Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/5)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Ibni Katsir

SŪRAT-UL-MA‘ĀRIJ
(Tempat-tempat Naik)

Makkiyyah, 44 ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Ḥāqqah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Al-Ma‘ārij, ayat 1-7.

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.

70: 1. Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi,
70: 2. untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya,
70: 3. (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.
70: 4. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
70: 5. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.
70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).
70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).

Firman Allah s.w.t.:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi. (al-Ma‘ārij [70]: 1).

Di dalam ayat ini terkandung lafazh yang tidak disebutkan karena terbukti dengan adanya huruf bā’ yang menunjuk ke arahnya. Jadi, seakan-akan lafazh itu keberadaannya diperkirakan. Bentuk lengkapnya ialah seseorang meminta agar disegerakan datangnya ‘adzab yang bakal terjadi, semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ يَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِ وَ لَنْ يُخْلِفَ اللهُ وَعْدَهُ

Dan mereka meminta kepadamu agar ‘adzab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya.” (Al-Ḥajj [22]: 47).

Yakni ‘adzab-Nya pasti terjadi. Imām Nawawī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Khālid, telah menceritakan kepada kami Abū Usāmah, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari al-A‘masy, dari al-Minhāl ibnu ‘Amr, dari Sa‘īd ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi. (al-Ma‘ārij [70]: 1).

Bahwa orang tersebut adalah an-Nadhr ibn-ul-Ḥārits ibnu Kaldah. Al-Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi. (al-Ma‘ārij [70]: 1).

Bahwa demikianlah permintaan orang-orang kafir akan ‘adzab Allah padahal ‘adzab Allah itu bakal terjadi menimpa mereka. Ibnu Abī Najīḥ telah meriwayatkan dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman-Nya:

سَأَلَ سَائِلٌ

Seseorang peminta telah meminta. (al-Ma‘ārij [70]: 1).

Seseorang berdoa, meminta agar ‘adzab yang bakal terjadi di akhirat itu diturunkan. Mujāhid mengatakan bahwa hal ini seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.

Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (Qs. al-Anfāl [8]: 32).

Ibnu Zaid dan lain-lainnya mengatakan di dalam firman-Nya:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.

Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi. (al-Ma‘ārij [70]: 1).

Yaitu sebuah lembah yang terdapat di dalam neraka Jahannam, kelak di hari kiamat mengalir ‘adzab darinya. Tetapi pendapat ini lemah dan jauh dari makna yang dimaksud, dan pendapat yang shahih adalah yang pertama tadi karena sesuai dengan konteksnya.

 

Firman Allah s.w.t.:

وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ

yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir” (al-Ma‘ārij [70]: 1-2).

Yakni disiapkan dan disediakan untuk orang-orang kafir. Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa ‘adzab yang wāqi‘ ialah ‘adzab yang pasti datang.

لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.

yang tidak seorang pun dapat menolaknya” (al-Ma‘ārij [70]: 2).

Artinya, tiada yang dapat menolaknya bila Allah menghendakinya. Karena itu, disebutkan dalam firman berikutnya:

مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ.

(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.” (al-Ma‘ārij [70]: 3).

Ats-Tsaurī telah meriwayatkan dari al-A‘masy, dari seorang lelaki, dari Sa‘īd ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

ذِي الْمَعَارِجِ.

yang mempunyai tempat-tempat naik.” (al-Ma‘ārij [70]: 3).

Yaitu tempat-tempat naik. ‘Alī ibnu Abī Thalḥah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa dzil-ma‘ārij artinya: Yang memiliki ketinggian dan keutamaan-keutamaan. Mujāhid mengatakan bahwa dzil-ma‘ārij artinya: tempat-tempat naik ke langit. Qatādah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Yang mempunyai keutamaan-keutamaan dan ni‘mat-ni‘mat.

Firman Allah s.w.t.:

تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

‘Abd-ur-Razzāq meriwayatkan dari Ma‘mar, dari Qatādah, bahwa ta‘ruju artinya naik. Adapun rūḥ, menurut Abū Shāliḥ mereka adalah makhluk Allah yang mirip dengan manusia, tetapi mereka bukan manusia. Menurut kami, dapat pula dita’wilkan bahwa makna yang dimaksud adalah Malaikat Jibrīl. Dengan demikian, berarti ungkapan ini termasuk ke dalam bab “‘Athaf Khashsh kepada ‘Ām.” Dapat pula dita’wilkan dengan pengertian isim jenis dari arwah Bani Ādam, karena sesungguhnya arwah Bani Ādam itu apabila dicabut dari jasadnya, ia naik ke langit, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits al-Barrā’, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, Imām Abū Dāūd, Imām Nasā’ī, Imām Ibnu Mājah melalui al-Minhāl, dari Zadzān, dari al-Barrā’ secara marfū‘. Haditsya cukup panjang menerangkan tentang pencabutan roh yang baik. Antara lain disebutkan di dalamnya:

فَلَا يَزَالُ يَصْعَدُ بِهَا مِنْ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِيْ فِيْهَا اللهُ.

Maka terus-menerus malaikat membawanya naik dari suatu langit ke langit lain, hingga sampailah ia di langit yang padanya ada Allah.

Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui tentang keshaḥīḥan hadits ini. Sebagian perawinya masih diperbincangkan keshaḥīḥannya, tetapi hadits ini terkenal dan mempunyai syāhid (bukti) yang menguatkannya dalam hadits Abū Hurairah terdahulu yang diketengahkan melalui riwayat Imām Aḥmad, Imām Tirmidzī, dan Imām Ibnu Mājah melalui jalur Ibnu Abid-Duniā, dari Muḥammad ibnu ‘Amr ibn ‘Athā’, dari Sa‘īd ibnu Yasar, dari Abū Hurairah. Sanad hadits ini dengan syarat Jamā‘ah, kami telah mengetengahkan teksnya dalam tafsir firman Allah s.w.t.:

يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ فِي الْآخِرَةِ وَ يُضِلُّ اللهُ الظَّالِمِيْنَ وَ يَفْعَلُ اللهُ مَا يَشَاءُ.

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrāhīm [14]: 27).

Adapun firman Allah s.w.t.:

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Ada empat pendapat sehubungan dengan makna ayat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perjalanan antara ‘Arasy yang besar sampai dasar yang paling bawah, yaitu dasar dari bumi lapis ketujuh; perjalanan ini memerlukan waktu lima puluh ribu tahun. Ini menggambarkan tentang ketinggian ‘Arasy bila diukur dari titik sumbu yang berada di bagian tengah bumi lapis ketujuh. Demikian pula luasnya ‘Arasy dari satu sisi ke sisi yang lainnya sama dengan perjalanan lima puluh ribu tahun. Dan bahwa ‘Arasy itu dari yaqut merah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abī Syaibah di dalam kitab Shifat-ul-‘Arasy.

Ibnu Abī Ḥātim sehubungan dengan ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aḥmad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Isḥāq ibnu Ibrāhīm, telah menceritakan kepada kami Ḥakkām, dari ‘Amr ibnu Ma‘mar ibnu Ma‘rūf, dari Laits, dari Mujāhid, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Maksudnya, batas terakhirnya dari bagian bumi yang paling bawah sampai kepada bagian yang tertinggi dari langit yang ketujuh adalah jarak perjalanan lima puluh ribu tahun.

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Yakni saat perintah itu diturunkan dari langit ke bumi, dan dari bumi naik ke langit dalam sehari, hal tersebut menempuh perjalanan yang kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun, karena jarak antara langit dan bumi kadarnya lima puluh ribu tahun perjalanan. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini dari Ibnu Ḥumaid, dari Ḥakkām ibnu Salim, dari ‘Amr ibnu Ma‘rūf, dari Laits, dari Mujāhid yang dinilai sebagai perkataan Mujāhid, dan tidak disebutkan dari Ibnu ‘Abbās.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘Alī ibnu Muḥammad ath-Thanāfisī, telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm ibnu Manshūr, telah menceritakan kepada kami Nūḥ al-Ma‘rāf, dari ‘Abd-ul-Wahhāb ibnu Mujāhid, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa ketebalan setiap lapis bumi sama dengan perjalanan lima ratus tahun perjalanan, dan jarak antara satu lapis bumi ke lapis bumi lainnya sama dengan perjalanan lima ratus tahun, maka jumlah keseluruhannya adalah tujuh ribu tahun. Ketebalan tiap-tiap langit sama dengan lima ratus tahun perjalanan, dan jarak antara satu langit ke langit yang lainnya sama dengan lima ratus tahun, berarti keseluruhannya sama dengan empat belas ribu tahun perjalanan. Dan jarak antara langit yang ketujuh sampai ke ‘Arasy sama dengan perjalanan tiga puluh enam ribu tahun. Maka yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya:

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah lamanya usia dunia ini sejak diciptakan oleh Allah hingga hari kiamat nanti. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Zar‘ah, telah menceritakan kepada kami Ibrāhīm ibnu Mūsā, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abī Zā’idah, dari Ibnu Juraij, dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman-Nya:

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Bahwa dunia ini usianya adalah lima puluh ribu tahun. Dan masa lima puluh ribu tahun itu dinamakan oleh Allah s.w.t. dengan sebutan satu hari.

تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Menurutnya hari dunia. ‘Abd-ur-Razzāq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, dari al-Ḥakam ibnu Abān, dari ‘Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:

فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (al-Ma‘ārij [70]: 4).

Bahwa dunia ini sejak dari permulaan hingga akhirnya berusia lima puluh ribu tahun; tiada seorang pun yang mengetahui berapa lama usia dunia telah berlalu dan tinggal berapa lama usia dunia kecuali hanya Allah s.w.t.

Unduh Rujukan:

  • [download id="22293"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *