Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-74
AL-MUDDATSTSIR

Surat al-Muddatstsir bermakna orang yang berbalut baju luar. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Muzzammil, terdiri dari 56 ayat.

A. SEJARAH TURUN

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat (3) dari surat ini diturunkan di Madīnah. (11) Surat ini menugaskan kepada Nabi Muḥammad untuk bangun melaksanakan dakwah. Surat ini mencakup beberapa pedoman kerja Nabi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dakwah.

Selain itu, surat ini mengancam al-Walīd, seorang pemuka musyrik yang telah melontarkan berbagai tuduhan negatif, bahkan cenderung memfitnah Nabi. Surat ini juga memperbincangkan tentang sifat Jahannam dan para penghuninya, sedangkan orang yang berbakti kepada Tuhan akan ditempatkan di dalam surga Na‘īm. Di dalamnya mereka duduk saling bertanya tentang keadaan penghuni neraka.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Muzzammil) dengan surat ini adalah:

  1. Surat ini isinya sangat serupa dengan surat yang telah lalu, sedangkan surat yang telah lalu menjelaskan upaya mempersiapkan Nabi s.a.w. untuk menjadi petugas dakwah.
  2. Surat ini memberikan beberapa petunjuk yang diperlukan Nabi untuk kesuksesan dakwahnya dengan hasil yang gemilang.
  3. Baik surat yang telah lalu maupun surat ini sama-sama dimulai dengan seruan kepada Nabi. Permulaan kedua surat mengenai masalah yang sama.
  4. Surah yang telah lalu dimulai dengan perintah kepada Nabi supaya mengerjakan shalat malam, sedangkan surat ini dimulai mewujudkan manusia-manusia yang berpribadi sempurna.

Menurut Jābir, surat inilah permulaan surat dalam al-Qur’ān yang diturunkan secara lengkap.

C. TAFSIR SURAT AL-MUDDATSTSIR

1. Perintah untuk Rasūl memberi peringatan kepada manusia, membersihkan pakaian dan menghindari kecemaran. Larangan menyebut-nyebut pemberian.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ.

Yā ayyuhal muddatstsir Qum fa andzir.
“Wahai orang yang membalut badannya dengan baju luar. Bangunlah, lalu berilah peringatan.” (Al-Muddatstsir [74]: 1-2).

Wahai orang yang memakai baju luar, karena merasa gemetar bertemu malaikat pada waktu permulaan wahyu diturunkan. Singsingkanlah lengan bajumu dan berilah peringatan kepada penduduk Makkah. Serulah (ajaklah) mereka untuk menjalankan kebenaran, supaya mereka terpelihara dari huru-hara hari kiamat.

وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ.

Wa rabbaka fa kabbir.
“Dan besarkanlah (agungkan) Tuhanmu.” (22) (Al-Muddatstsir [74]: 3).

Besarkanlah (agungkan) nama Tuhan yang menguasai semua urusanmu.

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

Wa tsiyābaka fa thahhir.
“Dan bersihkanlah pakaianmu.” (Al-Muddatstsir [74]: 4).

Sucikanlah (bersihkanlah) jiwamu dari semua perbuatan yang tercela. Bebaskanlah dirimu dari perangai atau sifat yang buruk dan adat yang keji. Hendaklah kamu menjadi orang yang sabar, yang kuat himmah (cita-cita), berjiwa besar, mempunyai keinginan yang tinggi, dan budi pekerti yang utama.

Demikianlah ta’wil ayat ini. Menurut lahiriah ayat Nabi diperintahkan untuk menyucikan pakaiannya dari najis dengan air.

وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ.

War rujza fahjur.
“Dan hindarilah semua kecemaran.” (Al-Muddatstsir [74]: 5).

Tinggalkanlah semua perbuatan maksiat dan perbuatan dosa yang menyebabkan kamu mengalami siksaan. Bebaskanlah anggota-anggota keluargamu dari perbuatan yang menimbulkan amarah Allah. Ini adalah pokok-pokok keutamaan membebaskan akal dari belenggu syirik, meluruskan budi pekerti dan memperbaiki anggota badan dengan meninggalkan dosa dan semua hal yang diharamkan.

Pada permulaan masa menerima wahyu, Rasūlullāh merasakan adanya tekanan-tekanan yang berat. Beliau berselimut dan memakai baju luar. Setelah beberapa saat lamanya wahyu terhenti, maka ketika wahyu datang lagi, Nabi dipanggil dengan panggilan-panggilan “Wahai orang yang berselimut” dan “Wahai orang yang membalut badannya dengan baju luar.”

Ada yang menyatakan bahwa mengapa Nabi dipanggil seperti itu, karena setelah menerima gangguan orang-orang Quraisy, Nabi suka mengasingkan diri duduk-duduk di rumah dengan mengenakan pakaian luar. Maka datanglah wahyu yang mendorong Nabi untuk menghadapi masyarakat ramai menyampaikan dakwah Ilahi.

وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ.

Wa lā tamnun tastaktsir.
“Dan janganlah engkau menyebut-nyebut pemberianmu, supaya engkau menerima lebih banyak.” (33) (Al-Muddatstsir [74]: 6).

Janganlah kamu menyebut-nyebut (mengungkit-ungkit) pemberian yang telah diberikan, berapa pun banyaknya. Janganlah memandang pemberian itu terlalu banyak, tetapi anggaplah apa yang telah diberikan itu hanya sedikit saja. Firman ini mendorong kita untuk bermurah tangan (suka bersedekah).

Ada juga yang menafsirkan ayat ini dengan: Janganlah kamu memandang bahwa ibadat yang kamu kerjakan telah banyak dan menganggap itu terlaksana hanya karena kekuatanmu sendiri. Tetapi hendaklah dipandang bahwa apa yang telah kamu kerjakan itu sebagai nikmat Allah yang telah diberikan keapdamu, sehingga kamu mampu menjalankan ibadat yang banyak.

وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.

Wa li rabbika fashbir.
“Dan bersabarlah untuk memenuhi perintah Tuhanmu.” (Al-Muddatstsir [74]: 7).

Apabila engkau telah melaksanakan kewajibanmu, menuruti nasihat Tuhanmu, maka bersabarlah kamu karena Allah.

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ.

Fa idzā nuqira fin nāqur. Fa dzālika yaumaidziy yaumun ‘asīr.
“Apabila sangkakala dibunyikan. (44) Maka, ketika itu adalah terjadinya hari yang sulit.” (Al-Muddatstsir [74]: 8-9).

Bersabarlah menghadapi gangguan para kafir, hai Muḥammad. Kelak, mereka itu akan menghadapi hari yang teramat sulit. Pada waktu itulah, mereka akan merasakan akibat kekafirannya dan tindak-tanduknya, yaitu saat sangkalala ditiup dan masing-masing manusia menerima ganjaran dari Tuhannya.

عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

‘Alal kāfirīna ghairu yasīr.
“Bagi orang-orang kafir yang sedikit pun tidak ada keringanan.” (Al-Muddatstsir [74]: 10).

Hari yang disebutkan itu adalah hari yang teramat sulit. Tidak ada sedikit pun kemudahan. Demikian pula pada hari-hari sesudahnya. Tidak seperti di dunia: sesudah kesukaran, datanglah kemudahan (kesenangan).

Pada hari itu, semua jawaban yang disampaikan para kafir akan didebat. Mereka akan menerima kitab catatan amalnya dengan tangan kirinya, dan pada hari itu turut berbicara semua anggota tubuhnya tentang apa yang dikerjakan semasa hidup di dunia.

Sebab Turun Ayat

Jābir bin ‘Abdullāh menjelaskan bahwa Nabi bersabda: “Ketika saya berada di atas bukit Ḥirā’, saya mendengar suara memanggil. Orang itu berseru: “Hai Muḥammad, engkau adalah Rasūl Allah.” Saya melihat ke kanan ke kiri, saya tidak melihat apa-apa. Kemudian saya menengadah ke atas, melihat ada malaikat duduk di kursi di antara langit dan bumi, karena itu saya pun merasa takut dan kembali kepada Khadījah, seraya berkata: “Tutuplah badanku, tutuplah badanku.” Maka tuangkanlah air dingin untukku, dan pada saat itulah turun ayat-ayat ini.

2. Allah Memberikan Harta, Anak, Kekuasaan dan Kemegahan kepada Manusia. Allah Menugaskan Sembilan Belas Malaikat sebagai Pengawal Neraka.

ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا.

Dzarnī wa man khalaqtu waḥīdā.
“Biarkan Aku bersama orang yang Aku ciptakan sendiri.” (Al-Muddatstsir [74]: 11).

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku jadikannya sebatang kara, tidak berharta, tidak beranak, dan tidak berdaya upaya. Percayalah bahwa Aku sanggup bertindak terhadapnya.

وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا.

Wa ja‘altu lahū mālam mamdūdā.
“Dan kepadanya telah Aku berikan harta benda yang banyak.” (Al-Muddatstsir [74]: 12).

Aku pernah berikan kepadanya berbagai macam nikmat: harta yang banyak, kebun-kebun yang luas, binatang ternak dalam jumlah besar, dan perniagaan yang maju.

وَ بَنِيْنَ شُهُوْدًا.

Wa banīna syuhūdā.
“Dan anak-anak yang selalu berada di dekatnya.” (Al-Muddatstsir [74]: 13).

Aku berikan kepadanya anak yang banyak, yang selalu berada di sisinya, yang tidak berpisah darinya, karena mereka memang hidup mewah.

وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا.

Wa mahhattu lahū tamhīdā.
“Dan aku berikan untuknya kekuasaan dan kemegahan yang sempurna.” (Al-Muddatstsir [74]: 14).

Setelah Aku memberinya kemewahan, kedudukan yang baik, dan kemegahan, dia pun menyangkal kebenaran adanya Allah dan mendustakan Rasūl-Ku. Kewajibannya yang layak adalah menyukuri Allah atas nikmat yang telah diberikan kepadanya. Tetapi dia mengingkari Tuhannya, memalingkan mukanya dari Rasūl yang memanggilnya kepada Allah, dan membalas nikmat tanpa ucapan terima kasih.

ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ.

Tsumma yathma‘u an azīda.
“Kemudian dia tamak, supaya Aku menambahnya.” (Al-Muddatstsir [74]: 15).

Dia terus-menerus mengharapkan tambahan nikmat, baik menyangkut harta ataupun anak keturunannya.

كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيْدًا.

Kallā, innahū kāna li āyātinā ‘anīdā.
“Tidak akan ada yang diharapkan, sesungguhnya mereka menyangkal keterangan-keterangan Kami.” (Al-Muddatstsir [74]: 16).

Aku tidak sekali-kali akan menambahnya, dan juga tidak akan memperkenankan permintaannya. Muqātil mengatakan: “Sesudah turun ayat ini, harta Walīd (kafir Quraisy yang kaya raya) mulai berkurang hingga dia menemui ajalnya.”

Dia sangat menentang ayat-ayat Kami, yaitu ayat-ayat al-Qur’ān yang diturunkan kepada Muḥammad. Ayat ini memberikan pengertian bahwa al-Walīd (ayat-ayat ini diturunkan untuk dia) sesungguhnya mengetahui sesuatu yang benar, tetapi tidak mau mengakuinya. Dialah kafir yang paling jelek.

سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا.

Sa urhiquhū sha‘ūdā.
“Akan Aku tugaskan melalui pendakian yang sulit.” (Al-Muddatstsir [74]: 17).

Aku akan memberikan percobaan (ujian) dengan ‘adzab yang teramat besar, yang melemahkan seluruh tenaganya, bagaikan mendaki gunung yang sangat terjal.

إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ.

Innahū fakkara wa qaddar.
“Sesungguhnya dia berpikir dan merencanakan.” (Al-Muddatstsir [74]: 18).

Mengapa dia mendapatkan ‘adzab yang sedemikian sukarnya? Karena dia memang mencari-cari alasan untuk mencela dan mengecam al-Qur’ān. Dia memang dengan sekuat tenaga merencanakan untuk menandingi al-Qur’ān dengan bualannya untuk menarik perhatian orang-orang Quraisy.

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.

Fa qutila kaifa qaddar.
“Sekiranya dia mendapatkan celaka, bagaimana dia merencanakan?” (Al-Muddatstsir [74]: 19).

Allah telah membinasakan dia, walaupun dia telah berupaya membuat berbagai rencana yang dapat memikat hati orang-orang Quraisy dalam mencela al-Qur’ān.

ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.

Tsumma qutila kaifa qaddar.
“Kemudian dia mendapatkan celaka lagi, bagaimana dia merencanakan?” (Al-Muddatstsir [74]: 20).

Dia dikutuk dan di‘adzab, meskipun dia telah merencanakan perkataannya. Ungkapan ini untuk menguatkan ayat di atas.

ثُمَّ نَظَرَ.

Tsumma nazhar.
“Sesudah itu dia memperhatikan.” (Al-Muddatstsir [74]: 21).

Dia berulang-ulang memperhatikan masalah al-Qur’ān supaya dia dapat merencanakan sesuatu yang menyenangkan hati para Quraisy yang angkara murka.

ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ.

Tsumma ‘abasa wa basar.
“Sesudah itu dia mengerutkan mukanya, dan mukanya pun menjadi hitam pekat.” (Al-Muddatstsir [74]: 22).

Sesudah habis upayanya, sehingga tidak mungkin mewujudkan apa yang direncanakan, yaitu menandingi al-Qur’ān, maka dia mengerutkan mukanya.

Kemudian mukanya menjadi hitam pekat, karena kekecewaannya yang amat dalam akibat kegagalannya menyusun apa yang dimaksudkan.

ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ.

Tsumma adbara wastakbar.
“Kemudian dia membelakangi dan menyombongkan diri.” (Al-Muddatstsir [74]: 23).

Dia memalingkan mukanya dari kebenaran, dan membelakanginya dengan pongah dan congkak, tidak mau menurut perintah Allah dan Rasūl-Nya.

فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ.

Fa qāla in hādzā illā siḥruy yu’tsar.
“Dia mengatakan: “Ini tidak lain adalah sihir yang dipelajari turun-temurun.” (Al-Muddatstsir [74]: 24).

 

Al-Qur’ān sebenarnya, demikian kata para kafir, tidak lain adalah sihir yang dinukil (dikutip) oleh Muḥammad dari ahli-ahli sihir yang pandai seperti penduduk Babil dan lain-lain.

إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.

In hādzā illā qaulul basyar.
“Ini tidak lain adalah perkataan manusia.” (Al-Muddatstsir [74]: 25).

Apa yang disampaikan oleh Muḥammad adalah ucapan-ucapan manusia, sama sekali bukan firman Allah. Muḥammad mengambilnya dari umat-umat terdahulu. Pembalasan apakah yang diberikan oleh Allah kepada al-Walīd?

سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ.

Sa ushlīhi saqar.
“Yaitu, kelak Aku akan memasukkan orang itu ke dalam neraka Jahannam.” (Al-Muddatstsir [74]: 26).

Kelak, mereka akan Aku masukkan ke dalam Jahannam dan Aku benamkan ke dalam api neraka.

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ.

Wa mā adrāka mā saqar.
“Dan adakah yang menjelaskan kepadamu, apakah api neraka Jahannam itu?” (Al-Muddatstsir [74]: 27).

Tahukah kamu, apakah yang dikatakan “Jahannam” itu? Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat membuat ciri-ciri Jahannam dan tidak ada yang mengetahui keadaannya, kecuali sebanyak apa yang telah diterangkan oleh wahyu.

لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ.

Lā tubqī wa lā tadzar.
“(Neraka) itu tidak meninggalkan daging dan tidak meninggalkan tulang.” (Al-Muddatstsir [74]: 28).

Neraka tidak akan membiarkan daging tinggal di tubuh dan tulang di badan. Tiap kali tubuh dikembalikan seperti keadaan semula, maka api neraka menghanguskannya, dan begitu seterusnya berulang-ulang.

لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ.

Lawwāḥatul lil basyar.
“Membakar kulit manusia.” (Al-Muddatstsir [74]: 29).

Neraka dengan apinya yang menyala-nyala membakar kulit tubuh manusia.

عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

‘Alaihā tis‘ata ‘asyar.
“Neraka itu dikawal oleh 19 malaikat.” (Al-Muddatstsir [74]: 30).

Apakah yang dimaksud dengan “Sembilan belas malaikat” itu? Sembilan belas malaikat atau sembilan belas suku malaikat atau sembilan belas kelompok malaikat atau sembilan belas pemimpin malaikat? Hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Kita hanya diminta meyakininya, dan tidak perlu membahasnya.

Catatan:

  1. 1). Baca Bukhārī 65, 74 hadits 1, Muslim 1 hadits 255.
  2. 2). Baca QS. an-Naḥl [16]: 2.
  3. 3). Kaitkan dengan QS. al-Baqarah [2]: 264; Baca QS. Shād [38]; 38.
  4. 4). Kaitkan dengan QS. al-Ḥaqqah [69]; QS. al-Muzzammil [73]: dan QS. al-Qalam [68].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *