Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani 3

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani

Firman-Nya (كَلَّا) “sekali-kali tidak dapat” merupakan bantahan terhadap orang kafir dan penjelasan akan tertolaknya tebusan yang ia inginkan itu. Lafazh (كَلَّا) juga akan datang bermakna (حَقًّا) “benar-benar” dan bermakna “tidak” yang mencakup makna cemoohan dan bantahan. Dhamīr pada (إِنَّهَا لَظَى) “sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak,”, kembali kepada (جهنم) “neraka Jahannam” dan derivasi dari bergolak dalam neraka, yaitu membara. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asal katanya adalah (لظظ) yang berarti ‘adzab yang langgeng, kemudian salah satu dari huruf zhā’ diubah menjadi alif. Ada juga yang berpendapat lafazh (لَظَى) adalah peringkat kedua dari peringkat neraka Jahannam.

 

(نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “Yang mengelupaskan kulit kepala.” Jumhur ‘ulamā’ membaca (نَزَّاعَةٌ) dengan rafa‘ sebagai khabar kedua dari (إن), atau khabar mubtada’ maḥdzūf (yang dihilangkan), atau ada juga yang mengatakan (لَظَى) sebagai badal dari dhamīr manshūb, dan (نَزَّاعَةً) sebagai khabar (إن), atau bisa juga (نَزَّاعَةً) sebagai sifat dari (لَظَى) berdasarkan asumsi bahwa ia bukan sebagai ‘alam (isim ‘alam). Atau ia menjadi dhamīr, bahwa ia digunakan untuk menceritakan (qishshah), dan (لَظَى) sebagai mubtada’, sementara (نَزَّاعَةً) sebagai khabar-nya, dan susunan kalimat berikutnya berkedudukan sebagai khabar (إن).

Ḥafsh dari ‘Āshim, Abū ‘Amr dalam sebuah riwayat dari ‘Āshim, Abū Ḥaiwah, az-Za‘farānī, at-Tirmidzī, dan Ibnu Muqsam membaca (نَزَّاعَةً) dengan nashab sebaga ḥāl. Abū ‘Alī al-Fārisī berkomentar: “Mendudukkannya sebagai ḥāl jauh dari kebenaran, karena dalam pernyataan ini tidak ada yang difungsikan dalam kondisi (ḥāl).” Namun ada pendapat yang menyatakan bahwa fungsi ḥāl di sini ditunjukkan oleh makna “bergolak”, atau nashab di sini sebagai pengkhususan.

Makna (الشَّوَى) di sini adalah sisi-sisi, atau sebagai jama‘ dari lafazh (شَوَاةٌ), yaitu kulit kepala. Di antara contoh makna ini adalah perkataan al-A‘syā:

قَالَتْ……قُتَيْلَةُ مَالَهُ قَدْ جُلِّلَتْ شَيْبًا شَوَاتُهُ.

Qutailah berkata: ….. mengapa kulit kepalanya telah dipenuhi uban.”

Al-Ḥasan dan Tsābit al-Bannanī berkata: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “Yang mengelupaskan kulit kepala,” yakni keelokan dan kebagusan wajah. Demikian pula yang dikatakan oleh Abū ‘Āliyah dan Qatādah: “Daging dan kulit terlepas dari tulang hingga tidak meninggalkan apa-apa padanya.” Al-Kisā’ī berkata: “Itu adalah batas-batas sendi.” Abū Shāliḥ berkata: “Itu adalah ujung-ujung kedua tangan dan kedua kaki.”

 

(تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ) “Yang memanggil orang yang membelakang”. Yakni gejolak api neraka memanggil orang yang membelakangi (menutup mata) dari kebenaran agama saat di dunia. (وَ تَوَلَّى.) “Dan yang berpaling (dari agama),” yakni berpaling dari kebenaran itu.

 

(وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.” Yakni mengumpulkan harta dan menyimpannya dalam suatu wadah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa gejolak api itu berseru: “Ke sinilah wahai orang musyrik, ke sinilah wahai orang munafiq!” Ada pun yang mengatakan makna (تَدْعُوْا) “memanggil” di sini adalah (تهلك) “membinasakan”. Orang ‘Arab biasa berkata: “Allah memanggilmu, yakni membinasakanmu.”

Pendapat lain menyatakan itu bukanlah panggilan dengan lisan, melainkan panggilan api neraka itu artinya telah sampai siksaannya kepada mereka. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa itu adalah para malaikat penjaga neraka Jahannam memanggil orang-orang kafir dan munafiq, maka penyandaran “panggilan” kepada neraka termasuk pola penyandaran suatu kondisi kepada tempat kondisi itu berlangsung. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa itu merupakan penggambaran dan pemberian imajinasi, dan bukan panggilan secara hakiki, dan maknanya bahwa perjalanan mereka berakhir di sana (neraka Jahannam), sebagaimana seorang penyair bersenandung:

وَ لَقَدْ هَبَطْنَا الْوَادِ بَيْنَ قَوَادِنَا نَدْعُو الْأَنِيْس بِهِ الْغَصِيْص الْأَبْكَم.

(tidak ada terjemahannya).

Makna (الْغَصِيْص الْأَبْكَم) adalah lalat-lalat, dan ia tidak memanggil. Di sini mengandung celaan bagi orang yang mengumpulkan harta dan menyimpannya, serta tidak menginfaqkannya di jalan kebaikan atau tidak melaksanakan kewajiban zakatnya.

Al-Firyābī meriwayatkan, juga ‘Abd bin Ḥumaid, an-Nasā’ī, Ibnu Abī Ḥātim, al-Ḥākim dan ia menilainya shahih, dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman-Nya: (سَأَلَ سَائِلٌ) “Seseorang telah meminta” Ibnu ‘Abbās berkata: “Itu adalah an-Nadhr bin al-Ḥārits yang berseru; (اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.) “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (Qs. al-Anfāl [8]: 32), dan mengenai firman-Nya: (بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “‘adzab yang akan menimpa.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Itu terjadi bagi orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Memiliki peringkat-peringkat.”

‘Abd bin Ḥumaid dan Ibnu Mundzir meriwayatkan darinya mengenai firman Allah: (سَأَلَ سَائِلٌ) “Seseorang telah meminta” Ibnu ‘Abbās berkata: “Sebuah lembah mengalir di neraka Jahannam.” Ibnu Mundzir dan Ibnu Abī Ḥātim juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman Allah: (ذِي الْمَعَارِجِ) “yang mempunyai empat-tempat naik” ia berkata: “Memiliki ketinggian dan keutamaan”. Ibnu Mundzir dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan lagi dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman Allah: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun,” ia berkata: “Bagian terbawah dari bawah bumi ke bagian teratas dari tujuh langit jaraknya sejauh lima puluh ribu tahun perjalanan, dan perhitungan satu hari lamanya adalah seribu tahun. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yang dimaksud di sini adalah bahwa perintah turun dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit dalam sehari, dan itu berarti selama seribu tahun, karena jarak antara langit dan bumi adalah sejauh lima ratus tahun perjalanan.

Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Ketebalan setiap bumi sejauh lima ratus tahun perjalanan, dan ketebalan setiap langit sejauh lima ratus tahun perjalanan. Jarak antara satu bumi ke bumi lainnya sejauh lima ratus tahun perjalanan, dan jarak antara masing-masing langit sejauh lima ratus tahun perjalanan, itulah firman-Nya: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.

Ibnu Jarīr, Ibnu Mundzir, dan al-Baihaqī dalam kitab al-Ba‘ts juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman-Nya: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.) “dalam sehari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Qs. as-Sajdah [32]: 5) ia berkomentar: “Ini terjadi di dunia, para malaikat naik dalam sehari yang kadarnya seribu tahun dalam hitungan kalian. Dan mengenai firman-Nya: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun,” ini terjadi pada hari kiamat kelak. Allah menjadikan hari kiamat bagi orang kafir selama lima puluh ribu tahun.

Juga Ibnu Abī Ḥātim dan al-Baihaqī meriwayatkan darinya mengenai firman-Nya: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ.) “dalam sehari yang kadarnya seribu tahun.” (Qs. as-Sajdah [32]: 5) ia berkomentar: “Jika kalian memperhitungkannya, maka itu berarti lima puluh ribu tahun dalam hitungan hari-hari kalian.” Ibnu ‘Abbās menjelaskan: “Yakni hari kiamat.”

Kami telah menjelaskan terdahulu mengenai sisi penyesuaian antara dua ayat dalam surah as-Sajdah. Aḥmad, Abū Ya‘lā, Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Ḥātim, al-Baihaqī di dalam kitab al-Ba‘ts dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, ia berkata: (قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ (ص): يَوْمٌ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، مَا أَطْوَلُ هذَا الْيَوْمِ؟ فَقَالَ: وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَنِ الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَكُوْنَ أَهْوَنَ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوْبَةٍ يُصَلِّيْهَا فِي الدُّنْيَا.) “(Dikatakan) wahai Rasūlullāh s.a.w., ada sebuah hari yang hitungan lamanya lima puluh ribu tahun, alangkah lamanya hari itu?” maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Demi Dzāt yang jiwaku berada dalam genggaman Tangan-Nya, sesungguhnya akan diringankan hari itu dari orang mu’min hingga lebih cepat baginya daripada shalat wajib yang dilakukan di dunia.” (1451) Dalam sanad riwayat ini terdapat Darrāj dari Abul-Haitsam, keduanya adalah orang yang lemah.

Diriwayatkan oleh Abū Ḥātim, al-Ḥākim, dan al-Baihaqī di dalam al-Ba‘ts dari Abū Hurairah secara marfū‘, ia berkata: “Tidaklah lama ukuran hari kiamat bagi orang-orang beriman melainkan seperti lamanya waktu antara Zhuhur dan ‘Ashar.” Dan al-Ḥākim serta at-Tirmidzī di dalam kitab Nawādir-ul-Ushūl meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman Allah: (فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.) “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik,” ia berkomentar: “Yakni, janganlah engkau mengadu kepada siapapun selain-Ku.”

Juga diriwayatkan oleh Aḥmad, Ibnu ‘Abd Ḥumaid, Ibnu Mundzir, al-Khathīb di dalam al-Muttafaqu wal-Muftaraq, dan adh-Dhiyā’ di dalam al-Mukhtarah, dari Ibnu ‘Abbās mengenai firman-Nya: (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,” ia berkomentar: “Seperti sisa minyak bekas.” Juga Ibnu Jarīr meriwayatkan darinya, ia berkata, mengenai firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “sedang mereka saling memandang,” yakni sebagian dari mereka bertemu sebagian yang lain dan saling mengenali, kemudian sebagian orang itu lari dari sebagian yang lain itu. Ibnu Jarīr meriwayatkan juga darinya mengenai firman Allah: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) “Yang mengelupaskan kulit kepala,” ia berkata: “Melepas batok kepala.”

Catatan:

  1. 145). Dha‘īf; Aḥmad (3/75) dari jalur Ibnu Luhai‘ah, Darrāj meriwayatkan dari Abul-Ḥaitsam, dari Sa‘īd. Al-Baihaqī di dalam al-Ba‘ts (1/324) dari jalur Darrāj dari Abul-Ḥaitsam. Ibnu Jarīr (29/45) dari jalur Darrāj dari Abul-Ḥaitsam. Darrāj adalah orang yang jujur, dan riwayatnya dari Abul-Ḥaitsam adalah lemah, dinyatakan oleh al-Ḥāfizh. Ibnu Abī meriwayatkannya di dalam al-Kāmil (3/114). Aḥmad bin Ḥanbal berkomentar: “Hadits-hadits Darrāj dari Abul-Ḥaitsam, dari Sa‘īd, di dalamnya terdapat sisi kelemahan.”

Unduh Rujukan:

  • [download id="16590"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *