Dari Buku:
Tafsir ath-Thabari
(Jilid 26, Juz ‘Amma)
(Oleh: Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
(Judul Asli: Jāmi‘-ul-Bayāni ‘an Ta’wīli Āy-il-Qur’ān)
Penerjemah: Amir Hamzah
Penerbit: PUSTAKA AZZAM
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.
70: 15. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,
70: 16. yang mengelupaskan kulit kepala,
70: 17. yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),
70: 18. serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 15-18)
Ta’wīl firman Allah: (كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.”
Maksudnya adalah, tidak, sekali-kali hal itu tidak dapat menyelamatkan dari ‘adzab Allah. Kemudian khabar-nya dimulai dengan apa yang telah dipersiapkan di sana oleh Allah s.w.t., lalu berfirman: (إِنَّهَا لَظَى) “Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,” lazhā merupakan salah satu nama dari nama-nama Neraka Jahannam, dan karena itu tidak di-jarr-kan (diberi harakat kasrah).
Pakar bahasa ‘Arab berbeda pendapat tentang posisinya.
Sebagian ahli nahwu Bashrah berkata: “Posisinya nashab pada badal dari huruf hā’, dan khabar inna adalah (نَزَّاعَةً), dia berkata: “Jika kamu mau, kamu jadikan (لَظَى) sebagai rafa‘ pada khabar inna. Lafazh (نَزَّاعَةً) di-rafa‘ karena ia mubtada’. Sebagian orang yang mengingkarinya berkata: “Yang zhāhir tidak harus diikuti kecuali dalam hal yang aneh.”
Dia berkata, dan pilihan (إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) dan (لَظَى) adalah khabar, dan (نَزَّاعَةً) adalah ḥāl. Orang yang membacanya dengan rafa‘ karena mubtada’, berkata: “Karena ia adalah pujian atau celaan.”
Dia berkata: “Tidak ada mubtada’ kecuali seperti itu.” (8821).
Pendapat yang benar menurut kami adalah (لَظَى) merupakan khabar dan (نَزَّاعَةً) merupakan mubtada’, dan karena itu ia berada pada posisi rafa‘ dan tidak diperbolehkan berada pada posisi nashab (8832) dalam bacaan itu, karena kesepakatan bacaan seluruh penduduk negeri untuk membacanya dengan rafa‘. Tidak ada orang yang membacanya dengan nashab, sekalipun nashab dalam bahasa ‘Arab memiliki pandangan tersendiri. Bisa juga hā’ berasal dari firman-Nya: (إِنَّهَا) sebagai sandaran, dan (لَظَى) marfū‘ dengan (نَزَّاعَةً) dan (لَظَى), sebagaimana dikatakan: innahā hindun qā’imah “sesungguhnya dia adalah Hindun yang sedang berdiri,” innahū hindun qā’imah “sesungguhnya dia adalah Hindun yang sedang berdiri.” Jadi, hā’ adalah sandaran dalam dua pandangan tersebut. (8843).
Firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”. Allah s.w.t. menyebutkan dan memberitahukan tentang api yang bergejolak dan mengelupaskan kulit kepala serta anggota badan. Asy-Syawā adalah bentuk jama‘ dari sawāh, yaitu bagian dari anggota badan manusia, selama belum terbunuh.
Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, maksudnya adalah memotong-motong tulangnya, sebagaimana kamu lihat, kemudian diperbarui ciptaan mereka dan diganti kulit-kulitnya.
Firman-Nya: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),” maksudnya adalah, gejolak api neraka itu memanggil orang yang ketika di dunia membelakang dari ketaatan kepada Allah dan berpaling dari beriman kepada kitab serta rasūl-Nya.
Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Firman-Nya: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya,” maksudnya adalah, dan mengumpulkan harta, lalu menyimpannya, dan melarang hak Allah darinya, serta tidak mengeluarkan zakat dan berinfaq dalam hal yang diwajibkan oleh Allah untuk berinfaq.
Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
***
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.
70: 20. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
70: 22. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 19-23)
Ta’wīl firman Allah: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”
Allah s.w.t. berfirman: (إِنَّ الْإِنْسَانَ) “Sesungguhnya manusia,” yang kafir, (خُلِقَ هَلُوْعًا.) “diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.” Al-Hala‘ artinya perasaan sangat berkeluh-kesah disertai ambisi dan kekhawatiran.
Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Firman-Nya: (وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah,” maksudnya adalah, apabila telah sedikit hartanya dan mulai miskin dan tidak berpunya, maka dia berkeluh-kesah karenanya dan tidak bisa bersabar atas keadaan itu.
Firman-Nya: (وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,” maksudnya adalah, jika telah banyak hartanya dan mendapatkan kekayaan, maka dia menjadi kikir dengan apa yang ada di tangannya, pelit dan tidak mau berinfaq untuk ketaatan kepada Allah, serta tidak melaksanakan hak-hak Allah yang ada padanya.
Firman-Nya: (إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” maksudnya adalah, kecuali orang-orang yang menaati Allah dengan melaksanakan kewajiban mereka, seperti shalat, dengan istiqamah dan tidak sedikit pun melalaikannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk diciptakan dalam keadaan berkeluh-kesah.
Ada yang berkata: “Maksud firman-Nya: (إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ.) “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,” adalah orang-orang mu’min yang bersama Rasulullah s.a.w.
Ada yang berkata: “Maksudnya adalah setiap orang yang melaksanakan shalat lima waktu.” Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Yaḥyā bin Abī Katsīr berkata: Abū Salamah berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (91837).
‘Ulamā’ lainnya membacanya dengan rafa‘.
Lihat at-Taisīru fil-Qirā’āt-is-Sab‘ (hal. 174) dan al-Wāfī fī Syarḥ-isy-Syāthibiyyah (hal. 305).
Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/287).
Abū Ja‘far, Syaibah, Nāfi‘, dan ‘Āshim dalam riwayat Abū Bakar, darinya, demikian juga dengan Abū ‘Amru, Ḥamzah, dan al-Kasā’ī membacanya (نَزَّاعَةٌ) dengan rafa‘.
Abū ‘Umar ‘Amru meriwayatkan dari ‘Āshim (نَزَّاعَةً) dengan nashab.
Orang yang membaca dengan rafa‘ memiliki lima pandangan:
Pertama, (لَظَى) dijadikan khabar anna dan (نَزَّاعَةً) dibaca marfū‘ dengan disembunyikannya dhamīr hiya. Menurut pandangan ini, sebaiknya dibaca waqaf (berhenti) pada (لَظَى).
Kedua, (لَظَى) dan (نَزَّاعَةً) adalah khabar, sebagaimana perkataan innahu khalqu mukhashim “sesungguhnya itu adalah perilaku orang yang menentang”.
Ketiga, (نَزَّاعَةً) adalah badal dari (لَظَى), dan (لَظَى) adalah khabar inna.
Keempat, (لَظَى) adalah badal dari isim inna dan (نَزَّاعَةً) adalah khabar inna.
Kelima, dhamīr dalam (إِنَّهَا) berfungsi sebagai cerita, dan (لَظَى) adalah mubtada’. (نَزَّاعَةً) khabar mubtada’ dan kalimatnya adalah khabar inna.
Adapun maknanya, cerita itu dan khabar (لَظَى) membuat ngelupas kulit kepala.
Orang yang membaca (نَزَّاعَةً) dengan nashab sebaiknya berhenti pada bacaan (لَظَى) dan me-nashab-kan (لَظَى) secara mutlak, dari (لَظَى) jika ia nakirah dan bersambung dengan ma‘rifah. Diperbolehkan untuk di-nashab-kan pada keadaan yang menegaskan, sebagaimana firman-Nya: (وَ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا). Diperbolehkan juga di-nashab-kan karena artinya api itu bergejolak mengelupas kulit kepala, atau ketika menglupaskan kulit kepala. Pelakunya dalam hal itu adalah apa yang ditunjukkan oleh makna bergejolak. Bisa juga menjadi ḥāl (keadaan), karena demikianlah keadaan orang-orang yang mendustakan beritanya. Bisa juga di-nashab-kan secara mutlak, sebagaimana kamu katakan, marartu bi zaidin al-‘āqil-il-fādhil “saya melewati Zaid yang cerdas dan mulia.” Inilah kelima pandangan tersebut.
Diriwayatkan oleh Aḥmad dalam Musnad-nya (6/84), dia berkata: Abul-Mughīrah menceritakan kepada kami, dia berkata: Al-Auzā‘ī menceritakan kepada kami dengan sanad yang sama kepada Nabi s.a.w. Di dalamnya, ‘Ā’isyah berkata: “Shalat yang paling disukai oleh Rasūlullāh s.a.w. adalah apabila seseorang melaksanakan satu shalat dan tetap melaksanakannya.”
Abū Salamah berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”
Atsar semisalnya diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam ash-Shaum (1980), dia berkata: “Mu‘ādz bin Fadhdhālah menceritakan kepada kami, Hisyām menceritakan kepada kami dari Yaḥyā, dari Abū Salamah, bahwa ‘Ā’isyah r.a. menceritakannya kepadanya. Serta Muslim dalam Shalāt-ul-Musāfirīn (215).