Surah Tabbat terdiri dari 5 ayat.
Kata TABBAT, yang berarti “Binasalah”
diambil dari ayat pertama.
Surah ini disepakati turun di Makkah sebelum Nabi berhijrah ke Madīnah. Terdapat beberapa nama untuk kumpulan ayat-ayat yang berbicara tentang Abū Lahab ini. Dalam banyak Mushḥaf namanya adalah surah Tabbat sesuai dengan kata pertama ayatnya. Dalam beberapa Mushḥaf ia dinamai surah al-Masad (sabut penjerat). Sementara mufassir menamainya surah Abū Lahab.
Tema utama bahkan satu-satunya tema yang dibicarakannya adalah tentang kebinasaan yang akan dialami oleh salah seorang tokoh utama kaum musyrikin, yaitu Abū Lahab. Uraian menyangkut kebinasaan istrinya adalah bagian dari siksa yang akan dialami oleh Abū Lahab itu.
Al-Biqā‘ī menegaskan bahwa tujuan utama surah ini adalah memastikan kerugian sang kafir walaupun dia adalah orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya kepada manusia yang paling beruntung (Nabi Muḥammad s.a.w.). Ini menunjukkan bahwa Allah yang menetapkan ajaran agama menyandang keagungan yang tidak dapat dilukiskan. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki karena tidak ada yang serupa dengan-Nya. Itu untuk mendorong manusia meyakini ajaran Tauḥīd dan karena itu – masih menurut al-Biqā‘ī – surah ini ditempatkan antara surah al-Ikhlāsh yang berbicara tentang keesaan Allah dan surah an-Nashr yang menguraikan jaminan tentang pertolongan dan kemenangan serta banyaknya pendukung-pendukung ajaran itu. Namanya – Tabbat – menunjuk hal tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqā‘ī.
Suatu ketika, Rasūlullāh s.a.w. mendaki bukit Shafā di Makkah untuk berseru mengisyaratkan akan adanya bahaya yang mengancam. Maka, berkumpullah sejumlah penduduk Makkah termasuk Abū Lahab. Nabi s.a.w. antara lain berkata: “Seandainya aku menyampaikan kepada kamu bahwa akan ada musuh yang menyerang di pagi atau sore hari, apakah kamu akan mempercayaiku?” Mereka menjawab bahwa: “Kami tidak pernah mengetahui kamu berbohong.” Nabi s.a.w. kemudian menjelaskan kepada mereka tentang ancaman hari Akhir yang akan mereka hadapi jika mereka mengabaikan tuntunan Allah. Mendengar itu Abū Lahab berseru: “Binasalah engkau sepanjang hari! Apakah untuk itu engkau mengmpulkan kami?” Maka, turunlah surah ini. Peristiwa di atas diperkirakan terjadi pada tahun IV setelah kenabian. Ada juga yang meriwayatkan bahwa suatu ketika Abū Lahab datang kepada Nabi bertanya apa yang akan diperolehnya jika dia memeluk Islam? Nabi menjawab: “Seperti apa yang diperoleh kaum muslimin!” Abū Jahl (Abū Lahab?????) menjawab: “Celakalah agama ini bila aku dipersamakan dengan mereka.” Maka, turunlah ayat ini.
Surah ini merupakan surah yang ke-6 dari segi perurutan surah-surah al-Qur’ān. Ia turun sesudah surah al-Fātiḥah dan sebelum surah at-Takwīr. Ayat-ayatnya berjumlah 5 ayat.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
KELOMPOK 1
AYAT 1-5
تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ. سَيَصْلى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَ امْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ
“Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan dia telah binasa. Tidaklah berguna baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.”
Al-Biqā‘ī menghubungkan surah ini dengan kandungan surah yang lalu antara lain dengan menyatakan bahwa pada surah an-Nashr telah ditegaskan kepastian datangnya kemenangan dan berbondong-bondongnya masyarakat memeluk Islam. Abū Lahab dikenal sangat luas sebagai salah seorang yang paling menentang Nabi s.a.w. dan ajaran Islam. Dari sini, timbul pertanyaan tentang sikapnya apakah menerima kebenaran atau menolaknya. Nah, surah ini menjelaskan kesudahannya yang mengandung jawaban atas pertanyaan itu. Demikian maksud uraian al-Biqā‘ī.
Apa pun hubungannya dengan surah sebelumnya, yang jelas ayat-ayat di atas telah menjatuhkan vonis atas Abū Lahab dengan menyatakan: Binasalah kedua tangan, yakni seluruh totalitas, Abū Lahab dan sekali lagi dia telah binasa. Tidaklah berguna baginya harta bendanya yang banyak dan yang selalu dia simpan lagi enggan menyedekahkannya dan apa yang ia usahakan selain harta benda, seperti anak, kerabat, teman-teman, kedudukan sosial, dan lain-lain.
Kata (تَبَّتْ) tabbat atau (تَبَّ) tabba terdiri dari dua huruf yaitu (ت) tā’ dan (ب) bā’. Menurut al-Biqā‘ī, penggabungan kedua huruf itu, apa pun di antara keduanya yang didahulukan, maka ia mengandung makna keputusan atau kepastian yang pada umumnya berakhir dengan kebinasaan. Siapa yang memutuskan diri untuk hanya menoleh kepada sebab dan tidak kepada penyebab (Allah) maka ia telah binasa. Sementara ulama memahami kata tabbat bagaikan mengandung makna permohonan dari pembaca kepada Tuhan dan tabba adalah pengabulan Allah atas permohonan itu. Permohonan yang diajarkan ini setimpal dengan apa yang dilakukan dan diucapkan oleh Abū Jahal terhadap Nabi s.a.w. Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa Abū Jahal ketika itu mengambil batu lalu melempar ke arah Nabi s.a.w. sambil mengucapkan makian dan harapannya itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata tabba mengukuhkan makna tabbat, apalagi boleh jadi timbul kesan dari kata (يَدَا) yadā/kedua tangan bahwa kebinasaan tersebut terbatas sekaligus mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan di sini bukan arti hakikinya, tetapi makna majāzī yakni totalitas yang bersangkutan. Penggunaan kata tangan untuk makna majāzī ini karena biasanya aktivitas manusia terlaksana dengan baik melalui kedua tangannya.
Abū Lahab adalah gelar dari ‘Abd-ul-‘Uzzā Ibn ‘Abd-il-Muththalib. Ia adalah paman Nabi s.a.w. Kata (لَهَب) lahab berarti kobaran api yang menyala dan telah tidak memiliki asap lagi. Menurut satu pendapat, ia digelari dengan Abū Lahab sejak masa Jahiliyyah karena kegagahan dan kecemerlangan wajahnya. Menurut Thāhir Ibn ‘Āsyur, al-Qur’ān menggunakan gelar tersebut dan tidak menyebut namanya secara tegas, yaitu ‘Abd-ul-‘Uzzā, karena kata ‘Uzzā adalah nama salah satu berhala yang disembah kaum musyrikin (lihat QS. an-Najm [53]: 19-20). Al-Qur’ān enggan menggunakan nama tersebut. Ulama Mesir kontemporer, Mutawallī asy-Sya‘rāwī, mengemukakan semacam kaidah, yaitu bila al-Qur’ān menunjuk seseorang dalam salah satu kisahnya dengan nama aslinya, itu mengisyaratkan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi, tetapi bila menyebut gelarnya – seperti Fir‘aun – itu mengisyaratkan bahwa kasus serupa dapat terulang kapan dan di mana saja. Ini berarti Abū Lahab-Abū Lahab baru yang menentang ajaran Islam dan melecehkan Nabi s.a.w. dapat saja muncul di tempat dan waktu yang lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa gelar tersebut mengisyaratkan bahwa dia akan terbakar di neraka Jahannam yang apinya berkobar-kobar. Kata Abū biasa juga digunakan dalam arti seseorang yang selalu menyertai sesuatu yang disebut sesudahnya. Dalam hal ini, Abū Lahab adalah bahwa lahab (kobaran api) selalu menyertainya. Abū Jahal adalah seorang yang kejahilan selalu menyertainya. Sahabat Nabi yang bernama ‘Abd-ur-Raḥmān Ibn Shakhr dinamai Abū Hurairah (kucing kecil) karena pernah ada kucing yang tidur di baju tangannya. Demikian seterusnya. Diriwayatkan bahwa Abū Lahab meninggal pada tahun ke-2 Hijrah setelah Perang Badr karena diserang penyakit lepra. Teman-temannya takut ditulari sehingga mereka enggan menguburnya, tetapi setelah tiga hari mereka terpaksa menggali kubur lalu mendorong jasadnya dengan kayu yang panjang ke dalam lubang itu dan melemparkan batu dan tanah hingga menimbunnya. Demikian dalam banyak literatur.
Ayat kedua di atas bermaksud menginformasikan bahwa Abū Lahab sama sekali tidak akan memiliki peluang untuk selamat. Harta benda yang diandalkannya tidak akan menyelamatkan atau mengurangi kebinasaannya, bahkan segala apa yang dapat diusahakannya pun tidak akan bermanfaat.
Penggunaan bentuk kata kerja masa lampau pada kata (أَغْنَى) aghnā – walaupun yang dimaksud di sini adalah tidak bergunanya harta dan usahanya di masa depan – untuk mengisyaratkan kepastian ketiadaan manfaat itu, seakan-akan ia telah terbukti dan terlaksana dalam kenyataan. Memang al-Qur’ān sering kali menggunakan kata dalam bentuk masa lampau padahal peristiwanya belum terjadi untuk tujuan memastikan.
Selanjutnya rujuklah ke QS. al-Lail [92]: 11 untuk memahami lebih banyak tentang makna dan kesan yang diperoleh dari ayat kedua di atas. (451).
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Dan istrinya, pembawa kayu bakar; di lehernya ada tali dari sabut.”
Setelah ayat-ayat yang lalu menegaskan kebinasaan Abū Lahab – yang terbukti dia alami dalam kehidupan dunia ini – ayat di atas melukiskan kebinasaannya di akhirat kelak. Allah berfirman: Kelak, di hari Kemudian, dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala yang tidak pernah padam.
Manusia biasanya sangat cinta kepada istrinya, bahkan bersedia berkorban untuknya, di sisi lain istri biasa menolong suaminya dalam kesulitan. Ayat di atas menggambarkan betapa tersiksa Abu Lahab karena bukan dia sendiri yang terbakar tetapi ia dan istrinya ikut juga terbakar dan ironisnya adalah bahwa sang istri itu sendiri yang menjadi pembawa kayu bakar guna mengobarkan api neraka yang membakar sang suami itu. Dan dia tampil dengan sangat hina karena ketika itu di lehernya ada tali dari sabut bukan kalung bermata berlian atau hiasan yang menggambarkan kemuliaan.
Istri Abū Lahab bernama Arwā, saudara perempuan dari Abū Sufyān Ibn Ḥarb. Dan, digelari juga dengan Ummu Jamīl. Di sini, yang bersangkutan tidak disebut namanya, tidak juga gelarnya, karena memang – hemat penulis – karena ayat-ayat di atas lebih banyak bermaksud menggambarkan siksa dan kebinasaan yang dialami oleh Abū Lahab.
Kalimat (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) ḥammālat-al-ḥathab ada juga yang memahaminya dalam arti pembawa isu dan fitnah, yang antara lain bertujuan melecehkan dan menghina Nabi Muḥammad s.a.w. serta memecah belah kaum muslimin. Fitnah dinamai ḥathab/kayu karena kayu adalah bahan bakar yang dapat menyulut api, sebagaimana fitnah menyulut api permusuhan. Ada juga yang memahami kalimat tersebut dalam pengertian hakiki, yakni istri Abū Lahab itu sering kali menaburkan duri-duri kayu di jalan-jalan yang dilalui Nabi Muḥammad s.a.w.
Kata (جِيْد) jīd berarti leher. Kata ini biasa digunakan khusus untuk menggambarkan keindahan leher wanita yang dihiasi dengan kalung.
Kata (الْمَسَد) al-masad adalah sejenis tali yang berasal dari satu pohon yang bernama al-Masad, tumbuh di Yaman dan dikenal sangat kuat. Ada juga yang memahaminya sebagai tali yang terbuat dari sabut.
Ayat di atas bermaksud menggambarkan betapa hina yang bersangkutan sehingga bagian tubuhnya yang menjadi tempat hiasan justru terjerat dengan tali yang terbuat dari sabut, tali yang amat kukuh – katakanlah yang biasa digunakan untuk mengikat perahu yang sedang berlabuh. Ayat ini dapat juga dipahami sebagai menggambarkan bahwa yang bersangkutan menjadi pemulung kayu yang meletakkan barang pulungan di punggung sambil menggantungkannya dengan tali yang melilit ke lehernya.
Istri Abū Lahab juga meninggal dalam kemusyrikan sehingga ayat di atas dapat dinilai sebagai salah satu ayat yang berbicara tentang ghaib yang telah terbukti dalam kenyataan.
Surah ini merupakan salah satu surah yang berbicara tentang ghaib serta merupakan salah satu bukti betapa luasnya pengetahuan Allah. Abū Lahab selalu ingin membuktikan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berbohong. Sebenarnya jika dia mau, bisa saja setelah turunnya surah ini, dia “berpura-pura” memeluk Islam dan ketika itu dia dapat “membuktikan” dalam bahasa kenyataan bahwa informasi wahyu yang diterima Nabi Muḥammad s.a.w. tidak benar. Namun demikian, itu tidak dilakukannya boleh jadi karena tidak terpikir olehnya dan karena kekufurannya sudah demikian mendarah daging sehingga benar-benar dia tidak beriman dan wajar masuk ke neraka sebagaimana diinformasikan surah ini.
Demikian surah ini menggambarkan kesudahan yang dialami oleh salah seorang yang memusuhi Nabi s.a.w., dan demikian pula yang akan dialami oleh setiap yang memusuhi beliau. Wa Allāhu A‘lam.