إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ.
70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
70: 22. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),
70: 26. dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,
70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya,
70: 28. karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya),
70: 29. dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
(QS. al-Ma‘ārij [70]: 19-29).
(Tambahan: Bagian ini tidak ada di dalam teks…..
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.
70: 30. kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
70: 31. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Ma‘ārij [70]: 30-31).)
Firman Allah: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dikatakan di dalam ash-Shiḥāḥ: (الْهَلَعُ) secara etimologi bahasa adalah sangat kikir dan kesedihan yang sangat buruk.” Boleh dikatakan (هَلِعَ) dengan kasrah, kemudian derivasinya menjadi (هَلع) dan (هَلُوْع) untuk menunjukkan banyak. ‘Ikrimah berkata: “Gundah gulana.”
Al-Wāḥidī dan para mufassir lainnya menyatakan bahwa penafsiran (الْهَلَعُ) adalah ayat yang berikutnya, yaitu firman Allah: (إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” Yakni apabila ia ditimpa kemiskinan dan kekurangan, atau penyakit, atau sejenis itu maka ia berkeluh-kesah, yakni banyak mengeluh. Dan apabila ia mendapat kebaikan, berupa kekayaan, kemudahan, kelapangan rezeki, dan yang sejenisnya maka ia sangat kikir.
Abū ‘Ubaidah berkata: (الْهَلُوْعُ) adalah orang yang apabila mendapat kebaikan maka tidak bersyukur dan apabila ditimpa musibah maka tidak bersabar.” Tsa‘lab berkata: “Allah telah menjelaskan (الْهَلُوْعُ) yaitu orang yang apabila ditimpa keburukan maka sangat menampakkan keluh-kesah dan apabila mendapat kebaikan maka sangat kikir dan menghalangi manusia untuk mendapatkan sebagian darinya.” Orang ‘Arab biasa berkata: “Unta (هَلُوْع) dan (هِلْوَاع) apabila ia dapat berlari kencang. Di antara contoh penggunaan kata ini adalah perkataan seorang penyair:
صَكَّاء ذِعْلِبة إِذَا اسْتَدْبَرْتَهَا | حَرَج إِذَا اسْتَقْبَلْتَهَا هِلْوَاع. |
“Unta itu berlari kencang manakala kau membelakanginya
dan berlari kencang manakala kau menghadapinya karena malu.”
Yang dimaksud (الذعلبة) di sini adalah unta yang dapat berlari kencang, dan manshūb-nya kata (هَلُوْعًا), (جَزُوْعًا), (مَنُوْعًا), karena berkedudukan sebagai ḥāl muqaddarah (kondisi yang diasumsikan) atau ḥāl sebenarnya karena semua itu merupakan sifat-sifat yang diberikan kepada manusia secara fitrah, dan dua zharaf difungsikan untuk (جَزعًا) dan (مَنُوْعًا).
(إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ) “kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,” yakni selalu melaksanakan shalat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah ahli tauhid, yakni bahwa mereka tidak memiliki sifat-sifat itu, yaitu berkeluh-kesah, sangat bersedih, dan kikir, melainkan mereka memiliki sifat-sifat yang terpuji dan diridhai, karena keimanan mereka dan tauhid yang mereka pegang, serta ajaran agama yang benar melarang mereka besifat dengan sifat-sifat itu dan mengharuskan mereka bersifat dengan sifat-sifat yang baik.
Kemudian Allah s.w.t. menjelaskan kondisi mereka dan berfirman: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” yakni tidak disibukkan oleh kesibukan apapun dan tidak ada yang dapat menghalangi untuk tidak melaksaankannya, dan bukan yang dimaksud dengan “tetap mengerjakan” di sini artinya mereka selalu dalam keadaan shalat. Az-Zajjāj berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak mengalihkan wajahnya dari arah qiblat.” Al-Ḥasan dan Ibnu Juraij berkata: “Yang melaksanakan shalat sunnah.” An-Nakha‘ī berkata: “Yang dimaksud dengan orang-orang yang sahabat adalah yang mengerjakan shalat wajib.”
Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah yang mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah semua orang mu’min, ada juga yang menyatakan maksudnya para sahabat secara khusus, namun pengkhususan ini tidaklah beralasan, karena setiap orang mu’min dapat disifati sebagai orang yang shalat.
(وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ.) “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.” Qatādah dan Muḥammad bin Sīrīn berkata: “Yang dimaksud adalah zakat yang wajib.” Mujāhid berkata: “Itu selain zakat.” Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah silaturahim, namun pendapat yang tepat adalah zakat karena disifati dengan keberadaannya sebagai “bagian tertentu” dan karena beriringan dengan shalat.
(لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ.) “bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” Penafsiran mengenai (السَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ) ini telah dijelaskan sebelumnya secara lengkap di dalam surah adz-Dzāriyāt.
(وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.) “dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan.” Yakni hari pembalasan, yaitu hari kiamat, mereka tidak ragu dan tidak mengingkari akan kedatangannya. Suatu pendapat mengatakan yakni mereka membenarkan keberadaannya dengan amal perbuatan mereka, hingga mereka senantiasa mengupayakan diri mereka dalam ketaatan.
(وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ.) “dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya.” Yakni mereka merasa takut dan merinding dengan amal-amal ketaatan yang mereka miliki lantaran mereka menganggap remeh dengan kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan dan menyadari akan kekuasaan Allah untuk berbuat kepada mereka.
(إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.) “karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).” Ayat ini menjadi penegas untuk makna yang terkandung dalam ayat sebelumnya, dan menjelaskan bahwa tidak sepantasnya seseorang merasa aman darinya, dan sudah menjadi keharusan setiap orang untuk merasa takut akan kedatangannya.
(وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ.) “dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, – hingga firman-Nya – ” maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Ma‘ārij [70]: 29-31). Penafsiran mengenai hal ini telah dijelaskan secara lengkap dalam surah al-Mu’minūn.