Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir ash-Shabuni (3/4)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir ash-Shabuni

Kemudian Allah menjelaskan watak asal manusia, yaitu sangat tamak untuk mengumpulkan harta benda: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”; manusia berwatak asli keluh-kesah, tidak sabar terhadap musibah dan tidak bersyukur atas ni‘mat. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Yakni sangat tamak dan sedikit sabar.” (7711) Yang dimaksudkan adalah manusia secara umum. Buktinya, ada pengecualian selanjutnya. Kemudian Allah menjelaskannya dengan firman: “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah”; jika dia ditimpa sesuatu yang dia benci berupa kemelaratan, sakit atau ketakutan, dia sangat mengeluh dan banyak mengeluh serta putus asa. “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”; jika dia memperoleh kebaikan berupa kekayaan, kesehatan dan rezeki melimpah, dia sangat kikir dan bakhil. Jika ditimpa kemelaratan dia tidak sabar dan jika diberi kekayaan oleh Allah, dia tidak berinfaq. Ibnu Kaisān berkata: “Allah menciptakan manusia cenderung mencintai apa yang menyenangkannya dan menghindar lari dari apa yang dia benci. Namun Allah menyuruhnya beribadah, menginfaqkan apa yang dia sukai dan bersabar atas apa yang dia benci.” (7722) “kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat”; Allah mengecualikan orang yang shalat dari kalangan manusia yang memiliki sifat mengeluh kikir. Ini dikarenakan, shalat mendorong mereka hanya sedikit mempedulikan urusan duniawi, sehingga mereka tidak mengeluh jika tertimpa keburukan dan tidak kikir ketika memperoleh kebaikan. “yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”; mereka senantiasa menunaikan shalat dan tidak ada hal yang mengganggu dalam hal itu. Itu disebabkan jiwa mereka jernih dari keruhnya kehidupan karena mereka mengharapkan anugrah Allah. “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”; di dalam harta mereka terdapat bagian khusus yang diwajibkan Allah, yaitu zakat. “bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”; yakni untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang enggan meminta-minta, sehingga dia disangka kaya. Ini senada dengan firman Allah: “Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.” (al-Baqarah [2]: 273) “dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan”; mereka beriman kepada hari perhitungan dan pembalasan serta meyakini kebenaran terjadinya hari itu dengan keyakinan kuat tanpa tercampur oleh kebimbangan dan keraguan. Karena itu, mereka mempersiapkan diri dengan amal-amal shalih. “dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya”; mengkhawatirkan dirinya dari siksa Allah. Mereka mengharapkan pahala dan takut siksa. “Karena sesungguhnya ‘adzab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya)”; karena tidak layak ada seseorang pun yang merasa aman terhadap siksa Allah, kecuali orang yang diberi jaminan keamanan oleh Allah. Masing-masing orang tergantung pada amal yang menjadi penutup hidupnya. Orang-orang yang beriman dan takut kepada Allah, sedikit sekali membanggakan materi atau sombong karenanya atau mengeluh karena materi yang gagal diraih. Bagi mereka sama saja, baik memperoleh materi atau tidak. Sebab, mereka sibuk merenungkan keagunan Allah dan memikirkan akhirat, sehingga mereka tidak sempat untuk mengeluh jika tertimpa kemalangan dan tidak kikir jika memperoleh keberuntungan.

Kemudian Allah menuturkan kelompok kelima dari orang-orang yang diberi taufiq untuk melakukan kebaikan. “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya”; mereka orang terhormat. Mereka tidak melakukan hal yang haram dan tidak menodai diri dengan dosa. Mereka menjaga diri dari zina dan dosa yang keji. “kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki”; dalam menyalurkan hasrat seksualnya, mereka cukup dengan yang dihalalkan Allah untuk mereka, yaitu istri yang dinikah dan sahaya wanita yang dimiliki. “maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”; sebab penyaluran kepada istri dan sahaya wanita bukanlah hal yang diharamkan dan tidak menyebabkan siksa. Justru menyalurkan syahwat pada istri dan sahaya, adalah halal dan mendatangkan pahala. Setelah itu sarana memperbanyak keturunan. “Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”; barang siapa melampiaskan syahwatnya kepada selain istri dan sahaya perempuan yang halal, maka dia telah melewati batas Allah dan menjadikan dirinya sebagai sasaran siksa Allah. Ath-Thabarī berkata: “Barang siapa mencari selain istrinya dan sahayanya dalam rangka melampiaskan hasrat kemaluannya, maka mereka orang yang melampaui batas dari yang dihalalkan Allah menuju apa yang dia haramkan. Maka merekalah orang yang tercela.” (7733) “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”; mereka menunaikan amanat dan menjaga janji. Jika dipercaya terhadap sesuatu, mereka tidak berkhianat dan jika berjanji, mereka tidak melanggarnya. “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya”; mereka bersaksi dengan benar dan jujur meski harus merugikan orang dekat maupun orang jauh. Mereka tidak menyembunyikan kesaksian yang benar serta tidak memanipulasinya. Mereka mengatakannya sebagaimana mestinya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Kesaksian termasuk amanat-amanat. Secara khusus disebutkan sebab kesaksian merupakan amanat paling penting, sebab menunaikan kesaksian berarti menghidupkan hak asasi manusia dan meninggalkannya akan menyia-nyiakan hak mereka. “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya”; ini sifat kedelapan orang mu’min yang diberi taufiq oleh Allah untuk membersihkan jiwa dari sifat keluh-kesah yang tercela. Mereka memenuhi syarat-syarat shalat, menjaga etikanya, terutama kekhusyu‘an, tadabbur dan murāqabah. Jika tidak, maka shalat hanya gerakan lahir yang tidak ada buahnya. Faedah shalat adalah menjauhi hal-hal yang haram. Shalat adalah tiang Islam sehingga sangat ditekankan. Karenanya, disebutkan di permulaan di antara sifat-sifat terpuji dan diulang lagi di bagian akhir agar dipahami kedudukannya yang amat penting dalam rukun Islam. (7744). Al-Qurthubī berkata: “Pada permulaan, Allah berfirman: “yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya” dan pada penutupnya Allah berfirman: “dan orang-orang yang memelihara shalatnya”. Maksudnya, tetap mengerjakan, selalu melakukannya dan tidak dilalaikan oleh apapun. Sedangkan maksud memeliharanya adalah menyempurnakan wudhu’, memperhatikan waktunya, menunaikan rukunnya, menyempurnakan shalat dengan sunnah-sunnah dan etikanya dan menjaganya dari terhapusnya pahala shalat karena perbuatan dosa. Maksud “tetap mengerjakan shalat” terkait dengan penunaiannya pekerjaan shalat itu sendiri, sedangkan “memelihara shalat” terkait dengan sifat dan etika serta yang terkait kesempurnaan shalat.” (7755).

Setelah menyebutkan sifat-sifat mu’min, Allah menyebutkan tempat kembali mereka. Allah berfirman: “Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan”; orang-orang yang memiliki sifat-sifat agung tersebut, berada di dalam surga di mana Allah memuliakan mereka dengan bermacam-macam kemulian dan ni‘mat beraneka ragam. Itu mereka peroleh karena mereka berakhlak terpuji.

Mengapakah orang-orang kafir itu bersegera datang ke arahmu”; hai Muḥammad, kenapa orang-orang kafir yang berdosa segera menuju kepadamu sambil mendongakkan leher dan menatapkan mata kepadamu? ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Orang-orang kafir berkumpul di sekeliling Nabi Muḥammad s.a.w. menjadi beberapa kelompok sambil mendengar sabda beliau dan menertawakan beliau dan para sahabat. Mereka berkata: “Jika orang-orang ini – menunjuk para sahabat Rasūlullāh – masuk surga – sebagaimana dikatakan Muḥammad – , tentu kita pasti masuk surga sebelum mereka. Maka turunlah ayat ini.” (7766) “dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok”; duduk di sebelah kanan dan kirimu menjadi beberapa kelompok sambil berbincang-bincang dan berdecak (membuat bunyi “cek” dengan mulut untuk menyatakan kekaguman atau keheranan mengenai sesuatu) kagum? Abū ‘Ubaidah berkata: “‘izīn; menjadi beberapa kelompok yang bercerai-berai.” “Adakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk ke dalam surga yang penuh kenikmatan”; ini pertanyaan untuk penolakan dan celaan terhadap orang kafir. Apakah masing-masing orang kafir itu ingin masuk surga, padahal dia mendustakan penutup para rasūl? Tentu tidak mungkin. “Sekali-kali tidak!”; kalimat bantahan. Maksudnya, yang benar adalah tidak sebagaimana yang mereka sangkakan, mereka tidak akan masuk surga untuk selamanya. Kemudian Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani)”; Kami ciptakan mereka dari benda-benda kotor; sperma, lalu darah segumpal, segumpal daging. Jadi, dari mana mereka mengharapkan masuk surga sebelum orang mu’min, padahal mereka tidak mempunyai kelebihan yang menyebabkan mereka berhak masuk surga? Yang berhak masuk surga hanyalah orang yang taat kepada Allah. Al-Qurthubī berkata: “Mereka menertawakan fakir miskin dari kalangan kaum muslimin dengan penuh kesombongan. Karena itu, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui (air mani)” yakni dari kotoran, sehingga mereka tidak layak sombong.” (7777).

Catatan:

  1. 771). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/128.
  2. 772). Tafsīr-ul-Baghawī, 4/151.
  3. 773). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/53.
  4. 774). Ibnu Katsīr berkata: “Allah mengawali pembicaraan dengan menuturkan shalat dan mengakhirnya dengan menuturkan shalat. Hal itu menunjukkan penting dan mulianya shalat.
  5. 775). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/550.
  6. 776). Lihat Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/195 dan Tafsīr-ul-Khāzin, 4/152.
  7. 777). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/294.

Unduh Rujukan:

  • [download id="21503"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *