Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani 1

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir asy-Syaukani

SURAH AL-MA‘ĀRIJ

 

Surah ini terdiri dari empat puluh empat ayat.

Surah ini adalah surah Makkiyyah (diturunkan di Makkah).

Dinyatakan oleh al-Qurthubī bahwa pernyataan ini merupakan ketetapan ‘ulamā’. Ibn-udh-Dhurais, an-Naḥḥās, Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa ia pernah berkata: “Surah Sa’ala (al-Ma‘ārij) diturunkan di Makkah.” Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan dari Ibnu Zubair riwayat yang sama.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.

70: 1. Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa.
70: 2. Orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya,
70: 3. (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.
70: 4. Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
70: 5. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.
70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).
70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).
70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,
70: 9. dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),
70: 10. dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,
70: 11. sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya,
70: 12. dan istrinya dan saudaranya,
70: 13. dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia),
70: 14. dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.
70: 15. Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak,
70: 16. yang mengelupaskan kulit kepala,
70: 17. yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),
70: 18. serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.
(QS. al-Ma‘ārij [70]: 1-18).

 

Mengenai firman Allah: (سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ.) “Seseorang telah meminta kedatangan ‘adzab yang akan menimpa.” Jumhur membaca lafazh (سَأَلَ) dengan hamzah, sementara Nāfi‘ dan Ibnu ‘Āmir membacanya tanpa hamzah. Mereka yang membaca dengan hamzah berarti lafazh itu berasal dari (السُّؤَالُ) dan ini adalah bahasa yang sudah masyhur dan tersebar luas. Baik itu mengandung makna doa, oleh karenanya dijadikan muta‘addī dengan huruf bā’, sebagaimana kamu mengatakan, (دَعَوْتَ لِكَذَا) “engkau meminta untuk ini.” Dan maknanya menjadi “Seorang peminta meminta supaya didatangkan ‘adzab yang nyata terhadap dirinya.”

Atau boleh juga keberadaan hamzah pada lafazh (سَأَلَ) ini adalah asli, dan huruf bā’ yang terkait dengannya bermakna (عَنْ), seperti firman Allah: (فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا) “Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muḥammad) tentang Dia.” (QS. al-Furqān [25]: 59).

Adapun mereka yang membaca (سَأَلَ) tanpa hamzah, maka barang kali itu dari pola takfīf (peringanan) dengan mengubah hamzah menjadi alif, dan maknanya sama dengan makna bacaan dengan hamzah. Atau barang kali itu berasal dari kata (السَّيْلَان) “mengalir” yang maknanya adalah sebuah lembah di neraka Jahannam mengalir, dan itu dinamakan (سَائِل), sebagaimana dinyatakan oleh Zaid bin Tsābit dan dikuatkan oleh cara baca Ibnu ‘Abbās yang mengembalikan kata itu kepada asal kata (سَيَلَ = سَالَ)

Ada juga sebagian orang yang menyatakan bahwa (سَالَ) bermakna (التمس) “mencari”, sehingga maksudnya adalah seorang pencari mencari-cari datangnya ‘adzab kepada orang-orang kafir, dan huruf bā’ yang terkait dengannya merupakan tambahan (ziyādah), seperti firman Allah: (تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ) “Yang menghasilkan minyak.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 20) namun sisi pemaknaan yang pertama lebih jelas.

Al-Akhfasy berkata: “Boleh dikatakan, kami keluar untuk mencari fulan dan dengan fulan.” (خَرَجْنَا نَسْأَلُ عَنْ فُلَانٍ وَ بِفُلَانٍ).

Abū ‘Alī al-Fārisī berkata: “Apabila lafazh itu berasal dari kata (السُّؤَالُ), maka pada dasarnya ia membutuhkan dua obyek, namun boleh diringkas hanya pada salah satu dari keduanya, dan ber-ta‘addī dengan huruf jarr, dan orang yang meminta (didatangkan ‘adzab) di sini adalah an-Nadhr bin al-Ḥārits ketika ia mengatakan: (اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ.) “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami ‘adzab yang pedih.” (Qs. al-Anfāl [8]: 32), ia termasuk yang tewas pada peperangan Badar secara tragis. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah Abū Jahal, atau ada pula yang mengatakan itu adalah al-Ḥārits bin an-Nu‘mān al-Fihrī. Orang yang pertama (an-Nadhr bin al-Ḥārits) dinilai paling tepat, dengan alasan yang dikemukakan nanti.

Ubay dan Ibnu Mas‘ūd membaca (سَالَ سَالَ) separti (مَالَ مَالَ) yang aslinya adalah (سَائِل), namun kemudian ‘ain-ul-fā‘il-nya (huruf tengah pada akar kata fi‘il mādhī tsulātsī) untuk meringankan penyebutan, sebagaimana dikatakan (شاك) pada (شائك السلاح) “orang yang mengasah senjata”. Ada orang yang mengatakan bahwa orang yang meminta di sini adalah Nabi Nūḥ a.s. agar didatangkan ‘adzab terhadap orang-orang kafir. Ada pula yang berpendapat bahwa yang meminta itu adalah Rasūlullāh s.a.w. agar didatangkan ‘adzab terhadap orang-orang kafir.

 

Firman Allah: (بِعَذَابٍ وَاقِعٍ) “‘adzab yang akan menimpa” baik itu di dunia, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa perang Badar, atau di akhirat.

 

Firman Allah: (لِّلْكَافِريْنَ) “bagi orang-orang kafir” adalah sifat kedua untuk ‘adzab, yakni menimpa orang-orang kafir, atau terkait dengan apa yang terjadi. Huruf lām di sini untuk alasan, atau meminta jaminan makna doa, atau berada pada posisi rafa‘ untuk perkiraan “ia bagi orang-orang kafir’. Atau bisa juga huruf lām ini bermakna (عَلَى) “atas”, dan pendapat ini diperkuat oleh cara baca Ubay yang membacanya dengan (بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. عَلَى الْكَافِريْنَ).

Al-Farrā’ berkata: “Perkiraan, dengan ‘adzab orang-orang kafir yang menimpa mereka, maka lafazh (الواقع) merupakan sifat untuk (العذاب), dan susunan kalimat (لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ.) adalah sifat kedua untuk (العذاب), atau ḥāl (keterangan kondisi) darinya, atau sebagai kalimat permulaan, yang maknanya bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menangkal ‘adzab yang menimpanya itu.

 

Firman-Nya: (مِّنَ اللهِ) “(yang datang) dari Allah” berkaitan dengan lafazh (وَاقِع), yakni terjadi dari sisi Allah s.w.t., atau terkait dengan lafazh (دَافِع), yakni tidak ada penangkal dari sisi-Nya s.w.t. (ذِي الْمَعَارِجِ) “tempat-tempat naik” yakni memiliki derajat-derajat yang para malaikat naik padanya. Al-Kalbī berkata: “Itu adalah langit-langit, dan dinamakan “tempat-tempat naik” karena para malaikat naik padanya. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempat-tempat naik itu adalah tahapan-tahapan ni‘mat Allah kepada makhluk. Pendapat lain mengatakan tempat-tempat naik itu adalah keagungan. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah kamar-kamar. Ibnu Mas‘ūd membaca (ذِي الْمَعَارِجِ) dengan tambahan yā’, sebagaimana dikatakan, (مَعَارِجِ) dan (مَعَارِيْجِ) seperti (مَفَاتِح) dan (مَفَاتِيْح).

 

(تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ) “Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan” yakni mereka naik pada tempat-tempat naik yang Allah ciptakan untuk mereka. Jumhur membaca (تَعْرُجُ) dengan tā’, sementara Ibnu Mas‘ūd, para sahabatnya, al-Kisā’ī, dan as-Sulamī membaca dengan yā’. Yang dimaksud dengan “rūḥ” di sini adalah Jibrīl, disebutkan dengan bentuk mufrad setelah al-malā’ikah (para malaikat) menunjukkan kemuliaannya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah: (نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْأَمِيْنُ) “Dia dibawa turun oleh ar-Rūḥ-ul-Amīn (Jibrīl)”. (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 193). Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud “ruh” di sini adalah seorang malaikat agung yang lain, bukan Jibrīl. Abū Shāliḥ berkata: “Itu termasuk ciptaan Allah ta‘ālā seperti keberadaan manusia, namun bukan manusia. Qubaishah bin Dzu‘aib berkata: “Itu adalah ruh orang mati ketika dicabut.”

Pendapat pertama lebih tepat. Makna (إِلَيْهِ) “kepadanya”, yakni ke tempat yang mereka berhenti padanya. Ada yang mengatakan ‘Arasy-Nya. Ada pula yang mengatakan, itu seperti perkataan Ibrāhīm: (إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ) “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku.” (Qs. ash-Shāffāt [37]: 99) yakni menuju apa yang diperintahkan Tuhanku kepadaku.

 

(فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.) “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” Ibnu Isḥāq, al-Kalbī, dan Wahb bin Munabbih berkata: “Para malaikat naik ke tempat itu yang kadarnya sejauh perjalanan lima puluh ribu tahun yang ditempuh oleh selain malaikat.” Hal ini juga dinyatakan oleh Mujāhid. ‘Ikrimah berkata sesuai riwayat yang diambilnya dari Mujāhid bahwa masa usia dunia adalah kadar waktu ini (lima puluh ribu tahun), tidak seorang pun dari kalian yang mengetahui berapa kadar yang telah dilalui dan yang tersisa, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.

Qatādah, al-Kalbī, dan Muḥammad bin Ka‘b menyatakan bahwa yang dimaksud adalah Hari Kiamat, yakni kadar yang ditempuh oleh selain Allah adalah lima puluh ribu tahun, sedangkan Allah menyelesaikannya dalam sesaat saja. Pendapat lain mengatakan bahwa rentang waktu perhitungan amal perbuatan para hamba adalah kadar waktu ini, kemudian ahli surga ditempatkan di surga dan ahli neraka di neraka.

Pendapat lain mengatakan kadar lamanya hari kiamat adalah lima puluh ribu tahun bagi orang-orang kafir, adapun bagi orang-orang yang beriman adalah antara waktu Zhuhur dan ‘Ashar. Pendapat lain mengatakan penyebutan kadar rentang waktu ini hanya untuk perumpamaan dan imajinasi karena sangat tingginya tempat-tempat naik itu, sangat jauh jaraknya, dan sangat lamanya hari kiamat, melihat kesulitan-kesulitan dan penderitaan-penderitaan yang ada padanya, sebagaimana orang ‘Arab biasa menamakan hari-hari sulit dengan “panjang” dan hari-hari gembira dengan “pendek”. Orang ‘Arab juga biasa menyerupakan hari yang pendek dengan ibu jari kucing, dan yang panjang dengan bayangan tombak. Di antaranya adalah perkataan seorang penyair:

وَ يَوْمٌ كَظِلِّ الرُّمْحِ قَصَّرَ طُوْلَهُ دَمُ الزِّقِّ عَنَّا وَ اصْطِفَافُ الْمَزَاهِرِ.

Dan hari yang panjang dan sulit, dipendekkan dengan meminum arak dan alunan musik.”

Sebagian ‘ulamā’ menyatakan bahwa dalam kalimat ini terdapat taqdīm (pengedepanan) dan ta’khīr (pembelakangan), yakni tidak ada pembela baginya dari Allah yang memiliki tempat-tempat naik pada suatu hari yang kadar lamanya mencapai lima puluh ribu tahun, di mana para malaikat dan Jibrīl naik padanya.

Kami telah menjelaskan sebelumnya komparasi antara ayat ini dan ayat dalam surah as-Sajdah: (فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ) “Dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun.” (Qs. as-Sajdah [32]: 5). Ada pula yang berpendapat bahwa dari jarak perjalanan dari alam paling bawah ke ‘Arsy adalah lima puluh ribu tahun dan jarak dari atas langit terdekat ke bumi adalah seribu tahun, karena ketebalan setiap langit adalah sejauh perjalanan lima ratus tahun, dan dari bagian bawah langit terendah ke bagian bumi paling bawah adalah lima ratus tahun.

Maknanya, manakala para malaikat naik dari alam paling bawah menuju ‘Arsy, maka itu berjarak sejauh perjalanan lima puluh ribu tahun, dan manakala mereka naik dari bumi tempat kita berpijak ini menuju perut langit, yaitu langit yang terdekat dari bumi, maka itu jaraknya sejauh seribu tahun perjalanan. Di akhir pembahasan ini akan ada yang menguatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Abbās.

Unduh Rujukan:

  • [download id="16590"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *