Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir Ibni Katsir (5/5)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir Ibni Katsir

Al-Ma‘ārij, ayat 36-44.

فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ. عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ. أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍ. كَلَّا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِّمَّا يَعْلَمُوْنَ. فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُوْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ. فَذَرْهُمْ يَخُوْضُوْا وَ يَلْعَبُوْا حَتَّى يُلَاقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ يُوْعَدُوْنَ. يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوْفِضُوْنَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ذلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ.

70: 36. Mengapa orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu,
70: 37. Dari kanan dan kiri dengan berkelompok-kelompok?
70: 38. Adakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk ke dalam surga yang penuh keni‘matan?
70: 39. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani).
70: 40. Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.
70: 41. Untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik daripada mereka, dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.
70: 42. Maka biarkanlah mereka tenggelam (dalam kebatilan) dan bermain-main sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka,
70: 43. (yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia),
70: 44. dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya (serta) diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.

Allah s.w.t. mengingkari sikap orang-orang kafir yang semasa dengan Nabi s.a.w., padahal mereka menyaksikan Nabi s.a.w. dan juga petunjuk yang diamanatkan oleh Allah kepadanya untuk menyampaikannya, dan mu‘jizat-mu‘jizat yang jelas lagi cemerlang yang diberikan oleh Allah kepadanya untuk menguatkan kerasulannya. Kemudian dengan adanya semua itu mereka masih juga lari darinya dan bubar meninggalkannya, ada yang ke arah kanan dan ada yang ke arah kiri dengan berkelompok-kelompok, semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah s.w.t. dalam ayat lain melalui firman-Nya:

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ. كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ.

Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? Seakan-akan mereka itu keledai liar yang terkejut, lari dari singa.” (al-Muddatstsir: [74]: 49-51).

Ayat-ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam surat ini, karena Allah s.w.t. berfirman:

فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ.

Mengapa orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu.” (al-Ma‘ārij [70]: 36).

Yakni mengapa orang-orang kafir itu bersegera meninggalkanmu, hai Muḥammad. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ḥasan al-Bashrī, bahwa muhthi‘īn artinya pergi.

عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ.

Dari kanan dan kiri dengan berkelompok-kelompok?” (al-Ma‘ārij [70]: 37).

Bentuk tunggalnya ialah ‘izah, yakni berkelompok-kelompok. Ini merupakan kata keterangan keadaan dari lafazh muhthi‘īn, yakni saat mereka bubar darinya berkelompok-kelompok karena tidak setuju dan menentangnya. Imām Aḥmad telah mengatakan sehubungan dengan para penghamba nafsu, bahwa mereka selalu menyimpang dari al-Qur’ān, dan menentangnya serta sepakat untuk menentangnya. Al-Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَمَالِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا قِبَلَكَ مُهْطِعِيْنَ.

Mengapa orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu.” (al-Ma‘ārij [70]: 36).

Yakni mereka mengarahkan pandangannya ke arahmu.

عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ.

Dari kanan dan kiri dengan berkelompok-kelompok?” (al-Ma‘ārij [70]: 37).

Bahwa ‘izīn artinya berkelompok-kelompok, ada yang dari arah kanan dan ada yang dari arah kiri, berpaling darinya seraya memperolok-olok dia.

Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyār, telah menceritakan kepada kami Abū ‘Āmir alias Qurrah, dari al-Ḥasan sehubungan dengan makna firman-Nya:

عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ.

Dari kanan dan kiri dengan berkelompok-kelompok?” (al-Ma‘ārij [70]: 37).

Yaitu bubar meninggalkan dia, ada yang ke arah kanan dan ada yang ke arah kiri seraya mengatakan: “Apa yang dikatakan lelaki ini?” dengan nada mencemoohkan.

Qatādah mengatakan bahwa muhthi‘īn artinya sengaja datang.

عَنِ الْيَمِيْنِ وَ عَنِ الشِّمَالِ عِزِيْنَ.

Dari kanan dan kiri dengan berkelompok-kelompok?” (al-Ma‘ārij [70]: 37).

Yakni membuat kelompok-kelompok di sekeliling Nabi s.a.w., tetapi bukan karena menyukai Kitābullāh dan bukan pula Nabi-Nya.

Ats-Tsaurī, Syu‘bah, Abtsar ibn-ul-Qāsim, Aisy ibnu Yūnus, Muḥammad ibnu Fudhail, Wakī‘, Yaḥyā al-Qaththān, dan Abū Mu‘āwiyah, semuanya telah meriwayatkan dari al-A‘masy, dari al-Musayyab ibnu Rāfi‘, dari Tamīm ibnu Tharfah, dari Jābir ibnu Samurah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. keluar menemui para sahabat, sedangkan para sahabat saat itu sedang duduk berkelompok-kelompok. Maka beliau bertanya: “Mengapa kalian kulihat berkelompok-kelompok?” Imām Aḥmad, Imām Muslim, Imām Abū Dāūd, Imām Nasā’ī, dan Ibnu Jarīr telah meriwayatkannya melalui hadits al-A‘masy dengan sanad yang sama.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibnu Basysyār, telah menceritakan kepada kami Mu‘ammal, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari ‘Abd-ul-Mālik ibnu ‘Umair, dari Abū Salamah, dari Abū Hurairah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. keluar menemui para sahabatnya, sedangkan mereka dalam keadaan berkelompok-kelompok membentuk lingkaran-lingkaran, maka beliau s.a.w. bertanya: “Mengapa kulihat kalian berkelompok-kelompok?” Sanad hadits ini jayyid (baik), tetapi kami tidak menemukan pada suatu kitab pun dari kitab Sittah yang meriwayatkan dari jalur ini.

Firman Allah s.w.t.:

أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيْمٍ. كَلَّا

Adakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk ke dalam surga yang penuh keni‘matan? Sekali-kali tidak!” (al-Ma‘ārij [70]: 38-39).

Maksudnya, apakah mereka yang keadaannya seperti itu, yakni lari dari Rasūl dan anti pati terhadap perkara hak, dapat memasuki surga-surga yang penuh dengan keni‘matan? Sekali-kali tidak, bahkan tempat kembali mereka adalah neraka Jahannam. Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman, menyatakan bahwa hari kiamat itu pasti terjadi dan ‘adzab akan menimpa mereka yang mengingkari kejadiannya dan menganggapnya sebagai kejadian yang mustahil. Hal ini diungkapkan oleh Allah s.w.t. dengan membuktikan terhadap mereka bahwa Dialah Yang Menciptakan mereka dari semula; maka mengembalikan penciptaan itu jauh lebih mudah bagi-Nya daripada memulainya, padahal mereka mengakui hal ini. Untuk itu Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِّمَّا يَعْلَمُوْنَ.

Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani).” (al-Ma‘ārij [70]: 39).

Yaitu dari air mani yang lemah, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

اَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِيْنٍ.

Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina.” (Al-Mursalāt [77]: 20).

Dan firman Allah s.w.t.:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ. إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ. يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ. فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَ لَا نَاصِرٍ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari ditampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong.” (ath-Thāriq [86]: 5-10).

Kemudian Allah s.w.t. berfirman:

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ

Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang.” (al-Ma‘ārij [70]: 40).

Yakni Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi, menciptakan arah timur dan arah barat, serta menundukkan bintang-bintang yang terbit dari arah timur dan tenggalam di arah barat.

Kesimpulan pembicaraan menunjukkan bahwa duduk perkaranya tidaklah seperti yang kamu duga, bahwa tidak ada hari kiamat, tidak ada hari hisab, tidak ada hari berbangkit, dan tidak ada hari kemudian, bahkan semuanya itu pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan lagi. Karena itulah maka dipakai huruf dalam permulaan qasam (sumpah), untuk menunjukkan bahwa objek sumpah yang terkandung dalam makna kalimat dinafikan. Yaitu menyanggah dugaan mereka yang tidak benar, yang menyatakan bahwa hari kiamat itu tidak ada. Padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri akan kekuasaan Allah s.w.t. yang jauh lebih besar daripada hari kiamat. Yaitu penciptaan langit, bumi, dan ditundukkan-Nya semua makhluk yang ada pada keduanya, baik yang hidup maupun yang tidak bernyawa dan berbagai jenis makhluk lainnya. Karena itulah disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ.

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al-Mu’min [40]: 57).

أَوَ لَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ لَمْ يَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتى بَلَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Aḥqāf [46]: 33).

Dan dalam ayat lainnya lagi disebutkan oleh firman-Nya:

أَوَ لَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ بَلَى وَ هُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ

Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar. Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepdanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia.” (Yāsīn [36]: 81-82).

Dalam surat ini disebutkan pula oleh firman-Nya:

فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُوْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ

Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa. Untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik daripada mereka” (al-Ma‘ārij [70]: 40-41).

Yaitu kelak di hari kiamat Kami akan mengembalikan mereka hidup kembali dengan tubuh yang lebih baik daripada sekarang, karena sesungguhnya kekuasaan Allah s.w.t. mampu berbuat demikian.

وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ.

dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.” (al-Ma‘ārij [70]: 41).

Artinya, tiada seorang pun yang dapat mengalahkan-Nya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ. بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ

Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.” (Al-Qiyāmah [75]: 3-4).

Dan firman Allah s.w.t.:

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَ مَا نَحْنُ بِمَسْبُوْقِيْنَ. عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ أَمْثَالَكُمْ وَ نُنْشِئَكُمْ فِيْ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ.

Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan, untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.” (al-Wāqi‘ah [56]: 60-61).

Ibnu Jarīr sehubungan dengan makna firman-Nya:

عَلَى أَنْ نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ

Untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik daripada mereka” (al-Ma‘ārij [70]: 41).

Yakni umat yang taat kepada Kami dan tidak mendurhakai Kami, ia menjadikan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

وَ إِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُوْنُوْا أَمْثَالَكُمْ

dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (Muḥammad [47]: 38).

Akan tetapi, makna yang pertama lebih jelas karena konteks pembicaraan berkaitan erat dengannya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman:

فَذَرْهُمْ.

Maka biarkanlah mereka.” (al-Ma‘ārij [70]: 42).

Yaitu biarkanlah mereka, hai Muḥammad.

يَخُوْضُوْا وَ يَلْعَبُوْا

tenggelam (dalam kebatilan) dan bermain-main.” (al-Ma‘ārij [70]: 42).

Maksudnya, biarkanlah mereka dalam kedustaan, kekafiran, dan keingkarannya.

حَتَّى يُلَاقُوْا يَوْمَهُمُ الَّذِيْ يُوْعَدُوْنَ.

sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka.” (al-Ma‘ārij [70]: 42).

Yakni kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya dan akan merasakan buah dari sepak terjangnya.

يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَى نُصُبٍ يُوْفِضُوْنَ.

(yaitu) pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia).” (al-Ma‘ārij [70]: 43).

Yaitu mereka bangkit dari kuburnya masing-masing, apabila Tuhan Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi memanggil mereka untuk menjalani hisab di mauqif (tempat pemberhentian). Mereka bangkit dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala sembahannya. Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, adh-Dhaḥḥāk mengatakan bahwa makna nushub ialah ‘alam alias berhala-berhala. Abul-‘Aliyyah dan Yaḥyā ibn Abī Katsīr mengatakan, makna yang dimaksud ialah sebagaimana mereka pergi dengan segera ke tujuannya.

Jumhur ‘ulamā’ ada yang membacanya nashbin yang bermakna manshūb, artinya berhala yang dipancangkan. Sedangkan al-Ḥasan al-Bashrī membacanya nushub yang artinya berhala sembahan mereka. Seakan-akan langkah mereka yang cepat menuju ke mauqif sama dengan langkah mereka saat di dunia bila menuju ke tempat sembahan-sembahan mereka, mereka pergi bergegas untuk mencapainya, siapa yang paling dahulu dari mereka yang mengusapnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Mujāhid, Yaḥyā ibnu Abī Katsīr, Muslim al-Bāthin, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, ar-Rabī‘ ibnu Anas, Abū Shūliḥ, ‘Āshim ibnu Bahdahlah, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.

Firman Allah s.w.t.:

خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ

dalam keadaan mereka menekurkan pandangannya.” (al-Ma‘ārij [70]: 44).

Yakni menundukkan pandangan mata mereka.

تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ

(serta) diliputi kehinaan.” (al-Ma‘ārij [70]: 44).

Hal ini sebagai pembalasan atas kesombongan mereka sewaktu di dunia, karena mereka tidak mau taat kepada Allah s.w.t.

ذلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ.

Itulah hari yang dahulunya diancamkan kepada mereka.” (al-Ma‘ārij [70]: 44).

Unduh Rujukan:

  • [download id="22293"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *