بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Salah satu faktor utama kesengsaraan, penyimpangan dan kesesatan di dunia adalah mengingkari hari kiamat atau hari pembalasan dan penghisaban. Andai manusia percaya hari pembalasan dengan sebenarnya, tentu tidak akan ada satu pun yang berani berbuat durhaka, menentang, kafir, ingkar, melalaikan kewajiban-kewajiban Ilahi, melampaui batas etika dan akhlak yang lurus, karena rasa takut pada siksa dan ancaman adzab hanya berguna bagi orang-orang yang percaya pada keberadaan alam akhirat semata. Rasa takut pada ancaman siksa mengingatkan setiap orang yang mendengar agar melepaskan diri dari penyakit-penyakit kemaksiatan, sikap keras terhadap orang-orang yang memerlukan bantuan, bersikap riyā’ terhadap sesama, enggan membantu tetangga, menutup semua cara untuk membantu mereka dan juga yang lain. Peringatan hanya berguna bagi mereka yang percaya pada hari kiamat, seperti disebutkan dalam surah al-Mā‘ūn, surah Makkiyyah:
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ. فَذلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ. وَ يَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ
107:1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
107:2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
107:3. dan tidak mendorong memberi makan orang miskin,
107:4. Maka celakalah bagi orang yang shalat,
107:5. (Yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,
107:6. yang berbuat riyā’,
107:7. dan enggan (memberikan) bantuan.
(al-Mā‘ūn: 1-7)
Ibnu ‘Abbās menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan ‘Āsh bin Wā’il as-Suhamī. Menurut as-Suddī, ayat ini turun berkenaan dengan Walīd bin Mughīrah. Pendapat lain menyatakan, berkenaan dengan Abū Jahal. Ia memegang wasiat milik seorang anak yatim, si anak yatim mendatanginya dalam keadaan tidak berbusana seraya meminta harta miliknya kemudian Abū Jahal menyerahkan harta wasiat itu kepadanya. Diriwayatkan, surah ini turun berkenaan dengan sebagian orang yang terpaksa masuk Islam di Makkah yang tidak diketahui bahwa mereka masuk Islam, mereka mendapat ujian, mereka bertindak serampangan dan berperilaku kasar terhadap orang-orang miskin, kadang sebagian dari mereka shalat bersama kaum muslimin untuk membela diri dan karena bimbang. Lalu Allah s.w.t. berfirman berkenaan dengan mereka: “Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya” (al-Mā‘ūn: 4-5)
Ibnu Juraij menuturkan, setiap minggu Abū Sufyān menyembelih seekor unta, lalu ada anak yatim datang, Abū Sufyān memukulnya dengan tongkat lalu surah ini turun berkenaan dengannya. Sa‘ad bin Abī Waqqāsh r.a. berkata, berdasarkan riwayat Ibnu Mundzir, Ibnu Jarīr dan lainnya: “Aku bertanya kepada Nabi s.a.w., tentang mereka yang lalai terhadap shalatnya? Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang menunda shalat dari waktunya”.” Maksud beliau s.a.w. – wallāhu a‘lam – meninggalkan dan mengabaikan shalat. Dan inilah pendapat yang dikemukan oleh Mujāhid.
Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Mundzir dari Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah s.w.t.: “Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya” (al-Mā‘ūn: 4-5) Ibnu ‘Abbās berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang musyrik, mereka memperlihatkan shalat pada orang-orang mu’min di hadapan mereka, namun mereka meninggalkannya saat berada di belakang orang-orang mu’min. Mereka tidak meminjamkan barang pada orang-orang mu’min.”
Makna; tahukah engkau wahai Nabi s.a.w., siapakah orang yang mendustakan penghisaban dan pembalasan itu?! Atau mendustakan hari kiamat, pembalasan dan pemberian pahala?! Firman Allah s.w.t.: “Tahukah kamu” (al-Mā‘ūn: 1) meski berbentuk kata tanya, namun tujuannya adalah untuk melebih-lebihkan keheranan. Ini contoh lain bahwa manusia berada dalam kerugian.
Orang yang mendustakan hari kiamat dan pembalasan adalah orang yang menahan hak anak yatim, melarangnya dengan keras, menzhalimi haknya dan tidak berbuat baik kepadanya. Sebagai informasi, bangsa ‘Arab jahiliyyah tidak memberi warisan kepada wanita dan anak-anak.
Orang seperti itulah yang tidak mendorong diri, keluarga dan orang lain untuk memberi makan orang miskin yang memerlukan bantuan karena kikir terhadap harta seperti yang dijelaskan dalam ayat lain: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.” (al-Fajr: 17-18).
Celakalah, yaitu hina, siksa dan kehancuran untuk orang-orang mu’min yang kadang menunaikan shalat untuk riyā’, juga untuk mereka yang melalaikan shalatnya, tidak perduli apakah sudah shalat atau belum, tidak mengharapkan pahala saat shalat dan tidak takut siksa bila tidak shalat. Mereka melalaikan Kami hingga waktu shalat habis karena mengabaikannya. Saat shalat bersama orang-orang mu’min, mereka menunaikannya karena riyā’ dan saat tidak bersama orang-orang mu’min, mereka tidak shalat. Mereka itulah orang-orang yang melalaikan shalatnya, yaitu meninggalkan atau melupakannya. ‘Athā’ bin Yasar menyatakan, segala puji bagi Allah s.w.t. yang berfirman: “Lalai terhadap shalatnya,” (al-Mā‘ūn: 5) dan tidak berfirman: “Lalai dalam shalatnya.”
Mereka yang lalai terhadap shalatnya itulah orang-orang yang mengerjakan shalat dengan riyā’, agar dilihat orang, atau melakukan perbuatan-perbuatan baik dengan maksud untuk dipuji.
Mereka itulah orang-orang yang enggan memberikan bantuan, maksudnya enggan memberi pinjaman dan melakukan kebajikan. Mā‘ūn adalah benda-benda yang biasa dipinjamkan untuk sesama, seperti gayung, kapak, beliung, tungku, perabotan rumah, dan benda-benda lain yang biasanya tidak ditahan saat diminta seperti air, garam dan benda-benda lain yang bila ditahan saat diminta, yang bersangkutan akan disebut-sebut pandir, berwatak tercela dan berakhlak buruk.
Orang-orang mu’min dan orang-orang serupa seperti orang-orang musyrik tidak menyembah Rabb dengan baik, tidak berbuat baik terhadap sesama bahkan sekedar meminjamkan barang-barang berguna padahal bendanya tidak berkurang, tetap utuh dan dikembalikan lagi. Mereka lebih enggan dan pelit membayar zakat serta berbagai jenis ibadah lain. Nasā’ī dan lainnya meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, ia berkata: “Setiap kebaikan adalah sedekah, dan kami dulu di masa Rasūlullāh s.a.w. menilai meminjami gayung dan tungku sebagai bantuan.”
Surah ini layak menjadi ikon nyata untuk setiap jaminan sosial di antara sesama manusia agar cinta kasih menyebar luas, manusia saling menyayangi, agar kemakmuran dan ketenangan menyebar untuk seluruh masyarakat, setiap kelompok hidup dalam rasa aman, selamat dan damai.