SURAH AL-MUDDATSTSIR
Surah ini meliputi lima puluh enam (56) ayat.
Surah ini Makkiyyah (diturunkan di Makkah), tanpa ada perbedaan pendapat.
Diriwayatkan oleh Ibn-udh-Dhurais, an-Naḥḥās, Ibnu Mardawaih, al-Baihaqī dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Diturunkan Surah al-Muddatstsir di Makkah. Ibnu Mardawaih dan Ibnu Zubair meriwayatkan yang sama.
Akan ada pembahasan bahwa surah ini adalah yang pertama kali diturunkan dari al-Qur’ān.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ. فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ. ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا. وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا. وَ بَنِيْنَ شُهُوْدًا. وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا. ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ. كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيْدًا. سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا. إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ. فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ نَظَرَ. ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ. ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ. فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ. إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ. سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ. لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ. لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ. عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.
74: 1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
74: 2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
74: 3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
74: 4. Dan pakaianmu bersihkanlah!
74: 5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
74: 6. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
74: 7. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
74: 8. Apabila ditiup sangkakala,
74: 9. Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit,
74: 10. Bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.
74: 11. Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.
74: 12. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak,
74: 13. Dan anak-anak yang selalu bersama dia,
74: 14. Dan Ku lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya,
74: 15. Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.
74: 16. Sekali-kali tidak (akan Aku tambah),
74: 17. Karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (al-Qur’ān),
74: 18. Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.
74: 19. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya),
74: 20. Maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?
74: 21. Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?
74: 22. Kemudian dia memikirkan,
74: 23. Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut.
74: 24. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri,
74: 25. Lalu dia berkata: “(al-Qur’ān) ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.”
74: 26. Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.
74: 27. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar?
74: 28. Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.
74: 29. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia.
74: 30. Dan di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).
(al-Muddatstsir [74]: 1-30).
Al-Wāḥidī berkata: Para ahli tafsir menyatakan: Tatkala pertama kali Rasūlullāh s.a.w. menerima wahyu, beliau didatangi Jibrīl dan beliau melihatnya berada di antara langit dan bumi, seperti cahaya berkilauan. Maka beliau pun terkejut hingga tidak sadarkan diri (pingsan), lalu ketika beliau sadar, beliau mendatangi Khadījah dan meminta air dan menuangkan untuknya, dan beliau berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku,” maka Khadījah pun menyelimuti beliau dengan kain.
Kemudian Jibrīl menyampaikan: (يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ) “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!” Makna “Hai orang yang berkemul (berselimut),” yakni: “Wahai orang yang berselimut dengan pakaiannya.” Yakni: membungkus badannya dengannya. Asal katanya adalah (الْمُتَدَثِّرُ), kemudiabn huruf tā’ dimasukkan ke dāl, karena huruf ini dari jenis yang sama (mirip).
Jumhur ulama membaca dengan idgham, sementara Ubay membaca (الْمُتَدَثِّرُ) sesuai aslinya. Lafazh (الدثارُ) adalah sesuatu yang dikenakan di atas syi‘ar, dan syi‘ar berarti yang mengikuti bagian tubuh.
‘Ikrimah berkata: Maknanya adalah “Wahai orang yang berkemul (berselimut) dengan kenabian dan beban-bebannya. Ibn-ul-‘Arabī berkomentar: “Ini adalah majaz (metafora/perumpamaan) yang jauh, karena saat itu beliau belum menjadi nabi.”
(قُمْ فَأَنْذِرْ) “Bangunlah, lalu berilah peringatan!” Yakni, Bangkitlah, takut-takutilah penduduk Makkah dan peringatkanlah mereka dengan datanglah adzab jika mereka belum mau menerima. Atau bangkitlah dari tempat tidurmu, atau bangkitlah untuk tekad bulat dan membuat rencana. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud “berilah peringatan” di sini adalah memberitahu mereka tentang kenabian beliau, dan ada pula yang mengatakan, memberitahu mereka tentang tauhid. Al-Farrā’ berkata: “Maknanya, bangkitlah dan shalatlah, dan perintahkanlah shalat.”
(وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ) “Dan Tuhanmu agungkanlah!”, Yakni, khususkanlah Tuhanmu, Pemilikmu, dan Pengatur segala urusanmu, dengan pengagungan. Di sini Allah menyifati Dzāt-Nya dengan keagungan dan kesombongan, padahal Dia Maha Agung untuk memiliki tandingan, sebagaimana yang disangka orang-orang kafir. Dan, Maha Agung untuk memiliki pasangan atau anak.
Ibnu ‘Arabī berkata: Yang dimaksud adalah mengagungkan kemuliaan dan kesucian dengan meniadakan tandingan, partner, dan berhala-berhala bagi-Nya, tidak menjadikan penolong selain-Nya, tidak menyembah selain-Nya, dan tidak menisbatkan perbuatan kecuali kepada-Nya, dan tidak ada nikmat kecuali dari-Nya. Az-Zujjāj berkata: huruf fā’ yang terdapat pada kata (فَكَبِّرْ) “Agungkanlah” masuk dalam makna jazā’ (balasan), sebagaimana yang terdapat pada kata (فَأَنْذِرْ) “berilah peringatan”. Ibnu Jauzī berkomentar: Itu seperti perkataanmu: (زيدا فاضرب) “Zaid, maka pukullah”, yakni (زيدا اضرب) “Zaid, maka pukullah), maka fā’ di sini sebagai tambahan saja.
(وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) “dan pakaianmu, bersihkanlah,” yang dimaksud adalah pakaian yang dikenakan, sesuai makna secara bahasa. Allah s.w.t. memerintahkan beliau untuk membersihkan pakaiannya dan menjaganya dari najis dan kotoran serta menghilangkan kotoran yang ada padanya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud pakaian di sini adalah pekerjaan, ada pula yang mengatakan hati, ada yang mengatakan jiwa, ada yang mengatakan badan, ada yang mengatakan keluarga, ada yang mengatakan agama, dan ada yang mengatakan akhlak.
Mujāhid, Ibnu Zaid, dan Abū Razīn mengatakan: “Yakni, perbuatanmu, maka perbaikilah.” Qatadah mengatakan: “Jiwamu, maka bersihkanlah dari dosa. Pakaian di sini sebagai refleksi (cerminan) dari jiwa. Sa‘īd bin Jubair berkata: “Hatimu, maka bersihkanlah.” Di antara contoh penggunaan maksud ini adalah perkataan Imra’-ul-Qais:
فَسُلِّيْ ثِيَابِيْ مِنْ ثِيَابِكَ تَنْسُلِ
“Maka potonglah hatiku dari hatimu hingga terlepas.”
‘Ikrimah berkomentar: Maknanya, kenakanlah ia tidak dengan kesombongan dan kemaksiatan. Dan ia berkata: “Tidakkah kau mendengar seorang penyair bersenandung:
وَ إِنِّيْ بِحَمْدِ اللهِ لَا ثَوْبَ فَاجِرٍ | لَبِسْتُ وَ لَا مِنْ غَدْرَةٍ أَتَقَنَّعُ |
“Sesungguhnya aku, segala puji bagi Allah, tidak mengenakan pakaian kemaksiatan dan tidak pula kain kesombongan.”
Penyairnya adalah Ghilān bin Salamah ats-Tsaqafī. Di antara pemutlakan pakaian atas jiwa adalah perkataan ‘Antarah:
فَشَكَوْتُ بِالرُّمْحِ الطَّوِيْلِ ثِيَابَهُ | لَيْسَ الْكَرِيْمُ عَلَى الْقَفَا بِمُحَرَّمِ |
“Aku lukai hatinya dengan tombak yang panjang,
kemuliaan tidak diharamkan bagi yang mengupayakannya.”
Dan perkataan penyair lain:
ثِيَابُ بَنِيْ عَوْفٍ طَهَارَى نَقِيَّةٌ
“Hati bani ‘Auf bersih dan murni.”
Al-Ḥasan dan al-Qurazhī berkata: Maknanya adalah: “Dan akhlakumu, maka sucikanlah”, karena akhlak manusia meliputi semua kondisinya, seperti pakaian meliputi dirinya. Di antara contoh penggunaan makna ini adalah perkataan seorang penyair:
وَ يَحْيَى لَا يُلَامُ بِسُوْءِ خُلُقٍ | وَ يَحْيَى طَاهِرُ الْأَثْيَابِ حُرٍّ |
“Dan Yahya tidak dipersalahkan dengan buruknya etika,
Dan Yahya berhati bersih dan bebas.”
Az-Zajjāj berkata: Maknanya: “Dan pakaianmu, maka pendekkanlah” karena memendekkan pakaian akan lebih jauh dari najis, apabila pakaian itu sampai terseret di tanah.
Thāwus berkata: Pendapat yang pertama lebih tepat, karena itulah makna sebenarnya (hakiki). Dalam pengenaan pakaian tidak terdapat majaz (metafora) untuk maksud selainnya, karena adanya keterkaitan dengan qarīnah (presumsi) yang menunjukkan bahwa itulah yang dimaksud ketika istilah itu dimutlakkan. Juga, penggunaan makna asal pada istilah seperti ini, yakni mengembalikannya pada makna hakiki ketika dimutlakkan, tidak ada pertentangan. Dari ayat ini juga dipahami adanya kewajiban membersihkan (mensucikan) pakaian untuk shalat.
(وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ) “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (الرُّجْز) secara bahasa maknanya adzab. Terkait kata ini, ada dua bahasa yang biasa digunakan; dengan harakat kasrah dan dhammah pada rā’. Perbuatan syirik dan menyembah berhala juga dinamakan (رجز) karena ia menjadi sebab dosa atau datangnya adzab. Jumhur ulama membaca (وَ الرّجْزَ) dengan harakat kasrah pada rā’, sementara al-Ḥasan, Mujāhid, ‘Ikrimah, Ḥafsh, dan Ibnu Muḥaishin dengan dhammah padanya.
Mujāhid dan ‘Ikrimah mengatakan (الرُّجْز) adalah (الْأَوْثَان) “berhala-berhala), sebagaimana di dalam firman Allah: (فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ) “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu.” (al-Ḥajj [22]: 30) pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Zaid. Ibrāhīm an-Nakha‘ī berkata: (الرُّجْز) adalah dosa dan (الهجر) adalah meninggalkan. Dan Qatādah menyatakan: (الرُّجْز) di sini adalah Isāf dan Nā’ilah, keduanya adalah berhala yang pernah ada di Ka‘bah.
Abul-‘Āliyyah, ar-Rabī‘, dan al-Kisā’ī berkata: (الرُّجْز) dengan dhammah berarti berhala dan dengan kasrah berarti adzab.” Dan as-Suddī berkata: (الرُّجْز) dengan dhammah berarti ancaman.” Namun pendapat pertama lebih tepat.