Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir al-Mishbah (1/4)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Mishbah

Surah al-Ma‘ārij

Surah ini terdiri dari 44 ayat.
Surah ini dinamakan AL-MA‘ĀRIJ,
yang berarti “Tempat Naik”,
yang diambil dari ayat 3.

 

Surah al-Ma‘ārij

Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi s.a.w. berhijrah ke Madīnah. Ada yang mengecualikan ayat 24, tetapi pendapat ini tidak dinilai kuat. Dalam kitab-kitab sunnah, surah ini dinamai surah Sa’ala Sā’il(un), sedang dalam berbagai mushḥaf, namanya adalah surah al-Ma‘ārij. Ada juga riwayat yang menamainya surah al-Wāqi‘ (bukan al-Wāqi‘ah). Ketiga nama itu terambil dari kata-kata yang terdapat dalam ayat-ayatnya.

Tema utama surah ini adalah pembuktian tentang keniscayaan kiamat serta peringatan terhadap mereka yang mengingkarinya sambil menggambarkan kedahsyatannya. Demikian lebih kurang al-Biqā’ī, Thāhir Ibn ‘Āsyūr, dan Sayyid Quthub.

Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-78 dari segi perurutan turunnya surah. Ia turun sesudah surah al-Ḥāqqah dan sebelum surah an-Naba’. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan mayoritas ‘ulamā’ sebanyak 44 ayat.

 

KELOMPOK 1

AYAT 1-18.

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ. لِّلْكَافِريْنَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ. مِّنَ اللهِ ذِي الْمَعَارِجِ. تَعْرُجُ الْمَلآئِكَةُ وَ الرُّوْحُ إِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ. كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْ مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.

AYAT 1-7.

70: 1. Seseorang penanya telah bertanya tentang kedatangan siksa yang bakal terjadi.
70: 2. Untuk orang-orang kafir; yang tiada baginya seorang penghalang pun,
70: 3. Dari Allah, Pemilik tempat-tempat naik.
70: 4. Malaikat-malaikat dan Rūḥ naik kepada-Nya, dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
70: 5. Maka, bersabarlah kamu dengan kesabaran yang indah.
70: 6. Sesungguhnya mereka memandangnya jauh,
70: 7. sedangkan Kami memandangnya dekat.

 

Setelah surah al-Ḥāqqah menjelaskan demikian gamblang tentang peristiwa Hari Kiamat dan hikmah keniscayaannya. Tanpa kehadiran kiamat, ada sesuatu yang kurang dalam kehidupan ini. Demikian lebih kurang kesimpulan surah yang lalu. Karena itu, pada awal surah ini dikemukakan “keheranan” tentang adanya yang bertanya dengan tujuan mengejek tentang Hari Kiamat itu. Di sini, Allah berfirman: Seseorang penanya telah bertanya dengan nada mengejek tentang waktu kedatangan siksa yang bakal terjadi. Siksa yang pasti akan dijatuhkan Allah untuk orang-orang kafir yang mantap kekufurannya. Siksa, yang tiada bagi jatuh-nya seorang penghalang pun yang dapat mencegah dan menolaknya. Siksa yang datangnya Dari Allah, Pemilik tempat-tempat naik, yakni pemilik semua langit, yang merupakan sumber kekuatan dan keputusan serta tempat naiknya malaikat-malaikat atau amal shalih. Malaikat-malaikat dan Rūḥ, yakni malaikat Jibrīl atau jiwa sang mu’min, naik kepada-Nya, yakni ke tempat turunnya perintah Allah, atau arah ketinggian yang mampu dicapai makhluk masing-masing dengan maqam/kedudukan mereka di sisi Allah s.w.t.

Siksa itu akan dialami oleh orang kafir pada Hari Kiamat nanti dalam sehari yang kadarnya buat yang disiksa selama lima puluh ribu tahun dalam perhitungan hari-hari mereka, yakni terasa amat sangat panjang. Maka, bersabarlah, wahai Nabi Muhammad, menghadapi cemoohan dan permintaan orang-orang kafir dengan kesabaran yang indah tanpa keluh-kesah sambil menerima ketetapan Allah disertai dengan ketabahan dan upaya menanggulanginya semampu mungkin. Sesungguhnya mereka orang-orang kafir itu memandangnya, yakni siksaan itu, jauh, yakni mustahil. Sedangkan Kami memandangnya dekat, yakni pasti terjadi lagi sangat mudah bagi Kami.

Kata (سَأَلَ) sa’ala dapat berarti bertanya atau meminta atau berdoa agar disegerakan. Makna-makna itu dapat dicakup oleh ayat di atas. Memang, orang-orang kafir sering kali bertanya dengan nada mengejek kapan datangnya Kiamat (baca antara lain QS. Yāsīn [36]: 48). Mereka juga sering kali menyatakan: “Datangkanlah kepada kami apa yang engkau ancamkan” bahkan mereka meminta agar disegerakan datangnya (QS. al-‘Ankabūt [29]: 54). Di tempat lain, al-Qur’ān merekam doa mereka (QS. al-Anfāl [8]: 32).

Kata (وَاقِعٍ) wāqi‘/akan terjadi dan ayat-ayat sesudahnya seperti yang terhidang di atas mengandung makna yang sangat dalam dan luas karena dalam celah-celahnya terdapat jawaban terhadap pertanyaan atau tanggapan atas doa mereka, dan bahwa ia merupakan siksa buat mereka yang pasti keras karena datangnya dari Allah. Siksa yang tidak dapat dibendung dan karena itu janganlah mereka teperdaya oleh penundaan kehadirannya, dan jika mereka ingin selamat, hendaklah mereka menghindarinya dengan mempercayai keniscayaan datangnya siksa bagi yang durhaka serta berbekal menghadapi kedatangan Kiamat.

Kata (الْمَعَارِجِ) al-ma‘ārij terambil dari kata (عرج) ‘araja yang berarti naik. Ma‘ārij adalah bentuk jama‘ dari (معرج) mi‘raj, yakni alat yang digunakan naik. Pelaku kata (تعرج) ta‘ruj ada juga yang mengaitkannya dengan malaikat serta Rūḥ untuk menggambarkan betapa sulit dan jauh serta betapa agung Allah s.w.t. Thabāthabā’ī memahami al-ma‘ārij dalam arti maqām para malaikat.

Lima puluh ribu yang dimaksud di atas boleh jadi dalam arti waktu yang terasa sangat lama, dan boleh jadi juga ia mempunyai makna selain itu. Boleh jadi kadar hari itu sama dengan lima puluh ribu tahun dari tahun-tahun yang dikenal di bumi ini. Menggambar hal tersebut dewasa ini sangatlah mudah karena hari bumi kita adalah diukur dengan peredaran bumi mengitari dirinya dalam dua puluh empat jam, sedang ada bintang-bintang yang mengitari dirinya dengan memakan waktu yang sebanding dengan ribuan kali hari yang kita kenal itu. Namun demikian, itu bukan berarti bahwa makna tersebutlah yang dimaksud ayat ini. Uraian ini hanya sekadar ingin mendekatkan kepada pemahaman kita tentang perbedaan ukuran waktu antara sehari dan sehari (bagi dua hal yang berbeda). Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.

 

AYAT 8-14.

70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.
70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu,
70: 10. dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya.
70: 11. Mereka saling melihat. Pendurhaka ingin kalau sekiranya dia dapat menebus siksa hari itu – (menebus dirinya) – dengan anak-anaknya,
70: 12. dan istrinya serta saudaranya,
70: 13. dan kerabatnya yang senantiasa melindunginya,
70: 14. dan siapa pun yang berada di bumi seluruhnya, kemudian dapat menyelamatkannya.

 

Siksa yang akan dialami oleh orang-orang kafir dan yang mereka cemoohkan itu – sebagaimana diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu – akan terjadi pada hari ketika langit yang sehari-hari terlihat demikian kukuh menjadi seperti luluhan perak atau kotoran minyak. Dan gunung-gunung yang demikian berat dan kuat menancapkan bumi sehingga tidak oleng menjadi seperti bulu atau kapas yang beterbangan karena ringannya setelah ia hancur berkeping-keping kecil, dan ketika itu tidak ada seorang teman akrab pun – apalagi yang tidak akrab – menanyakan ihwal temannya karena mencekamnya situasi dan prihatinnya setiap orang menghadapi nasibnya. Jangan duga bahwa mereka tidak menanyakan karena mereka tidak saling melihat. Bukan! Mereka saling melihat, tetapi semua sadar bahwa ketika itu tidak berguna lagi bantuan teman dan kerabat. Pendurhaka yang mantap kedurhakaannya – baik dia muslim maupun bukan – ingin kalau sekiranya dia dapat menebus dirinya dari siksa yang terjadi hari itu – menebus dirinya – dengan menyerahkan semua anak-anaknya dan istri yang selalu menemani-nya serta saudaranya yang merupakan darah dagingnya, dan bahkan termasuk juga kerabatnya, seperti ibu bapak, yang dalam kehidupan dunia senantiasa melindunginya, dan juga siapa pun yang berada di bumi seluruhnya – baik dia kenal maupun tidak. Itu semua – kalau bisa dia jadikan tebusan, kemudian dia mengharapkan kiranya tebusan itu dapat menyelamatkannya.

Kata (الْعِهْنِ) al-‘ihn ada yang mengartikannya bulu atau kapas secara mutlak dan ada juga yang membatasinya hanya pada (kapas atau bulu) yang warnanya merah atau berwarna-warni. (Rujuklah ke QS. Fāthir [35]: 27). (331)

Ayat-ayat di atas menyebut terlebih dahulu yang paling dicintai yaitu anak, kemudian peringkat sesudahnya yang dicintainya lebih sedikit dari yang sebelumnya sampai akhirnya sesuatu yang tidak dicintai bahkan tidak dikenal sekalipun, yakni semua penghuni bumi. Perurutan ini berbeda dengan perurutan yang disebut pada QS. ‘Abasa [80]: 34-36. Di sana, yang disebut terakhir adalah anak-anak, yakni yang paling dicintai. Hal ini, menurut al-Biqā’ī, karena konteks ayat-ayat di atas adalah pembayaran tebusan, sedangkan konteks ayat-ayat surah ‘Abasa adalah lari meninggalkan, dan tentu saja yang paling pertama ditinggalkan ketika berlari adalah siapa yang paling dekat kepada yang berlari – baik yang dekat itu manusia maupun benda – dan karena yang terdekat serta selalu bersama seseorang adalah anak dan istrinya, merekalah yang pertama dan kedua disebut oleh ayat-ayat itu.

Catatan:

  1. 33). Rujuk volume 11, halaman 58.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *