“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrāhīm dan orang-orang yang bersama dengan dia”; hai orang-orang mu’min, sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada Ibrāhīm dan para mu’min yang bersama denganya. “ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah”; ketika mereka berkata kepada orang-orang kafir: “Kami berlepas diri dari kalian dan berhala yang kalian sembah selain Allah. “kami ingkari (kekafiran)mu”; kami kafir kepada agama dan metode kalian. “dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya”; dan tampak permusuhan dan saling benci antara kami dan kalian untuk selama-lamanya selama kalian tetap seperti ini. “sampai kamu beriman kepada Allah saja” sampai kalian mengesakan Allah saja, lalu kalian menyembah-Nya semata dan meninggalkan syirik dan berhala yang ada pada kalian. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Allah memerintahkan orang-orang mu’min agar mengikuti Ibrāhīm al-Khalīl dan orang yang bersamanya dalam permusuhannya kepada orang kafir dan berlepaskan diri (barā’ah) mereka dari orang kafir. Sebab, keimanan menuntut berseberangan dan membenci musuh Allah. “Kecuali perkataan Ibrāhīm kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu”; kecuali dalam hal permohonan ampun Ibrāhīm untuk ayahnya, maka janganlah kalian mengikutinya, sebab dia hanya memohonkan ampun untuk ayahnya karena berharap ayahnya masuk Islam. “Maka tatkala jelas bagi Ibrāhīm bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrāhīm berlepas diri darinya.” (at-Taubah: 114); “dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.”; ini termasuk ucapan Ibrāhīm kepada ayahnya. Ma‘nanya, aku sama sekali tidak (bisa) menolak siksa Allah darimu jika engkau musyrik kepada Allah dan aku tidak memiliki apa-apa untukmu, selain istighfar. “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal”; kepada-Mu-lah kami bergantung pada seluruh perkara kami. “dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat”; kepada-Mu-lah kami kembali dan bertaubat. “dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”; dan kepada-Mu kembali di akhirat kelak. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ibrāhīm menjanjikan istighfar kepada ayahnya sebagaimana tersebut dalam surat Maryam. “Aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47). Dan Ibrāhīm benar-benar beristighfar untuk ayahnya sebagaimana tersebut dalam asy-Syu‘arā’: “Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat.” (Asy-Syu‘arā’: 86). Semua itu hanya dengan harap agar sang ayah masuk Islam. Namun kemudian Ibrāhīm meralat istighfar itu setelah ia yakin bahwa ayahnya kafir, sebagaimana dalam surat at-Taubah: “Dan permintaan ampun dari Ibrāhīm (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrāhīm bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrāhīm berlepas diri darinya.” (Ibrāhīm: 114) “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir”; janganlah Engkau kuasakan mereka atas kami, sehingga mereka memfitnah agama kami dengan siksa yang bukan kemampuan kami. (5071) Mujāhid berkata: “Ya‘ni janganlah Engkau siksa kami dengan tangan mereka maupun dari sisi-Mu, sehingga orang kafir berkata: “Seandainya Muslimīn ini benar, tentu mereka tidak tertimpa musibah.” “Dan ampunilah kami”; amunilah untuk kami dosa-dosa. “ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”; ya Allah Engkau Yang Maha Menang dan orang yang datang kepada-Mu tidak hina, Maha Bijaksana yang hanya berbuat sesuatu yang terdapat kebaikan dan maslahat di dalamnya. Pengulangan nidā’ (ya Tuhan kami) adalah bentuk lebih menunjukkan kerendahan diri.
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrāhīm dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu”; sungguh ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada Ibrāhīm dan orang-orang mu’min yang bersamanya dalam berlepas diri dari orang-orang kafir. Abū Su‘ūd berkata: “Pengulangan ayat ini adalah untuk lebih mendorong agar mengikuti Ibrāhīm a.s. dan itulah sebabnya firman ini diawali dengan sumpah.” (5082) “(yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian”; bagi orang yang mengharapkan pahala Allah dan takut akan siksa-Nya di negeri akhirat. “Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji”; barang siapa berpaling dari iman dan taat kepada Allah, maka Allah tidak memerlukan orang-orang seperti dia dan tidak memerlukan seluruh makhlūq dan Dia Terpuji pada Dzāt-Nya dan sifat-sifatNya.
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih-sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka”; semoga Allah menciptakan kasih-sayang dan cinta antara kalian dan kerabat kalian yang kafir setelah saling benci dan bermusuhan. Dalam at-Tashīl disebutkan, setelah Allah menyuruh kaum Muslimīn untuk memusuhi orang kafir dan memutuskan hubungan dengan mereka, padahal antara mereka ada hubungan kerabat dan sayang. Allah tahu kesungguhan mereka dan karena itu Allah menghibur mereka dengan ayat ini. Allah berjanji kepada mereka, bahwa Dia akan menciptakan kasih-sayang di antara mereka. Kasih-sayang ini sempurna pada saat Penaklukan kota Makkah, sebab seluruh suku Quraisy saat itu masuk Islam.” (5093) Allah menyatukan mereka setelah mereka bercerai-berai. Ar-Rāzi berkata: “Kata mudah-mudahan adalah janji dari Allah dan Dia akan merealisasikan janji itu. Janji adalah bersatunya orang kafir dengan kaum Muslimīn dan percampuran mereka saat Penaklukan Makkah.” (5104). “Dan Allah adalah Maha Kuasa”; Allah Maha Kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya. Dia kuasa untuk membolak-balikkan hati dan merubah keadaan. “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”; Allah sangat pengampun dan penyayang bagi orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya.
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”; Allah tidak melarang kalian untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama Islam kalian dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian, seperti kaum wanita dan anak-anak. Yang dimaksud berlaku adil adalah adil bersama mereka. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”; Allah menyukai orang-orang yang adil dalam segala perkara dan hukum. Ibnu ‘Abbās berkata: “Sasaran turunnya ayat ini adalah kabilah Khuzā‘ah, mereka mengadakan perjanjian damai dengan Nabi s.a.w. bahwa mereka tidak akan memerangi beliau dan tidak akan membantu siapapun untuk merugikan beliau. Maka Allah memberi keringanan untuk berbuat baik kepada kabilah tersebut.” (5115) Diriwayatkan bahwa Asmā’ binti Abī Bakar r.a. berkata: “Ibuku yang masih kafir datang pada saat Nabi mengadakan perjanjian damai Ḥudaibiyah dengan kafir Makkah. Aku menghadap Nabi s.a.w. lalu bertanya: “Ya Rasūlullāh, ibuku tiba dan dia bersikap baik. Apakah aku boleh silaturahim kepadanya?” Beliau menjawab: “Ya, silaturahimlah kepada ibumu.” (5126) Maka Allah menurunkan ayat: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu”; Allah hanya melarang kalian untuk berteman dan mengasihi orang-orang yang menyatakan perang dengan kalian dan memerangi kalian dalam perkara agama dan mereka membantu musuh kalian untuk mengusir kalian dari rumah kalian, lalu kalian menjadikan mereka sebagai teman, pembantu dan kekasih. “Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhālim”; barang siapa berteman dengan musuh Allah dan menjadikannya sebagai penolong dan kekasih, maka mereka itulah orang yang menganiaya dirinya sendiri dengan menjerumuskan diri ke dalam siksa.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka”; ujilah mereka agar kalian tahu kesungguhan iman mereka. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Termasuk isi perjanjian perdamaian Ḥudaibiyah yang disepakati oleh Nabi s.a.w. dan kafir Makkah adalah; Muslim yang mendatangi kafir Makkah tidak dikembalikan kepada Nabi s.a.w. Sedangkan orang kafir yang mendatang Nabi s.a.w. dikembalikan ke Nabi s.a.w. Lalu, saudaranya Umārah dan al-Walīd datang setelahnya dan berkata kepada Nabi s.a.w.: “Kembalikan Ummi Kultsūm binti ‘Uqbah bin Abī Mu‘aith hijrah kepada Nabi s.a.w. Lalu, saudaranya Umarah dan al-Walīd datang setelahnya dan berkata kepada Nabi s.a.w.: “Kembalikan Ummi Kultsūm kepada kami dengan sesuatu syarat.” Nabi s.a.w. menjawab: “Perjanjian itu untuk kaum lelaki, bukan kaum wanita.” Maka Allah menurunkan ayat ini. Ibnu ‘Abbās berkata: “Wanita diperintah untuk bersumpah bahwa dia berhijrah bukan karena membenci suaminya dan bukan karena menginginkan materi serta tidak keluar kecuali karena cinta kepada Allah dan Nabi s.a.w. serta mencintai Islam.” (5137) “Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka”; Allah lebih mengetahui kesungguhan mereka dalam mengaku beriman, sebab Allah-lah yang melihat hati mereka. Kalimat ini mu‘taridhah (keterangan) untuk menjelaskan, bahwa ujian itu hanya untuk kaum Muslimīn, sebab Allah tahu rahasia dan tidak ada yang samar bagi-Nya: “maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir”; jika kalian yakin bahwa wanita-wanita itu beriman setelah kalian uji, maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada suami-suami mereka yang kafir. “Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”; wanita mu’min tidak halal bagi lelaki musyrik dan lelaki mu’min tidak halal menikah dengan wanita musyrik. Al-Alūsī berkata: “Pengulangan ini bertujuan untuk lebih mengharamkan dan untuk memutuskan hubungan antara wanita mu’minah dengan lelaki musyrik.” (5148) “Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar”; berikanlah kepada suami-suami yang kafir itu mas kawin yang telah mereka keluarkan. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, Allah memerintahkan agar suami yang kafir diberi apa yang dia nafkahkan kepada istrinya jika istrinya masuk Islam. Sehingga mereka tidak menderita dua kerugian, yaitu rugi istri dan rugi harta-benda.” (5159) “Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”; tidak ada dosa maupun salah bagi kalian jika kalian mengawini istri-istri yang hijrah itu jika kalian memberi mereka mas kawin. Al-Khāzin berkata: “Allah membolehkan kaum Muslimīn menikah dengan wanita-wanita yang hijrah dari daerah peperangan ke daerah Islam, meskipun mereka mempunyai suami yang masih kafir. Sebab Islam memisahkan antara mereka dengan suami mereka dan perceraian terjadi karena habisnya masa ‘iddah mereka.” (51610) “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”; janganlah kalian berpegang pada akad nikah istri kalian yang kafir, sebab tidak ada pegangan maupun hubungan pernikahan antara kalian dengan mereka. Al-Qurthubī berkata: “Yang dimaksudkan tali adalah perkawinan. Allah berfirman: “Barang siapa istri di Makkah yang kafir, maka istri itu tidak diperhitungan, sebab sebenarnya ia bukan istrinya, sebab pernikahan keduanya telah dipisahkan karena beda agama.” (51711) “dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar”; hai orang-orang mu’min, hendaknya kalian meminta mas kawin yang telah kalian bayar jika istri kalian bergabung dengan orang kafir, dan hendaknya orang-orang kafir meminta mas kawin yang mereka berikan kepada istri mereka yang berhijrah. Ibn-ul-‘Arabī berkata: “Jika ada wanita Muslim murtad dan bergabung dengan orang kafir, maka dikatakan kepada pihak kafir: “Berikanlah mas kawinnya.” Dikatakan kepada kaum Muslimīn jika salah satu wanita kafir datang sebagai Muslimah dan berhijrah: “Kembalikan mas kawinnya kepada orang-orang kafir.” Hal itu adil bagi kedua belah pihak.” (51812) “Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu”; itulah hukum Allah yang adil di antara kalian dan musuh-musuh kalian. “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”; Allah tahu kemaslahatan para hamba dalam membuat hukum untuk mereka dan Dia mengundang-undangkan sesuai hikmah.
“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir”; jika istri seorang Muslim melarikan diri dan bergabung dengan pihak kafir: “lalu kamu mengalahkan mereka” lalu kalian memerangi mereka dan merampas harta dari mereka: “maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari istrinya itu mahar sebanyak yang mereka bayar”; berikanlah kepada suami yang istrinya melarikan diri mas kawin yang telah dia berikan kepada istrinya dari harta rampasan yang ada di tangan kalian. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ma‘nanya, jika istri seorang lelaki dari Muhājirīn bergabung dengan pihak kafir, maka Nabi s.a.w. menyuruh agar lelaki itu diberi mas kawin yang dia berikan dari harta rampasan.” (51913). Al-Qurthubī berkata: “Ketika ayat dahulu turun: “dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar”; maka kaum Muslimīn berkata: “Kami rela dengan hukum Allah.” Mereka mengirimkan surat kepada pihak kafir, namun mereka menolak, sehingga turunlah ayat ini.” (520520). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/68, kemudian al-Qurthubī mengutip dari Qatādah, bahwa hukum ini di-nasakh dengan surat at-Taubah.) “Dan bertaqwālah kepada Allah”; dan hendaknya kalian merasa bahwa Allah mengawasi ucapan dan perbuatan kalian. Hati-hatilah dan takutlah kalian akan siksa-Nya jika kalian melawan perintah-Nya. “Yang kepada-Nya kamu beriman”; yang kalian beriman dan membenarkan-Nya, sebab termasuk konsekwensi iman adalah taqwā kepada ar-Raḥmān.
Ketika Nabi s.a.w. menaklukkan kota Makkah, maka kaum wanita penduduk Makkah berbaiat kepada beliau dan masuk Islam, sebagaimana baiat kaum lelaki. Maka turunlah ayat: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah”; jika datang kepadamu kaum wanita yang beriman untuk baiat, maka baiatlah mereka atas enam hal penting ini dan yang paling penting adalah tidak mempersekutukan Allah, “tidak akan mencuri, tidak akan berzina”; bahwa mereka tidak akan melakukan kejahatan mencuri maupun kejahatan zina yang termasuk dosa paling menjijikkan. “tidak akan membunuh anak-anaknya”; mereka tidak akan mengubur anak hidup-hidup sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah karena takut aib atau khawatir melarat. Ibnu Katsīr berkata: “Larangan tersebut ya‘ni membunuh anak setelah lahir sebagaimana yang dilakukan orang Jahiliyyah karena takut air atau melarat dan termasuk membunuh anak ketika masih janin sebagaimana dilakukan wanita-wanita yang bodoh saat itu. Dia menjatuhkan dirinya agar tidak mengandung, baik karena tujuan yang salah atau tujuan sejenisnya.” (52114) “tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka”; mereka tidak mengakui anak angkat sebagai anak kandung. Yaitu istri berkata kepada suaminya: “Ini anakku darimu.” ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Pada zaman dulu, jika wanita khawatir diceraikan suaminya karena tidak bisa mengandung maka dia mengangkat anak dan menisbatkan anak itu kepada suaminya agar dia tetap menjadi istri. Maka yang dimaksudkan ayat adalah anak temuan. Bukan yang dimaksudkan adalah zina sebab sudah disebutkan sebelumnya secara jelas.” (52215) Ibnu ‘Abbās berkata: “Janganlah seorang wanita menisbatkan anak kepada suaminya jika bukan anak darinya.” Al-Farrā’ berkata: “Dahulu seorang wanita mengangkat anak. Lalu berkata kepada suaminya: “Anakku ini darimu.” Maka Allah berfirman: “tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka”; sebab anak jika lahir, ia jatuh di antara kedua tangan dan kaki ibu.” (52316) “dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik”; ini syarat bai‘at selanjutnya; bahwa mereka tidak akan melawan perintahmu mengenai kebaikan yang kamu perintahkan kepada mereka atau kemungkaran yang kamu larang bagi mereka. Sebaliknya mereka taat dan mendengar “maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka”; maka baiatlah mereka hai Muḥammad atas syarat-syarat tersebut dan mintakan untuk mereka ampunan serta maaf dari Allah atas dosa-dosa dahulu. “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”; Allah luas ampunan-Nya dan agung rahmat-Nya.
Abū Ḥayyān berkata: “Bai‘at kaum wanita terjadi pada hari kedua dari penaklukan Makkah di atas gunung Shafā setelah Nabi s.a.w. selesai membai‘at kaum lelaki. Nabi s.a.w. di atas gunung Shafā dan ‘Umar lebih rendah dari beliau. ‘Umar membai‘at kaum wanita berdasarkan perintah Nabi dan ‘Umar menyampaikan suara Nabi kepada mereka. Tangan Nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita manapun. Asmā’ binti Sakan berkata: “Aku termasuk wanita yang membai‘at, lalu aku berkata: “Bentangkanlah tanganmu ya Rasūlullāh, maka kami berbai‘at kepadamu. Beliau bersaba kepadaku: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita. Namun aku ambil atas kalian apa yang diambil Allah atas kalian.” Hindun binti ‘Utbah (yang membelah perut paman beliau, Ḥamzah dalam perang Uhud) menyamar di antara kaum wanita. Ketika Nabi membaca ayat: “bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri” Hindun yang masih menyamar berkata: “Ya Rasūlullāh, Abū Sufyān lelaki yang kikir dan aku mengambil sedikit dari hartanya. Aku tidak tahu, apakah itu halal bagiku atau tidak? Abū Sufyān berkata: “Apa yang kamu ambil pada masa lalu maupun masa mendatang, halal bagimu. Maka Nabi s.a.w. tertawa dan mengenal Hindun serta bersabda: “Kamu sungguh Hindun binti ‘Utbah?” Hindun menjawab: “Ya, maka maafkanlah apa yang telah lalu wahai Nabi Allah, semoga Allah memaafkanmu.” Ketika Nabi membaca: “tidak akan berzina” Hindun berkata: “Apakah wanita merdeka (bukan budak) berzina?” Ketika Nabi membaca “tidak akan membunuh anak-anaknya” Hindun berkata: “Kami mendidik mereka ketika masih kecil dan engkau membunuh mereka ketika besar.” (Anak Hindun yang bernama Ḥanzhalah terbunuh pada perang Badar). Maka ‘Umar tertawa sampai terlentang dan Nabi s.a.w. tersenyum. Ketika Nabi membaca: “tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka” Hindun berkata: “Demi Allah, dusta sungguh perbuatan yang buruk dan Allah hanya memerintahkan kebaikan dan kemuliaan pekerti.” Ketika Nabi membaca: “dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik”, Hindun berkata: “Demi Allah, tidaklah kami duduk di majlis ini, sedangkan di hati ini ada keinginan untuk durhaka kepadamu dalam hal apapun.” (52417) Imām Aḥmad meriwayatkan dari Umaimah binti Raqīqah, saudari Khadījah Umm-il-Mu’minīn, dia berkata: “Aku menghadap Nabi s.a.w. bersama wanita-wanita yang berbai‘at kepada Nabi s.a.w. Kemudian beliau membaca ayat al-Qur’ān: “bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah” beliau bersabda: “Pada apa yang kalian mampui dan sanggupi”. Kami berkata: “Allah dan Rasūlullāh lebih sayang kepada kami daripada diri kami sendiri. Ya Rasūlullāh, tidakkah engkau berjabat tangan dengan kami?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita. Sesungguhnya ucapanku kepada satu wanita sama dengan ucapanku kepada seratus wanita.” (52518).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah”; hai orang mu’min, janganlah kalian berteman dengan kaum kafir-kafir musuh Islam dan jangan jadikan mereka kawan yang kalian kasihi dan kalian ikuti pendapatnya sebab Allah memurkai mereka dan melaknat mereka. Ḥasan Bashrī berkata: “Kaum tersebut adalah Yahudi, sebab firman Allah: “Bukan mereka yang dimurkai.” (al-Fātiḥah: 7). Ibnu ‘Abbās berkata: “Yang dimaksud kaum tersebut adalah kaum kafir Quraisy. Sebab, setiap orang kafir dimurkai oleh Allah.” (52619) Namun yang jelas adalah ayat ini bersifat umum sebagaimana dikatakan Ibnu Katsīr yang mencakup kaum Yahudi, Nashrani dan kaum kafir lainnya yang dila‘nat dan dimurkai oleh Allah.” (52720) “sesungguhya mereka telah putus-asa terhadap negeri akhirat”; kaum itu adalah orang-orang yang berputus asa terhadap pahala akhirat dan keni‘matannya. “akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus-asa”; sebagaimana keputusasaan orang-orang kafir yang mendustakan hari kebangkitan dan kehidupan kembali setelah mati. Mereka putus asa terhadap hidup mereka kembali untuk kedua kalinya setelah mereka mati. Dulu mereka berkata ketika ada kerabat atau teman yang meninggal dunia. “Ini hidup terakhirnya dan dia tidak akan dibangkitkan untuk selamanya.” (52821) Surat yang mulia ini ditutup sebagaimana diawalinya, yaitu dengan larangan mengasihi musuh-musuh Allah. Fungsinya sebagai penguatan. Pembukaan dan penutupan serasi dan sesuai dan ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam ‘ilmu balāghah.
Dalam surat al-Mumtaḥanah terdapat keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:
Pertama, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) dalam ayat:
وَ أَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَ مَا أَعْلَنْتُمْ
“aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”
Sebab merahasiakan dan menampakkan sesuai dalam kalimat.
Kedua, kritikan dan celaan:
تُسِرُّوْنَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ أَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ
“kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muḥamamd) kepada mereka, karena rasa kasih-sayang, aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan.”
Ketiga, mendahulukan kata yang harusnya di akhir untuk menunjukkan ḥashr (pembatasan):
رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَ إِلَيْكَ أَنَبْنَا وَ إِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
“Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.”
Keempat, shīghat mubālaghah: (قَدِيْرٌ …… غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.); Maha Kuasa,…..Maha Pengampun, Maya Penyayang, ini banyak sekali dalam al-Qur’ān. Demikian juga (عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ); Maha mengetahui dan Maha Bijaksana.
Kelima, thibāq salab (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh):
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama”.
Lalu Allah berfirman:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu”.
Keenam, jumlah mu‘taridhah (kalimat terpisah) (اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ) “Allah lebih mengetahui keimanan mereka” untuk mengisyaratkan, bahwa yang lahir untuk manusia dan batin untuk Allah..
Ketujuh, ‘aqs (membalik) dan tabdīl (mengganti):
لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَ لَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ
“mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka”
Kedelapan, kināyah (sindiran) yang lembut:
وَ لَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِيْنَهُ بَيْنَ أَيْدِيْهِنَّ وَ أَرْجُلِهِنَّ
“tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka”
Yang dimaksudkan adalah anak angkat. Ini termasuk kināyah yang paling lembut.
Kesembilan, tasybīh mursal mujmal (perumpamaan):
قَدْ يَئِسُوْا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُوْرِ.
Sebagaimana pada firman ini terdapat keindahan bahasa jenis “radd-ul-‘ajūz ‘alā shadr” mengembalikan penutup atas pembukanya di mana terdapat kesesuaian antara pembuka surat dan penutup surat.