Kemudian Allah menjelaskan cara membayar kaffarat dari ucapan yang keji itu. “Orang-orang yang menzhihār istri mereka”; dengan menyerupakan istri mereka dengan ibu mereka. “kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan”; mereka meralat ucapan itu dan menyesali kesalahan serta ingin mengembalikan istri mereka kepada mereka. “maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur”; mereka harus memerdekakan budak, baik lelaki maupun wanita, sebelum mereka bergaul atau bersenggama dengan istri mereka. Yang dimaksudkan bercampur adalah senggama dan hal-hal yang mengarah ke sana berupa ciuman dan bersentuhan, demikian menurut jumhur ‘ulamā’. Al-Khāzin berkata: “Yang dimaksudkan bercampur adalah senggama. Karenanya, suami yang menzhihār istrinya maka haram menyenggama istrinya, kecuali jika dia membayar kaffarat.” (4151). Al-Qurthubī berkata: “Suami yang menzhihār tidak boleh senggama sebelum membayar kaffarat. Jika suami menyenggama istrinya sebelum membayar kaffarat, maka dia durhaka dan berdosa dan kaffarat masih wajib baginya. Bahkan ada riwayat dari Mujāhid, bahwa ia harus membayar dua kaffarat.” (4162) “Demikianlah yang diajarkan kepada kamu”; itulah hukum Allah mengenai suami yang menzhihār agar orang-orang mu’min mengambil nasihat dan pelajaran sehingga mereka tidak berzhihār dan tidak akan mengulanginya. “dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”; Allah Maha Tahu segala perkara lahir dan bāthinnya dan akan membalas kalian dengannya. Karena perkara lahir dan bāthinnya dan akan membalas kalian dengannya. Karena itu, perhatikanlah batas-batas hukum syarī‘at Allah.
“Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”; barang siapa tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebelum senggama. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Jika penzhihār tidak berpuasa sehari saja dari dua bulan itu, maka kaffaratnya batal dan dia harus memulai dari awal. “Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin”; barang siapa tidak mampu berpuasa karena tua atau sakit, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin dengan sesuatu yang mengenyangkan mereka. “Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya”; apa yang Kami jelaskan berupa hukum zhihār bertujuan agar kalian percaya kepada Allah dan Rasūl-Nya dalam menjalankan syarī‘at dan tidak terus-menerus mengikuti hukum-hukum Jāhiliyyah. “Dan itulah hukum-hukum Allah”; itulah perintah-perintah dan batas-batas Allah, maka janganlah kalian melampaui dan melanggarnya. “dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”; orang-orang yang menentang dan melanggar batas-batas ini mendapat siksa yang pedih dan menyakitkan. Al-Alūsī berkata: “Kata kafir di sini artinya orang yang melampaui batas untuk memberatkan masalah ini dan melarang orang mu’min melakukannya.” (4173).
Setelah menyebutkan orang-orang mu’min yang berhenti pada batas-batasNya, maka Allah menyebutkan orang-orang yang menentangnya. “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasūl-Nya”; mereka melawan perintah serta memusuhi Allah dan Rasūl-Nya. Abū Su‘ūd berkata: “Ya‘ni, memusuhi Allah dan Rasūl. Disebut demikian, sebab masing-masing dari dua orang yang bermusuhan berada di arah yang berlawanan satu sama lain. Yang disebutkan di sini adalah kata (يُحَادُّوْنَ) bukan kata yang lain, agar sesuai dengan kata (حُدُوْدُ). Maka antara keduanya terdapat korelasi dan kesesuaian yang tiada tara.” (4184) “pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan”; mereka dihinakan dan direndahkan sebagaimana orang-orang munāfiq dan orang-orang kafir sebelum mereka yang menentang Allah dan Rasūl. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata”; padahal Kami telah menurunkan bukti-bukti yang jelas dengan dijelaskannya halal, haram, fardhu dan hukum. “Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan”; orang-orang kafir yang menentangnya dan tidak meng‘amalkannya akan mendapatkan siksa yang pedih, menghinakan mereka dan menghapus keagungan mereka. Ash-Shāwī berkata: “Sasaran turunnya ayat ini adalah kafir-kafir Makkah pada perang Aḥzāb. Ketika itu mereka ingin bersatu-padu melawan Nabi s.a.w. Tujuan ayat ini ingin menghibur Nabi s.a.w. dan memberi berita gembira untuk beliau dan kaum Muslimīn, bahwa musuh mereka yang terdiri dari beberapa kelompok (aḥzāb) akan hina-dina serta kocar-kacir. Maka janganlah kalian takut akan serangan mereka.” (4195).
“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya”; ingatlah hari yang menakutkan itu, ketika Allah menggiring orang-orang yang berdosa semuanya dalam satu kelompok. “lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”; lalu Allah memberi tahu mereka apa yang mereka lakukan di dunia, berupa kejahatan dan dosa. “Allah mengumpulkan (mencatat) ‘amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya”; Allah mendokumentasikannya atau mereka dalam catatan ‘amal perbuatan mereka, sedangkan mereka sendiri lupa dosa-dosa itu. Sebab mereka berkeyakinan bahwa tidak ada hisab maupun balasan. “Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”; Allah melihat dan mengamatinya, tidak ada yang samar bagi-Nya.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa ‘ilmu-Nya luas dan Dia meliput segala sesuatu dan bahwa Dia melihat makhlūq, mendengar ucapan mereka dan melihat tempat mereka, di manapun mereka berada: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya”; tidakkah kamu tahu manusia, bahwa Allah melihat segala bagian terkecil sekalipun di alam ini? Tidak ada yang lepas dari-Nya, baik di bumi maupun di langit dan tidak samar bagi-Nya yang rahasia maupun yang tampak. Tidak terjadi bisikan dan pembicaraan antara tiga orang, kecuali Allah yang keempat dari mereka dengan ‘ilmu-Nya dan menyertai dalam pembicaraan yang mereka sembunyikan dari orang lain. “Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya; tidak ada bisik-bisik dan pembicaraan rahasia antara lima orang, kecuali Alah yang keenam dan ada bersama mereka dengan ‘ilmu-Nya. “Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada”; dan tidak pula kelompok orang yang lebih sedikit daripada jumlah tersebut maupun yang lebih banyak darinya, kecuali Allah tahu pembicaraan dan bisikan di antara mereka. Tujuan ayat ini, Allah ingin menegaskan Dia hadir bersama para hamba dan melihat keadaan dan perbuatan mereka. Bahkan Maha Tahu apa yang terbersit di dalam hati mereka. Tidak ada yang samar bagi Allah dari perkara hamba. Itulah sebabnya Allah menutup ayat ini dengan firman: “Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”; kemudian Allah memberi tahu mereka apa yang telah mereka lakukan, baik maupun buruk dan akan membalas mereka dengannya pada hari kiamat. Allah Maha Tahu segala sesuatu. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Allah memulai ayat ini dengan ‘ilmu “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui”; dan menutupnya dengan ‘ilmu pula “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (ujung ayat). Ini mengingatkan, bahwa ‘ilmu-Nya meliputi hal-hal yang kecil maupun hal-hal besar. Tidak ada yang lepas dari Dia. Sebab ‘ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Ibnu Katsīr berkata: “Banyak ‘ulamā’ menyebutkan bahwa sudah menjadi ijma‘ ‘ulamā’, bahwa yang dimaksukan: “melainkan Dia ada bersama mereka” adalah kebersamaan dengan ‘ilmu. Jelas bahwa dimaksudkan memang demikian, sebab pendengaran dan ‘ilmu Allah meliputi mereka dan penglihatan-Nya menembus mereka. Maka Allah melihat maklūq-Nya dan tidak ada yang samar dari-Nya dari perkara mereka. (4206).
Kemudian Allah menjelaskan sifat kaum Yahudi dan orang-orang munāfiq dengan berfirman: “Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia”; Al-Qurthubī berkata: “Sasaran turunnya ayat ini adalah kaum Yahudi dan munāfiq yang saling berbisik di antara mereka. Ketika melihat para sahabat, mereka saling berisyārat dengan mata. Para sahabat mengadukan hal itu kepada Nabi s.a.w. Lalu beliau melarang mereka namun mereka tidak mengindahkan larangan itu. Maka turunlah ayat ini.” (4217) “kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu”; kemudian mereka kembali berbisik-bisik yang dilarang bagi mereka. Abū Su‘ūd berkata: “Firman “Apakah tiada kamu perhatikan” adalah untuk menunjukkan keheranan akan sikap mereka. Sedangkan bentuk mudhāri‘ (kata kerja bentuk sekarang atau akan datang) “kemudian mereka kembali” menunjukkan bahwa mereka berkali-kali melanggar larangan dan menghadirkan hal itu di dalam hati.” (4228) “dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasūl”; mereka saling berbicara di antara mereka sendiri dengan dosa, permusuhan dan melawan perintah Nabi s.a.w., sebab pembicaraan mereka berkisar antara makar dan muslihat terhadap kaum Muslimīn. Abū Ḥayyān berkata: “Allah menyebutkan dosa dahulu karena secara umum tindakan itu. Lalu menyebutkan permusuhan sebab permusuhan itu hal besar dalam jiwa. Kemudian yang ketiga lebih besar lagi yaitu maksiat kepada Nabi s.a.w. Ayat ini mencela orang-orang munāfiq, sebab isi bisik-bisik mereka adalah ketiga hal di atas.” (4239) “Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salām kepadamu dengan memberi salām yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu”; jika hadir di sisimu hai Muḥammad, mereka memberi penghormatan kepadamu dengan penghormatan zhālim yang tidak dianjurkan dan tidak diidzinkan oleh Allah, yaitu ucapan: “As-sāmu ‘alaikum” (semoga kalian mati). ‘Ulama’ tafsir berkata: “Kaum Yahudi menghadap Nabi s.a.w. dan berkata: “As-sāmu ‘alaikum sebagai pengganti as-salāmu ‘alaikum. Sām artinya kematian dan itulah yang mereka inginkan. Jawaban Nabi s.a.w. kepada mereka hanyalah: “Wa ‘alaikum” hanya itu dan tidak lebih. Suatu hari ‘Ā’isyah mendengar mereka, lalu ‘Ā’isyah berkata: “Bahkan kematian dan laknat semoga menimpa kalian.” Setelah mereka pulang, Nabi s.a.w. bersabda kepada ‘Ā’isyah: “Tenang hai ‘Ā’isyah, sesungguhnya Allah membenci ucapan dan tindakan keji.” ‘Ā’isyah menjawab: “Ya Rasūlullāh, tidakkah anda mendengar apa yang mereka ucapkan?” Nabi menjawab: “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku ucapkan kepada mereka? Sesungguhnya aku berkata kepada mereka: “Wa ‘alaikum” (semoga kematian itu atas kalian). Maka Allah mengabulkan aku pada mereka dan Allah tidak mengabulkan mereka pada aku.” “Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?”; mereka berkata di antara mereka sendiri: Seharusnya Allah menyiksa kita karena ucapan ini seandainya Muḥammad Nabi. Seandainya Muḥammad Nabi, tentu Allah menyiksa kita karena ucapan tersebut. Allah menyanggah mereka: “Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki”; cukuplah Jahannam menjadi siksa bagi mereka, cukup bagi mereka masuk ke dalam panas Jahannam. “Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”; seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kembali bagi mereka adalah Jahannam. Ibn-ul-‘Arabī berkata: “Orang-orang munāfiq berkata: “Seandainya Muḥammad Nabi, tentu Allah tidak membiarkan kita untuk mencaci-makinya dan menghinanya. Mereka tidak tahu, bahwa Allah Maha Penyantun yang tidak menyegerakan siksa bagi orang yang mencaci-makiNya. Lalu bagaimana orang yang mencaci-maki Nabi-Nya? Dalam hadits shaḥīḥ disebutkan: “Tidak seorang pun lebih sabar terhadap perlakuan buruk melebihi Allah. Mereka menuduh Allah mempunyai istri dan anak, sedangkan Dia tetap memberikan kesehatan dan rezeki kepada mereka.” Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menguak rahasia dan mempermalukan bāthin mereka serta memuliakan Rasūl-Nya.” (42410) Mereka dibiarkan seperti itu di dunia karena kemuliaan Nabi s.a.w. di sisi Allah, sebab beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Kemudian Allah melarang orang-orang mu’min untuk saling membisikan dosa dan maksiat. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasūl”; jika kalian berbicara antara kalian sendiri dengan pelan, maka janganlah kalian membicarakan ucapan dosa atau permusuhan dengan orang lain atau melanggar atau durhaka kepada perintah Nabi s.a.w.: “Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan taqwā”; bicarakan antara sesama kalian sesuatu yang mengandung kebaikan dan taat serta perbuatan baik. Al-Qurthubī berkata: “Allah melarang orang-orang mu’min untuk saling berbisik sebagaimana yang dilakukan orang-orang munāfiq dan Yahudi. Allah memerintah mereka untuk saling membisikkan ketaatan dan taqwā serta menjauhi apa yang dilarang Allah.” (42511) “Dan bertaqwālah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan”; takutlah kalian kepada Allah dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Allah akan mengumpulkan kalian untuk perhitungan ‘amal dan membalas masing-masing dengan perbuatannya.
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaithān, supaya orang-orang yang beriman itu berduka-cita”; membisikkan dosa dan permusuhan hanyalah berasal dari tipuan syaithān agar dengan bisikan itu syaithān membuat kaum Muslimīn berduka-cita. Ibnu Katsīr berkata: “Hal itu keluar dari orang-orang yang saling berbisik karena ditipu oleh syaithān.” (42612) “sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudarat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan idzin Allah”; bisik-bisik itu sama sekali tidak merugikan kaum Muslimīn, kecuali dengan kehendak Allah. “dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal”; hanya kepada Allah saja hendaknya orang-orang mu’min pasrah dan bergantung. Jangan mereka mempedulikan bisik-bisik orang-orang munāfiq, sebab Allah menjaga Muslimīn dari kejahatan dan tipu muslihat para munāfiq itu. Dalam hadits disebutkan: “Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang saling berbisik tanpa teman mereka, sebab sesungguhnya hal itu menyedihkannya.” (42713).
Catatan:
- 415). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/45.
- 416). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/283.
- 417). Tafsīr-ul-Alūsī, 28/20.
- 418). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/144.
- 419). Ḥāsyiyat-ush-Shāwī ‘alā-l-Jalālain, 4/181.
- 420). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/461.
- 421). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/291.
- 422). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/145.
- 423). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/236.
- 424). Dikutip dari Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/292.
- 425). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/294.
- 426). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/463.
- 427). Diriwayatkan Bukhārī Muslim.