Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (2/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

وَ مَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلآئِكَةً وَ مَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَ يَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَ لَا يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ لِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَ الْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللهُ بِهذَا مَثَلًا، كَذلِكَ يُضِلُّ اللهُ مَنْ يَشَاءُ وَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ، وَ مَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ، وَ مَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ.

Wa mā ja‘alnā ashḥāban nāri illā malā’ikataw wa mā ja‘alnā ‘iddatahum illā fitnatal lil ladzīna kafarū li yastaiqinal ladzīna ūtul kitāba wa yazdādal ladzīna āmanū īmānaw wa lā yartābal ladzīna ūtul kitāba wal mu’minūn, wa liyaqūlal ladzīna fī qulūbihim maradhuw wal kāfirūna mādzā arādallāhu bihādzā matsalā, kadzālika yudhillullāhu may yasyā’u wa yahdī may yasyā’, wa mā ya‘lamu junūda rabbika illā huwa, wa mā hiya illā dzikrā lil basyar.
“Dan Kami tidak menjadikan penjaga neraka, melainkan para malaikat. Kami tidak menentukan jumlah mereka, melainkan untuk menjadi ujian bagi orang kafir, supaya orang-orang yang telah diberi kitab itu menjadi yakin, (dan supaya) orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang yang beriman tidak ragu-ragu dan supaya orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang tidak beriman itu berkata: “Apakah yang Tuhan kehendaki dengan perumpamaan ini?” Demikian Tuhan membiarkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Tidak mengetahui tentara Tuhanmu selain Dia sendiri, dan bilangan itu tidak lain adalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir [74]: 31).

Para malaikatlah yang Kami tugaskan untuk mengawal neraka dan mengatur penyiksaan di dalamnya. Maka, siapakah yang sanggup mengalahkan malaikat itu?

Kami tidak menjadikan sebanyak bilangan itu, melainkan semata-mata sebagai ujian bagi orang-orang yang menyangkal kebenaran. Mereka berkata: “Bagaimana malaikat yang hanya berjumlah 19 dapat mengendalikan usuran penyiksaan jinn dan manusia?”

Allah menjadikan bilangan pengawal Jahannam berjumlah 19 malaikat supaya orang-orang Nashrani dan Yahudi meyakini kenabian Muḥammad. Selain itu, agar mereka mau meyakini bahwa apa yang disebut dalam al-Qur’ān tentang hal itu sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab mereka. Demikian menurut Mujāhid.

Dan supaya iman orang-orang yang mu’min, ketika melihat sikap orang-orang ahlul kitab yang membenarkan jumlah itu, bertambah-tambah imannya kepada keterangan al-Qur’ān.

Orang-orang Yahudi yang memiliki kitab Taurāt, orang-orang Nashrani yang memiliki kitab Injīl, dan orang-orang yang beriman kepada Allah dari umat-umat Muḥammad, tidak meragukan hakikat bilangan itu.

Supaya orang-orang yang meragukan kebenaran Rasul dan orang-orang yang dengan penuh kepastian mendustakan Rasul, bertanya kepada sesamanya: “Apakah yang dikehendaki dengan bilangan malaikat yang sedikit itu?”

Sebagaimana Allah telah menyesatkan orang-orang munafiqin dan musyrikin, yang mencemoohkan jumlah para pengawal Jahannam, begitu pulalah Allah menyesatkan makhluk yang lain yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki dengan menanamkan rasa ingin untuk melakukan amal perbuatan yang baik dan membersihkan jiwanya.

Hanya Allah-lah yang mengetahui berapa jumlah makhluk-Nya dan berapa jumlah malaikat di antara jumlah makhluk itu. Muqātil menuturkan bahwa Abū Jahal pernah berkata: “Apakah Tuhan Muḥammad hanya mempunyai 19 malaikat penolong? Kalau demikian halnya, tentulah kita dapat menghancurkan mereka.” Untuk menangkis pernyataan Abū Jahal itu, Allah menurunkan ayat ini yang menyatakan bahwa, walaupun pengawal neraka itu hanya 19 malaikat, tetapi mempunyai bala tentara yang tidak diketahui berapa jumlah yang sebenarnya.

Jumlah pengawal neraka dan sifatnya yang sudah dijelaskan itu hanyalah merupakan peringatan bagi manusia.

Sebab Turun Ayat

Seluruh sarjana tafsir berpendapat bahwa ayat-ayat yang mengandung ancaman ini diturunkan mengenai al-Walīd ibn Mughīrah. Dia aalah seorang yang kaya, beranak banyak, tinggi kedudukannya, dan besar pengaruhnya dalam masyarakat. Daerah antara Thā’if dan Makkah adalah kepunyaannya. Sepuluh orang anaknya, yang setelah dia tua, selalu mengelilinginya untuk memberikan nasihat kepadanya.

Setelah melihat bahwa para pemimpin musyrik telah didesak oleh seruan Nabi, yang kian hari Islam makin berkembang dan setelah melihat Muḥammad selalu berkumpul dengan utusan-utusan ‘Arab yang datang ke Makkah, yang diajaknya masuk Islam, al-Walīd kemudian mengajak para tokoh Quraisy mengadakan permusyawaratan yang membahas perkembangan agama Islam.

Sesudah pembicaraan dalam permusyawaratan itu berlangsung lama, al-Walīd pun mengatakan: “Aku mendengar Muḥammad membaca suatu susunan perkataan yang bukan perkataan manusia ataupun jinn. Ucapannya sangat indah didengar dan sangat memikat hati. Susunan kalimatnya mengalahkan kehebatan susunan kalimat yang lain.” Mendengar ungkapan itu, riuhlah para anggota permusyawaratan, dan dengan spontan mereka menuduh al-Walīd telah meninggalkan agama nenek moyangnya. Tentu saja, pikir mereka, orang-orang Quraisy akan mengikuti jejaknya. Menyaksikan keriuhan itu, al-Walīd segera meninggalkan perbincangan, dan musyawarah pun bubar tanpa hasil.

Abū Jahal, tokoh Quraisy yang licik, segera menemui al-Walīd di rumahnya, dengan mengobarkan semangat jahiliyyah yang memang terpendam dalam benak al-Walīd. Abū Jahal berkata: “Kami telah menyuruh orang-orang Quraisy mengumpulkan harta untukmu, supaya kamu tidak usah menggunakan hartamu sendiri untuk menghadapi Muḥammad.” Mendengar bujuk rayu Abū Jahal, maka al-Walīd pun berucap: “Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa saya adalah orang terkaya. Aku tidak memerlukan bantuan mereka untuk mematahkan seruan Muḥammad. Mari kita ke Dārun Nadwah, aku ingin memperbaiki ucapanku.”

Di Dārun Nadwah, al-Walīd mengatakan: “Muḥammad itu sebenarnya bukan seorang penyair, bukan seorang penenung, dan bukan pula pendusta. Kamu semua memahami hal itu, dan tidak ada jalan membantahnya. Kalau demikian halnya, apa yang harus kita katakan terhadap Muḥammad?” al-Walīd tertegun agak lama, dan setelah berkali-kali mengerutkan dahinya, dia pun berkata: “Katakanlah Muḥammad itu seorang penyihir, dia sanggup menceraikan antara anak dan ayah, antara budak dan tuannya.” Mendengar hal itu barulah para kafir Quraisy merasa gembira.

Karena itu, Nabi pun merasa gelisah, dan tidak pernah keluar rumah dalam beberapa hari. Di rumah, dia selalu menyelimuti badannya dengan baju luar. Berkenaan dengan ini turunlah surat al-Muddatstsir ini, di mana Allah menyatakan bahwa biarlah Allah sendiri yang akan bertindak terhadap al-Walīd.

3. Segala jiwa tidak dapat melepaskan diri dari hasil perbuataannya. Tidak seorang pun dapat mengerjakan sesuatu tanpa bantuan Allah.

كَلَّا وَ الْقَمَرِ. وَ اللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ. إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ. نَذِيْرًا لِّلْبَشَرِ.

Kallā wal qamar. Wal laili idz adbar. Wash shubḥi idzā asfar. Innahā la iḥdal kubar. Nadzīral lil basyar.
“Tidak ada jalan bagimu untuk membantah, tidak demikian, demi bulan. Demi malam ketika telah pergi (berlalu). Demi subuh ketika telah terang. Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar merupakan salah satu bencana besar. Untuk menjadi peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir [74]: 32-36).

Tidak ada jalan untuk mengingkari seruan Rasūl, karena banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran seruan Muḥammad.

Allah bersumpah dengan bulan dan cahayanya, serta dengan malam dan ketenangannya, kemudian dengan waktu subuh dan sinarnya yang makin terang. Bahwa Jahannam itu disediakan untuk orang-orang yang mendustakan Allah. Masuk neraka merupakan salah satu bencana besar yang menakutkan seluruh umat manusia.

Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk itu, bertujuan memalingkan perhatian kaum musyrik kepada makhluk-makhluk tersebut, yang merupakan pertanda kebesaran Allah.

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ.

Li man syā’a minkum ay yataqaddama au yataakhkhar.
“Bagi siapa di antara kamu yang hendak maju atau mundur.” (51) (Al-Muddatstsir [74]: 37).

Neraka itu merupakan ancaman untuk manusia, baik mereka yang ingin mengerjakan kebaikan ataupun yang ingin mengerjakan kejahatan (kemaksiatan). Memang neraka itu merupakan sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang takut kepada hari kiamat.

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ. إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِيْنِ.

Kullu nafsim bi mā kasabat rahīnah, illā ashḥābal yamīn.
“Setiap diri tergadai (terikat) dengan semua hasil usahanya. Selain dari kaum kanan.” (Al-Muddatstsir [74]: 38-39).

Hanya orang-orang yang bisa membebaskan diri dari semua tanggungjawabnya dengan mengerjakan amalan saleh. Mereka itulah yang dinamakan Ashḥābul Yamīn (kaum kanan). Orang yang menerima kitab catatan amalnya dengan tangan kanan.

فِيْ جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ. مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ.

Fi jannātiy yatasā’alūn. ‘Anil mujrimīn. Mā salakakum fī saqar.
“Di dalam surga, mereka satu sama lain saling bertanya. Tentang orang-orang yang berdosa. Apakah yang membawamu masuk ke dalam neraka?” (Al-Muddatstsir [74]: 40-42).

Ashḥābul Yamīn ditempatkan oleh Allah di dalam bilik-bilik atau kamar surga. Mereka saling bertanya atau berbincang mengenai orang-orang yang berbuat dosa dan ditempatkan oleh Allah di dasar Jahannam. Di antara mereka ada yang menjawab pertanyaan itu: “Kami telah bertanya kepada mereka, apakah yang mendorongmu sehingga masuk ke neraka?”

قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ.

Qālū lam naku minal mushallīn.
“Mereka menjawab: “Kami tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Muddatstsir [74]: 43).

Para penghuni neraka mengatakan, mereka masuk neraka karena di dunia tidak termasuk golongan mu’min yang menjalankan shalat kepada Allah. Kata mereka: “Kami tidak pernah berdoa kepada Allah, bahkan kami berdoa kepada selain-Nya.”

وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ.

Wa lam naku nuth‘imul miskīn.
“Dan kami tidak memberikan makanan kepada orang-orang miskin.” (Al-Muddatstsir [74]: 44).

Kami juga tidak pernah berbuat baik (iḥsān) kepada hamba-hamba Allah yang fakir. Kami tidak pernah bersedekah kepada mereka.

وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ.

Wa kunnā nakhūdhu ma‘al khā’idhīn.
“Dan kami bercakap-cakap kosong dengan orang-orang yang bercakap kosong.” (Al-Muddatstsir [74]: 45).

Kami ikut mempercakapkan hal-hal yang batal. Kami turut mengatakan bahwa Muḥammad itu seorang pendusta dan seorang penyihir yang gila. Kami pun mengatakan bahwa al-Qur’ān itu adalah sihir dan tenungan.

وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.

Wa kunnā nukadzdzibu bi yaumid dīn.
“Dan mendustakan adanya hari pembalasan.” (Al-Muddatstsir [74]: 46).

Kami tidak membenarkan adanya hari pembalasan dan hisab yang dijelaskan oleh Nabi kepada kami.

حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنُ.

Ḥattā atānal yaqīn.
“Hingga datanglah kepada kami kematian.” (Al-Muddatstsir [74]: 47).

Kami terus mendustakan hingga datanglah kematian menjemput kami. Terbukti bahwa kami benar-benar kembali kepada Allah pada hari akhirat.

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ.

Fa mā tanfa‘uhum syafā‘atusy syāfi‘īn.
“Karena itu, tidak berguna bagi mereka syafaat orang-orang yang memberi syafaat.” (62) (Al-Muddatstsir [74]: 48).

Karena mereka telah ingkar, maka baginya syafaat yang diberikan oleh seseorang sama sekali tidak ada gunanya. Karena mereka telah ditetapkan oleh Allah harus menghuni neraka akibat perbuatannya semasa di dunia. Mereka akan kekal berada di dalam neraka.

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ.

Fa mā lahum ‘anit tadzkirati mu‘ridhīn.
“Mengapa mereka berpaling dari peringatan?” (Al-Muddatstsir [74]: 49).

Apakah yang menyebabkan penduduk Makkah berpaling dari al-Qur’ān? Padahal kitab suci itu mengandung peringatan yang besar. Muqātil mengatakan bahwa mereka berpaling dari al-Qur’ān dengan jalan: menyangkal dan mengingkari kebenaran al-Qur’ān serta tidak mau mengamalkan isinya.

كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ.

Ka annahum ḥumurum mustanfirah. Farrat min qaswarah.
“Mereka itu bagaikan keledai yang terkejut. Lari karena singa.” (Al-Muddatstsir [74]: 50-51).

Sikap orang-orang musyrik yang selalu menjauhkan diri dari Muhammad itu bagaikan keledai-keledai yang lari tunggang-langgang karena terkejut mengetahui ada pemanah atau orang-orang yang memburunya.

بَلْ يُرِيْدُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُّنَشَّرَةً.

Bal yurīdu kullum ri’im ay yu’tā shuḥufam munasysyarah.
“Bahkan, setiap orang dari mereka ingin diberi lembaran-lembaran yang tersebar.” (73) (Al-Muddatstsir [74]: 52).

Masing-masing dari mereka menghendaki supaya diturunkan sebuah kitab terbuka dari langit kepadanya, sebagaimana telah diturunkan kepada Nabi. (84)

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abū Jahal dan segolongan Quraisy, ketika bertemu Nabi dan mengaku tidak mau beriman kepada Nabi dan meminta kitab sendiri. “Hai Muḥammad, kami tidak mau beriman kepadamu, kami ingin masing-masing dari kami menerima kitab sendiri dari Allah yang langsung ditujukan kepada kami, yang di dalamnya menugaskan kami untuk untuk mengikuti kamu.”

كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُوْنَ الْآخِرَةَ.

Kallā, ballā yakhāfūnal ākhirah.
“Janganlah berpendapat demikian. Bahkan, mereka tidak takut kepada hari kemudian.” (Al-Muddatstsir [74]: 53).

Janganlah kamu berharap akan mendapatkan seperti apa yang diperoleh para rasul. Sebab, yang demikian itu tidak akan diberikan kepadamu.

Mereka bersikap seperti orang buta dan tuli, karena mereka tidak membenarkan adanya hari akhir dan tidak takut kepada huru-haranya.

كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ.

Kallā innahū tadzkirah.
“Janganlah demikian, sesungguhnya ini adalah suatu peringatan.” (Al-Muddatstsir [74]: 54).

Al-Qur’ān bukanlah sihir, yang dinukilkan (di kutip) dari masa ke masa. Tetapi sebuah peringatan dari Allah yang ditujukan kepada makhluk-Nya. Dengan kedatangan al-Qur’ān, maka seseorang tidak dapat lagi mengatakan “Kami tidak memperoleh orang yang memperingatkan kami.”

فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ.

Fa man syā’a dzakarah.
“Maka siapa yang mau, dapatlah dia mengambil peringatan dari padanya.” (Al-Muddatstsir [74]: 55).

Siapa saja dari hamba-hamba Allah yang bermaksud menempatkan al-Qur’ān di antara dua ruang matanya, tentulah dia dapat melakukannya, karena kemanfaatannya kembali kepada mereka sendiri.

وَ مَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

Wa mā yadzkurūna illā ay yasyā’allāh, huwa ahlut taqwā wa ahlul maghfirah.
“Dan tidaklah mereka mengambil peringatan, kecuali Allah menghendaki. Dialah yang patut ditakuti, dan Dia pula yang berhak memberikan ampunan.” (Al-Muddatstsir [74]: 56).

Mereka tidak mengambil pelajaran dari al-Qur’ān dan tidak mau mengamalkan isinya, kecuali dikehendaki oleh Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat mengerjakan sesuatu tanpa mendapat bantuan dari Allah.

D. KESIMPULAN SURAT

Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa neraka itu merupakan ancaman yang sangat besar bagi seluruh umat manusia. Juga menjadi cambuk bagi kita agar terdorong untuk mengerjakan kebajikan dan selalu berusaha meninggalkan kejahatan (kemaksiatan). Diterangkan pula, semua manusia harus bertanggungjawab terhadap amal perbuatannya, kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amalan-amalan saleh. Mereka itu akan ditempatkan di dalam surga.

Hal lain yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat-ayat ini adalah sebab-sebab orang yang berdosa masuk neraka. Sebab-sebabnya adalah, karena mereka tidak shalat. Tidak memberikan makanan kepada para fakir, mempercakapkan sesuatu yang batal, dan mendustakan atau tidak mempercayai adanya hari akhir. Pada akhirnya Allah menerangkan bahwa al-Qur’ān adalah peringatan bagi umat.

Catatan:

  1. 5). Baca QS. al-Ḥijr [15]: 24.
  2. 6). Kaitkan dengan QS. Ghāfir [40].
  3. 7). Kaitkan dengan QS. al-Isrā’ [17]; QS. Yūnus [10]; QS. al-Insān [76], penghujung QS. at-Takwīr [81].
  4. 8). Baca QS. al-An‘ām [6]: 124; QS. al-Isrā’ [17]: 93; QS. al-An‘ām [6]: 7.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *