat], al-Baihaqi dalam Sunan-ul-Kubrā [3/346, hadits nomor: 6190, bab: al-Khurūju min-al-Mazhālim] dan dikeluarkan oleh perawi lainnya. Hadits ini memiliki readaksi dan jalur yang beragam, lihat: Majma‘-uz-Zawā’id [5/317]. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *