(الْمَعَارِجِ): tempat naik dan tangga untuk naik seseorang menuju langit. Termasuk arti ini adalah kata Mi‘rāj Nabi Muḥammad s.a.w.
(الْمُهْلِ): tembaga yang meleleh dan mencair.
(الْعِهْنِ): bulu yang ada gambarnya,
(فَصِيْلَتِهِ): kelompok asal nasab.
(لَظَى): nama Jahannam. Disebut demikian sebab apinya menyala-nyala.
(الشَّوَى): kulit kepala, berbentuk jama‘ (7581)
(هَلُوْعًا): banyak mengeluh dan bosan. Abū ‘Ubaidah berkata: “Yaitu orang yang jika menerima kebaikan tidak bersyukur, jika tertimpa nasib buruk tidak sabar. (7592).
(عِزِيْنَ): beberapa kelompok yang bercerai-berai. Penyair berkata:
فَجَاءُوْا يُهْرَعُوْنَ إِلَيْهِ | حَتَّى يَكُوْنُوْا حَوْلَ مِنْبَرِهِ عِزِيْنَا |
“Mereka datang dengan segera kepadanya
Namun di sekitar mimbarnya mereka bercerai-berai.” (7603).
(يُوْفِضُوْنَ): segera dan bergegas.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ketika Nabi s.a.w. memperingatkan kaum Quraisy akan siksa Allah, an-Nadhr bin al-Ḥārits berkata: “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit.” (al-Anfāl [8]: 32). Maka Allah menurunkan ayat: “Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi.”
“Seseorang peminta telah meminta kedatangan ‘adzab yang bakal terjadi”; seseorang dari kafir Quraisy meminta turunnya siksa yang pasti akan terjadi untuk dirinya dan kaumnya. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Yang dimaksud peminta adalah an-Nadhar bin al-Ḥārits, salah satu petinggi Quraisy dan penjahatnya. Ketika Nabi s.a.w. memperingatkan mereka akan siksa Allah, dia berkata dengan maksud menertawakan: “Ya Allah, jika betul (al-Qur’ān) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit.” (al-Anfāl [8]: 32). Maka Allah membinasakannya pada perang Badar dan dia mati dengan cara mati paling buruk. Ayat ini turun mencela an-Nadhar. “untuk orang-orang kafir”; dia meminta siksa itu atas orang-orang kafir. “yang tidak seorang pun dapat menolaknya”; jika Allah menghendaki terjadinya siksa, maka tidak ada seorang pun yang menolaknya siksa yang pasti menimpa mereka, baik mereka memintanya atau tidak. Jika siksa turun, maka tidak bisa ditolak atau dihentikan. “(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik”; siksa itu berasal dari Allah, Pemilik tempat-tempat naik di mana para malaikat naik dan turun dengan perintah dan wahyu-Nya.
Kemudian Allah merinci hal itu dengan berfirman: “Malaikat-malaikat dan Jibrīl naik (menghadap) kepada Tuhan”; turun para malaikat yang berbakti dan Jibrīl (7614) al-Amīn yang diberi kekhususan oleh Allah dengan menurunkan wahyu menghadap-Nya. “dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”; pekerjaan itu ditempuh dalam waktu lima puluh ribu tahun dengan perhitungan tahun dunia. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yaitu hari kiamat. Allah menjadikannya bagi orang kafir sama dengan lima puluh ribu tahun. Lalu mereka masuk ke neraka untuk tinggal diam di sana.” (7625) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Penggabungan (kompromi) antara ayat ini dan ayat “dalam sehari yang kadarnya (lamanya) seribu tahun”, (as-Sajdah: 5) bahwa di hari kiamat itu ada beberapa pos pemberhentian. Jumlahnya lima puluh dan masing-masing pos selama seribu tahun. Masa yang demikian lama dirasakan ringan orang mu’min, seingga lebih singkat daripada shalat fardhu.” (7636) “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik”; maka bersabarlah kamu hai Muḥammad atas penertawaan dan gangguan kaummu dan janganlah kamu bosan, sebab Allah akan menolongmu untuk mengalahkan mereka. Ayat ini untuk menghibur beliau, sebab meminta siksa disegerakan artinya menertawakan beliau. Karena itu, Allah menyuruh beliau untuk bersabar. Al-Qurthubī berkata: “Sabar yang baik adalah sabar tanpa mengeluh dan mengadu kepada selain Allah.” (7647) “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil)”; orang-orang yang menertawakan itu berkeyakinan bahwa siksa tidak akan turun, sebab mereka mengingkari hari kebangkitan dari kubur dan perhitungan amal. “Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi)”; Kami memandangnya dekat, sebab segala yang pasti akan terjadi adalah sangat dekat.
Kemudian Allah menjelaskan prahara dan beratnya siksa di hari kiamat. “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak”; langit meleleh tanpa henti bagaikan timah yang meleleh. Ibnu ‘Abbas berkata: “Bagaikan endapan minyak goreng.” (7658) “Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan)”; gunung-gunung bertebaran dan beterbangan bagaikan bulu yang diterbangkan angin. Al-Qurthubī berkata: “Yakni bulu merah atau bulu berwarna. Gunung diserupakan dengan bulu yang warna-warni. Pertama kali gunung berubah menjadi debu yang ditaburkan, lalu perak yang berwarna, lalu debu yang bertebaran.” (7669) Demikianlah keadaan langit pada hari yang mengerikan itu. Sedangkan keadaan makhluk, adalah sebagaimana difirmankan Allah: “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya”; tidak ada teman bertanya kepada temannya dan tidak ada kerabat menanyakan kerabatnya, sebab masing-masing manusia sibuk mengurus dirinya sendiri. Hal itu disebabkan dahsyatnya prahara yang meliputi mereka. “Sedang mereka saling melihat”; sampai seorang lelaki melihat ayahnya, saudaranya, kerabatnya dan kabilahnya, namun dia tidak bertanya maupun berkata kepada mereka. Justru dia lari dari mereka. Ini senada dengan firman Allah: “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (‘Abasa: 34-37). Ibnu ‘Abbās berkata: “Maksudnya sebagian dari mereka melihat yang lain dan mereka saling kenal. Namun sebagian lari dari yang lain.” (76710).
“Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya dan saudaranya”; orang kafir, pelaku dosa, pendusta dan penentang, berharap bahwa dia menebus dirinya dari siksa Allah dengan orang yang paling penting baginya selama di dunia, yaitu anak, istri dan saudara, “dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia)”; dan kelompoknya yang selama di dunia diandalkan dalam menghadapi masalah. Tidak hanya itu, dia juga berharap menebus dirinya dengan seluruh penghuni bumi. “dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya”; dan dia ingin menebus siksa Allah dengan seluruh penghuni bumi, baik manusia maupun lainnya agar dia selamat dari siksa Allah. Namun mustahil dia selamat dari siksa atau selamat dari kesedihan yang hebat. Imām ar-Rāzī berkata: “Yakni seandainya orang-orang tersebut berada di bawah kekuasaannya dan dia mengorbankan mereka untuk menebus dirinya agar tebusan itu menyelamatkannya. Namun mustahil tebusan itu bisa menyelamatkannya.” (76811).
“Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak”; hendaknya pendosa itu menghentikan dan meralat angan-angan kosong tersebut, sebab tidak ada tebusan yang menyelamatkannya dari siksa. Sebaliknya di hadapannya ada Jahannam yang apinya menyala-nyala yang siap melahapnya. “yang mengelupaskan kulit kepala”; saking hebatnya panas neraka itu, ia mampu melepaskan kulit kepala (76912) dari manusia. Setiap kali kulit kepala itu lepas, maka kembali seperti sedia kala agar lebih pedih dan menyakitkan. Secara khusus kulit kepala disebutkan, sebab merupakan anggota badan yang paling sensitif. “yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)”; Jahannam memanggil orang yang mendustakan ar-Raḥmān dan berpaling dari keimanan. Ibnu ‘Abbās berkata: “Jahannam memanggil orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dengan bahasa dan lisan yang jelas. Ia berkata: “Kemarilah hai kafir, kemarilah hai munafiq.” Kemudian neraka itu menelan mereka sebagaimana burung menelan biji.” (77013) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”; Jahannam juga memanggil orang yang mengumpulkan harta benda dan menyimpannya dalam lemari dan kotak dan tidak menunaikan hak Allah serta hak fakir miskin. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ayat ini merupakan ancaman yang berat bagi orang yang kikir harta benda dan tamak (thama‘) dengan tujuan dikoleksi dan ditumpuk-tumpuk. Dia tidak menggunakannya untuk jalan kebaikan dan tidak mengeluarkan hak Allah serta hak fakir miskin. Al-Ḥasan Bashrī berkata: “Hai anak Ādam, kamu mendengar ancaman Allah, namun masih mengumpulkan harta benda. Maksudnya kamu mengumpulkannya dari halal dan haram tanpa peduli.”