Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani 2

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani

Kemudian Allah memerintahkan Rasūl-Nya s.a.w. untuk bersabar, Dia berfirman: (فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا.) “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (Qs. al-Ma‘ārij [70]: 5) Yakni bersabarlah engkau wahai Muḥammad terhadap pendustaan mereka kepadamu dan kekufuran mereka terhadap apa yang datang kepadamu dengan sabar yang baik, yang tidak menyimpan kesedihan di dalamnya, dan tidak mengeluh kepada selain Allah.

Inilah makna sabar yang baik. Pendapat lain menyebutkan bahwa sabar yang baik adalah manakala orang yang mendapat musibah tidak menyadari bahwa ia sedang tertimpa musibah. Ibnu Zaid dan yang lain menyatakan ayat ini telah dinasakh dengan ayat saif (perintah perang).

 

(إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا.) “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).” Yakni mereka mengira ‘adzab yang akan menimpa mereka itu jauh dari kemungkinan, atau mereka berpendapat bahwa hari kiamat itu mustahil, yakni tidak akan terjadi karena mereka tidak meyakini keberadaannya. Makna “jauh” di sini adalah mustahil, bukan berarti mereka melihatnya sesuatu yang jauh, tidak dekat.

Al-A‘masy berkata: “Mereka menilai bahwa hari kebangkitan itu merupakan sesuatu yang jauh, karena mereka tidak meyakininya, seolah-olah mereka menganggapnya jauh sebagai sesuatu yang mustahil. Sebagaimana jika engkau menolak pendapat orang yang tidak kau setujui: “Ini jauh”. Yakni tidak akan terjadi.

 

(وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا.) “Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).” Yakni, Kami mengetahui akan terjadi dalam waktu yang dekat, karena semua yang akan datang, maka berarti dekat. Sebuah pendapat menyatakan: “Kami menilainya sesuatu yang mudah dalam kekuasaan Kami, tidak sulit, dan tidak ada penghalang. Susunan kalimat ini (وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا) sebagai ta‘līl (alasan) pada perintah bersabar.

 

Allah kemudian memberitahukan kapan ‘adzab itu akan menimpa mereka. Dia berfirman: (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,zharaf di sini terkait dengan sesuatu yang tersembunyi yang ditunjukkan oleh keadaan yang ada, atau sebagai badal dari firman-Nya: (فِيْ يَوْمٍ) “dalam sehari” atas perkiraan keterkaitannya dengan kondisi yang ada, atau terkait dengan lafazh (قَرِيْبًا) atau lafazh yang disamarkan setelahnya, yakni pada hari ketika…… demikian dan demikian, atau sebagai badal dari dhamīr pada (نَرَاهُ). Perkiraan yang pertama lebih tepat, dan perkiraannya adalah ‘adzab yang menimpa mereka.

 

(يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,” (الْمُهْل) adalah sejenis perak, timah, dan tembaga yang dilelehkan. Mujāhid berkata: “Yaitu cairan dari nanah dan darah. ‘Ikrimah dan yang lainnya berkata: “Ia adalah seperti sisa minyak bekas. Penafsiran lafazh ini telah dijelaskan dalam surah al-Kahfi dan ad-Dukhān.

 

(وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.) “dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),” yakni seperti (الصوف) “bulu-bulu” yang dicelup, dan (الصوف) ini tidak dapat dinamakan wol kecuali jika telah dicelup. Al-Ḥasan berkata: “Gunung-gunung menjadi seperti bulu-bulu, yaitu wol yang beraneka warna, ia adalah wol yang paling ringan. Ada pendapat lain yang mengatakan bulu-bulu di sini adalah bulu-bulu yang memiliki warna, kemudian gunung-gunung diserupakan dengannya karena memiliki bermacam warna, sebagaimana dalam firman Allah: (جُدَدٌ بِيْضٌ وَ حُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَ غَرَابِيْبُ سُوْدٌ.) “Ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” (Qs. Fāthir [35]: 27) apabila ditiup dan diterbangkan di udara, maka akan menyerupai bulu-bulu yang berukir ketika angin menerbangkannya.

 

(وَ لَا يَسْئَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا.) “dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,” yakni seorang kerabat tidak menanyakan perihal kerabatnya pada hari itu, ketika ‘adzab menimpa mereka lantaran sangat kerasnya huru-hara yang melalaikan seorang karib terhadap karibnya dan kekasih terhadap kekasihnya. Sebagaimana Allah s.w.t. berfirman: (لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ) “Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Qs. ‘Abasa [80]: 37).

Pendapat lain mengatakan bahwa makna asalnya adalah (لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ عَنْ حَمِيْمٍ.) “seorang teman akrab tidak menanyakan tentang temannya”, kemudian huruf (عَنْ) di sini dibuang dan fi‘il disambung. Jumhur ‘ulamā’ membaca (لَا يَسْأَلُ) dalam bentuk mabnī lil-fā‘il (kata kerja aktif). Ada yang mengatakan bahwa obyek yang kedua dihilangkan, dan perkiraannya adalah: Ia tidak menanyakan apakah ia mendapat pertolongan atau syafaat. Abū Ja‘far, Abū Ḥaiwah, Syaibah, dan Ibnu Katsīr dalam sebuah riwayat dari Syaibah, membaca dengan bentuk mabnī lil-maf‘ūl (kata kerja pasif). Cara baca ini diriwayatkan oleh al-Bazzār dari ‘Āshim, dan maknanya: “Seorang teman akrab tidak meminta untuk dipertemukan dengan temannya.” Pendapat lain mengatakan bahwa cara baca ini atas dasar pengguguran huruf jarr, yakni seorang teman akrab tidak ditanya mengenai temannya, melainkan setiap manusia ditanya mengenai dirinya dan amal perbuatannya.

Susunan kalimat (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling memandang” sebagai permulaan, atau sifat untuk firman-Nya, (حَمِيْمًا) “temannya”, yakni setiap teman akrab memandang temannya, dan tidak ada seorang pun yang tersembunyi sama sekali dari orang lain. Pada hari kiamat kelak, tidak ada satu makhluk pun melainkan ia akan nampak di hadapan mata temannya, namun mereka tidak saling bertanya, tidak saling berbicara satu sama lain, karena masing-masing dari mereka sibuk dengan urusan dirinya sendiri.

Ibnu Zaid berkata: “Allah mempertemukan orang-orang kafir di neraka dengan orang-orang yang telah menyesatkan mereka sewaktu di dunia, mereka adalah para pemimpin yang diikuti. Pendapat lain menyatakan bahwa firman Allah: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) kembali kepada para malaikat, yakni para malaikat mengetahui kondisi manusia dan tidak ada yang tersembunyi darinya, hanya saja digunakan bentuk jama‘ pada dhamīr dalam kalimat (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) padahal itu diperuntukkan kepada dua orang teman karib, lantaran dibawa pada makna umum, karena keduanya (حَمِيْمٌ) merupakan bentuk nakirah pada pola nafi.

Jumhur ‘ulamā’ membaca (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) dengan tasydīd, dan Qatādah membacanya dengan takhfīf (tanpa tasydīd), kemudian Allah memulai perkataan-Nya, Dia berfirman: (يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ) “Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu,” yang dimaksud (الْمُجْرِمُ) “orang jahat” di sini adalah orang kafir, atau setiap orang yang melakukan perbuatan dosa yang pantas mendapat balasan neraka, seandainya saja ia dapat menebus ‘adzab hari kiamat yang menimpanya.

 

(بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ.) “dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya,” sesungguhnya mereka adalah orang-orang terdekat dan paling disayangi, kalau saja ‘adzab itu dapat ditebus dengan mereka maka ia akan menebusnya dengan mereka supaya ia dapat terlepas dari ‘adzab itu. Susunan ayat ini sebagai permulaan untuk menjelaskan bahwa kesibukan setiap orang kafir dengan dirinya sendiri mencapai batas rela menebus ‘adzab dengan orang-orang yang disebutkan itu.

Jumhur ‘ulamā’ membaca (مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ) dengan menyandarkan (idhāfah) lafazh (عَذَاب) kepada (يَوْمِئِذٍ), sementara Abū Ḥaiwah dengan tanwīn pada lafazh (عَذَابٍ) dan memutus idhāfah. Jumhur ‘ulamā’ membaca (يَوْمِئِذٍ) dengan kasrah pada huruf mīm, sementara Nāfi‘, al-Kisā’ī, al-A‘rāj, dan Abū Ḥaiwah dengan fatḥah padanya.

 

(وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.) “dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).” Yakni keluarga terdekat yang terhubung dengan tali keturunan, atau keluarga yang biasa membantu saat kesulitan dan ia berlindung kepada mereka. Abū ‘Ubaid berkata: “Kerabat di sini bukan qabīlah.” Tsa‘lab berkata: “Mereka adalah para nenek-moyang mereka terdahulu.” Al-Mubarrad berkata: “Kerabat adalah “potongan” dari jasad, dan dinamakan keluarga (عشيرة) diserupakannya sebagian dengan sebagian yang lain.” Mālik berkata: “Kerabat adalah yang membesarkannya.”

 

(وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا) “dan orang-orang di atas bumi seluruhnya,” yakni kalau saja orang kafir dapat membuat tebusan dengan semua makhluk yang ada di muka bumi, baik dari kalangan jinn dan manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, maka ia akan melakukannya. Firman-Nya: (ثُمَّ يُنْجِيْهِ.) “kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” Di-‘athaf-kan pada (يَفْتَدِيْ), yakni pada hari, kalau saja orang kafir dapat membuat tebusan dan tebusan itu dapat menyelamatkannya. Pola ‘athaf dengan (ثُمَّ) menunjukkan jauhnya penyelamatan itu. Ada pendapat yang menyatakan bahwa lafazh (يَوَدُّ) di sini membutuhkan jawab (penimpal), sebagaimana dalam firman Allah: (وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ) “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Qs. al-Qalam [68]: 9) dan penimpalnya adalah (ثُمَّ يُنْجِيْهِ.), namun pendapat yang pertama lebih tepat.

Unduh Rujukan:

  • [download id="16590"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *