Surah al-Munafiqun 63 ~ Tafsir ash-Shabuni (2/2)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-Munafiqun 63 ~ Tafsir ash-Shabuni

Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasūlullāh memintakan ampunan bagimu”; jika dikatakan kepada orang munāfiq: “Marilah menghadap kepada Nabi s.a.w. agar dia meminta ampun kepada Allah untuk kalian, “mereka membuang muka mereka”; mereka menggerakkan kepala karena menertawakan dan takabbur. “dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri”; kamu melihat mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sedangkan mereka takabbur terhadap istighfār Nabi s.a.w. untuk mereka. Ayat ini dibentuk dengan fi‘il mudhāri‘ untuk menunjukkan bahwa mereka senantiasa berpaling dan menentang.” (5881) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ketika ayat-ayat di atas turun, maka orang-orang munāfiq dipermalukan dan rahasia mereka terbongkar. Para kerabat mereka dari orang mu’min mendatangi mereka dan berkata: “Kasihan kalian, kalian telah dipermalukan dengan kemunāfiqan dan kalian menghancurkan diri kalian sendiri. Datanglah kalian kepada Nabi s.a.w. dan bertaubatlah kepadanya dari kemunāfiqan. Mintalah kepadanya agar Allah mengampuni kalian.” Namun mereka menolak dan menggelengkan kepala mereka dalam rangka menertawakan dan menghina. Maka turunlah ayat ini. Kemudian orang mu’min itu mendatangi Ibnu Salūl dan berkata kepadanya: “Temuilah Nabi s.a.w. dan akuilah dosamu, maka beliau memintakan ampunan untukmu. Ibnu Salūl menggelengkan kepala tanpa membantah pendapat itu, lalu berkata: “Kalian menyuruh aku beriman lalu aku beriman. Kalian menyuruh aku membayar zakat māl, aku membayar zakat māl. Sekarang yang masih sisa perintah kalian hanyalah kalian menyuruh aku untuk bersujud kepada Muḥammad.”

Kemudian Allah menjelaskan tidak adanya faedah istighfār bagi mereka, sebab mereka terus-menerus munāfiq. Allah berfirman: “Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka” perkaranya sama saja bagi mereka, sebab istighfār sama sekali tidak berguna bagi mereka karena mereka fāsiq dan tidak mau taat kepada Allah dan Rasūlullāh. Ash-Shāwī berkata: “Ayat ini untuk membuat putus-asa terhadap keimanan orang munāfiq. Maksudnya, engkau hai Muḥammad berisitghfār atau tidak beristighfār untuk mereka sama saja, sebab mereka tidak beriman karena kecelakaan mereka sudah taqdīr.” (5892) “Allah tidak akan mengampuni mereka”; Allah tidak akan memaafkan mereka karena kekafiran mendalam mereka dan kemaksiatan terus-menerus mereka. Kemudian Allah memberi alasan hal ini. “sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fāsiq”; Allah tidak memberi taufīq orang yang fāsiq dan tidak taat untuk beriman.

Kemudian Allah menambah penjelasan tentang kejahatan dan keburukan mereka. “Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshār): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhājirīn) yang ada di sisi Rasūlullāh supaya mereka bubar (meninggalkan Rasūlullāh)”; mereka orang jahat yang berkata: “Janganlah kalian memberi nafqah kepada kaum Muhājirīn agar mereka bercerai-berai dari Muḥammad. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, yang dimaksud orang itu adalah Ibnu Salul dan kawan-kawannya. Dia membuat mereka bodoh, sehingga mereka mengira, bahwa rezeki kaum Muhajirin ada di tangan mereka. Mereka tidak tahu, bahwa rezeki ada di tangan Allah. Ucapan mereka “yang ada di sisi Rasūlullāh” hanya untuk menertawakan beliau. Sebab, seandainya mereka mengakui risalah beliau, tentu mereka tidak melakukan hal itu. Yang jelas mereka tidak mengucapkan perkataan tersebut. Hanya saja Allah berfirman demikian untuk memuliakan Nabi s.a.w. (5903) “Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi”; di tangan Allah perbendaharaan rezeki, Dia memberi siapa yang Dia kehendaki dan menahan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki. Tidak seorang pun mampu untuk menghalangi karunia Allah kepada hamba-Nya. “tetapi orang-orang munāfiq itu tidak memahami”; namun orang munāfiq tidak mengerti hikmah dan aturan Allah. Sehingga mereka mengatakan apa yang mereka katakan, yaitu ucapan kekafiran dan kesesatan.

Kemudian Allah menyebutkan sebagian keburukan serta ucapan mereka yang keji. Allah berfirman: “Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madīnah”; mereka mengatakan: “Jika kita kembali dari peperangan Bani Mushthaliq ini ke negeri kami Madīnah Munawwarah, “benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya”; kita pasti mengusir Muḥammad dan kawan-kawannya dari Madīnah. Yang berkata demikian adalah Ibnu Salūl. Dia bermaksud orang kuat adalah dirinya dan pengikutnya. (5914) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ketika Ibnu Salūl mengatakan apa yang dia katakan dan kembali ke Madīnah, maka putranya yang bernama ‘Abdullāh (sudah masuk Islam) berdiri di pintu Madīnah sambil menghunus pedang yang sakti dan menghadang orang-orang melewatinya. Ketika ayahnya tiba, dia berkata: “Mundurlah Ayah, demi Allah, engkau tidak akan masuk Madīnah untuk selamanya sampai engkau mengatakan: “Rasūlullāh adalah yang kuat dan akulah yang lemah.” Maka Ibnu Salūl mengucapkan permintaan anaknya. Kemudian ‘Abdullāh menghadap Nabi s.a.w. dan berkata: “Ya Rasūlullāh, saya dengar anda ingin membunuh Ayahku. Jika benar, maka perintahlah aku, maka aku bawa kepalanya kepadamu.” Nabi s.a.w. menjawab: “Tidak, kita bersikap lunak kepadanya dan bergaul baik dengannya selama dia bersama kita.” (5925) “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasūl-Nya dan bagi orang-orang mu’min”; kekuatan dan kemenangan adalah milik Allah dan orang yang dikuatkan oleh Allah, yaitu Rasūlullāh dan orang mu’min, bukan selain mereka. Ayat ini menunjukkan ḥashr (pembatasan); kekuatan itu terbatas hanya milik Allah, Rasūl-Nya dan orang mu’min. Al-Qurthubī berkata: “Orang munāfiq mengira, bahwa kekuatan itu ada pada banyaknya harta benda dan pengikut. Maka Allah menjelaskan, bahwa kekuatan dan kebesaran adalah milik Allah, Rasūlullāh dan orang mu’min.” (5936) “tetapi orang-orang munāfiq itu tiada mengetahui”; namun orang munafiq tidak mengetahui bahwa kekuatan dan kemenangan adalah milik para wali Allah, bukan musuh-Nya, karena mereka terlalu bodoh dan terpedaya.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah”; setelah menuturkan keburukan orang munāfiq, maka Allah melarang orang mu’min untuk menyerupai orang munafiq dalam hal terpedayanya mereka oleh harta benda dan anak. Ma‘nanya, hai orang mu’min janganlah kalian tersibukkan oleh anak dan harta-benda dari taat dan ber‘ibādah kepada Allah dan menunaikan kewajiban kalian, yaitu shalat, zakat dan haji, sebagaimana harta-benda dan anak menyibukkan orang munāfiq. Abū Ḥayyān berkata: “Ya‘ni, janganlah usaha kalian untuk memperbanyak harta-benda dan mengumpulkannya dan kebanggaan kalian terhadap anak serta memikirkan mereka, mengganggu kalian untuk ingat Allah. Ingat Allah di sini umum, memasukkan shalat, takbīr, tasbīḥ, taḥmīd dan ‘ibādah lainnya.” (5947) “Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi”; barang siapa terganggu oleh urusan duniawi dari taat dan ber‘ibādah kepada Allah, maka mereka itulah orang yang sempurna ruginya, di mana mereka memilih dunia yang hina dan fanā’ atas yang akhirat yang besar dan baqā’, serta mendahulukan yang segera atas keni‘matan yang tertunda.

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu”; belanjakanlah sebagian dari apa yang Kami berikan kepada kalian, yaitu harta-benda dalam ridhā Allah. “sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu”; belanjakan itu sebelum kematian menimpa kalian dan dia berada dalam keadaan sekarat, “lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat”; dia berkata ketika sekarat: “Tuhanku, seharusnya Engkau beri aku kesempatan dan Engkau tunda kematianku sebentar saja. “yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shāliḥ?”; maka aku bersedekah, berbuat baik dan menjadi hamba yang shalih. Ibnu Katsīr berkata: “Setiap orang yang bersalah menyesal ketika dia sekarat dan dia meminta perpanjangan waktu untuk membenahi kesalahannya. Namun itu mustahil terjadi.” (5958).

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya”; Allah tidak akan memberikan kesempatan bagi siapapun jika ajalnya sudah tiba dan Allah tidak akan menambah umurnya. Ayat ini mendorong untuk segera berbuat kebaikan karena khawatir ajal segera tiba. Namun seseorang ceroboh dan belum siap untuk bertemu dengan Tuhannya: “Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”; Allah melihat dan tahu perbuatan kalian, baik maupun buruk dan membalas kalian berdasarkan perbuatan itu.

Aspek Balāghah

Dalam surat ini terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:

Pertama, penegasan dengan sumpah dan “inna” dan “lām” agar lebih jelas dan mantap:

وَ اللهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لَكَاذِبُوْنَ.

Kedua, kalimat mu‘taridhah (terpisah):

وَ اللهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُوْلُهُ

Kalimat ini berada di antara syarat dan jawabnya untuk menjelaskan, bahwa mereka tidak mengatakan ucapan itu berdasarkan keyakinan dan untuk menghilangkan kesan, bahwa mereka bersaksi akan kerasūlan Muḥammad. Asal ayat adalah sebagai berikut: “Jika orang-orang munāfiq datang kepadamu, mereka berkata: “Kami bersaksi bahwa kamu adalah utusan Allah.” Dan Allah bersaksi, bahwa orang munāfiq itu sungguh berdusta dalam pengakuan mulut mereka, bukan dalam muatan kalimat itu sendiri.”

Ketiga, isti‘ārah (peminjaman istilah):

اتَّخَذُوْا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً

Mereka itu menjadikan sumpah/iman mereka sebagai perisai”.

Sebab ma‘na asal perisai adalah sesuatu yang digunakan untuk berlindung. Kemudian di sini digunakan atau dipinjam (isti‘ārah) sebab mereka menampakkan Islam untuk melindungi darah dan harta mereka.

Keempat, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) antara:

آمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا

“Mereka beriman kemudian kafir

dan

الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ

“…yang lebih kuat atas yang lebih lemah darinya.”

Kelima, tasybīh mursal mujmal (penyerupaan)

وَ إِنْ يَقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ

Jika mereka mengatakan maka kamu mendengarkan perkataan mereka, seakan kayu yang disandarkan”.

Keenam, thibāq salab (kesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh):

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ

Sama saja atas mereka, kamu meminta ampun untuk mereka atau tidak memintakan ampun untuk mereka”.

Ketujuh, kalimat doa (قَاتَلَهُمُ اللهُ), yaitu doa buruk atas mereka agar tertimpa laknat, kehinaan dan kehancuran.

Kedelapan, kesesuaian akhir-akhir ayat.

Catatan Penting

Orang munāfiq tidak ada di Makkah dan yang ada di sana hanya orang kafir. Orang munāfiq tidak muncul kecuali di Madīnah ketika Islām besar dan banyak pengikutnya. Orang munāfiq menampakkan ke-islām-an untuk menjaga darah dan harta mereka. Sebagaimana dikatakan seorang pujangga:

Mereka tidak menampakkan Islām,
Kecuali untuk menjaga darah mereka.”

Hikmah

Ibnu ‘Abbās r.a. pernah berkata: “Barang siapa mempunyai harta dan mampu untuk menunaikan haji atau harta itu wajib dizakati, lalu tidak dia lakukan, maka dia meminta kembali hidup ketika mati.” Seorang lelaki berkata: “Bertaqwalah anda kepada Allah, sebab yang meminta hidup lagi hanya orang kafir.” Ibnu ‘Abbās menjawab: “Aku akan membacakan kalian ayat al-Qur’ān: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat…..

Catatan:

  1. 588). Tafsīr-ul-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/273.
  2. 589). Ḥāsyiyat-ush-Shāwī, 4/209.
  3. 590). Tafsīr-ul-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/274.
  4. 591). Lihat asbāb-un-nuzūl terdahulu.
  5. 592).Sebaiknya anda merujuk kepada Tārīkhu Ibni Isḥāq, di mana kisah ini disebutkan dengan rinci.
  6. 593). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/129.
  7. 594). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/274.
  8. 595). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/506.