Surah al-Kautsar 108 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

سُوْرَةُ الْكَوْثَر

AL-KAUTSAR (Nikmat yang Banyak)

Surah ke 108: 3 ayat.

 

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” (Qs. al-Kautsar [108]: 1).

Kata (الْكَوْثَر) adalah bentuk timbangan (فَوْعَلَ) dari kata (الكثرة).

Lafazh (أَعْطَيْنَاكَ) juga dibaca (أَنْطَيْنَاكَ), dengan menukar huruf ‘ain menjadi huruf nūn, bukan huruf nūn yang ditukar menjadi huruf ‘ain, seperti menukar huruf alif dari huruf wāu atau huruf ‘ain dalam al-Ajwaf dan sejenisnya. Akan tetapi, masing-masing dari keduanya adalah asli dengan sendirinya dan merupakan qira’at tersendiri. Demikian kata Abū Ḥayyān.

Terdapat perbedaan pendapat tentang makna (الْكَوْثَر).

Ada yang berpendapat bahwa kata (الْكَوْثَر) adalah nama benda.

Ada yang berpendapat bahwa ia adalah kata sifat.

Orang yang berpendapat bahhwa (الْكَوْثَر) adalah nama benda, berkata: “Itu nama sebuah sungai di surga.”

Dalil yang menunjukkan bahwa (الْكَوْثَر) adalah kata sifat, berkata: “Maknanya adalah kebaikan yang banyak.”

Dalil yang menunjukkan bahwa (الْكَوْثَر) adalah nama benda adalah hadits-hadits shahih yang disebutkan oleh Ibnu Katsīr dan lain-lain.

Dalam Shaḥīḥ al-Bukhārī disebutkan riwayat dari Anas: “Manakala Rasūlullāh s.a.w. dimi‘rajkan ke langit, beliau bersabda:

أَتَيْتُ عَلَى نَهْرٍ حَافَتَاهُ قِبَابُ اللُّؤْلُؤِ مُجَوَّفٌ، فَقُلْتُ: مَا هذَا يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: هذَا الْكَوْثَرُ.

Aku mendatangi sebuah sungai yang kedua tepinya terbuat dari kubah-kubah berongga dari permata. Aku lalu berkata: “Apa ini, wahai Jibrīl?” Ia menjawab: “Inilah al-Kautsar”.” (1621).

Dengan sanad dari Anas juga, dari ‘Ā’isyah r.a.: Aku bertanya (kepada ‘Ā’isyah) tentang firman Allah: (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ) “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.” Ia lalu menjawab: “Itu adalah sebuah sungai yang diberikan kepada nabimu. Di kedua tepiannya terdapat permata-permata berongga dan mangkuk-mangkuknya sebanyak bintang.”

Dengan sanad dari Anas juga, dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa ia berkata tentang (الْكَوْثَر): Maksudnya adalah kebaikan yang diberikan Allah kepadanya.

Abū Bisyr berkata: Aku berkata kepada Sa‘īd bin Jubair: “Orang-orang menyangka itu adalah sebuah sungai di dalam surga.” Sa‘īd lalu berkata: “Sungai yang terdapat di dalam surga termasuk kebaikan yang diberikan Allah kepada beliau (Nabi s.a.w.).”

Ibnu Katsīr menyebutkan hadits-hadits ini dan hadits-hadits lainnya dari Aḥmad r.h. Di antaranya dengan sanad Aḥmad kepada Anas bin Mālik: Rasūlullāh s.a.w. pernah mengantuk sejenak, lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Entah beliau yang berkata kepada mereka, atau mereka yang berkata kepada beliau: “Kenapa kau tersenyum?” Rasūlullāh s.a.w. lalu berkata:

إِنَّهُ نَزَلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُوْرَةٌ، فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرِّحِيْمِ، إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، حَتَّى خَتَمَهَا، فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَا الْكَوْثَرُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: نَهْرٌ أَعْطَانِيْهِ رَبِّيْ عَزَّ وَ جَلَّ فِي الْجَنَّةِ، عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ، تَرِدُ عَلَيْهِ أَمَّتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، آنِيَتُهُ عَدَد الْكَوَاكِبِ يُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ، فَأَقُوْلُ: يَا رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِيْ، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِيْ مَا أَحْدَثُوْا بَعْدَكَ.

“Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surah.” Beliau kemudian membaca: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ.) sampai akhir. Setelah itu beliau berkata: “Tahukah kamu apa itu al-Kautsar?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasūl-Nya yang lebih tahu.” Beliau lalu berkata: “Sebuah sungai yang diberikan Tuhanku ‘azza wa jalla kepadaku di surga, padanya terdapat banyak kebaikan, umatku akan mendatanginya pada Hari Kiamat kelak. Bejananya sebanyak bintang. Lalu ada yang diseret di antara mereka, maka aku berkata: “Ya Rabb, dia termasuk umatku”. Kemudian dikatakan: “Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” (1632).

Ibnu Katsīr menyebutkan hadits-hadits yang menjelaskan sifat telaga, dan nash-nash ini menunjukkan bahwa (الْكَوْثَر) adalah sebuah sungai di surga, yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya.

Dalam hadits terakhir dari Imām Aḥmad, kalimat “di atasnya terdapat banyak kebaikan” menyiratkan adanya makna sifat.

Oleh karena itu, sebagian mufassir mengatakan bahwa (الْكَوْثَر) adalah kebaikan yang banyak.

Orang yang berpendapat demikian di antaranya Ibnu ‘Abbās, sebagaimana dalam hadits al-Bukhārī darinya.

Mereka berargumentasi atas makna tersebut dengan ucapan penyair al-Kumait:

وَ أَنْتَ كَثِيْرٌ يَا ابْنَ مَرْوَانَ طَيِّبٌ وَ كَانَ أَبُوْكَ ابْنَ الْفَضَائِلِ.

Engkau adalah orang yang banyak kebaikannya wahai Ibnu Marwān dan ayahmu adalah anak dari orang-orang mulia.”

Pendapat yang menenangkan hati tentang makna (الْكَوْثَر) adalah kebaikan yang banyak, dan telaga atau sungai termasuk bagian dari itu.

Terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memberi kebaikan yang banyak kepada Rasūl-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah s.w.t.: (وَ لَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ.) “Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’ān yang agung.” (Qs. al-Ḥijr [15]: 87).

Sebelumnya dalam surah adh-Dhuḥā: (وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى) “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Qs. adh-Dhuḥā [93]: 5), diiringi dengan pemberian nikmat-nikmat yang berharga berupa kelapangan dada, penghapusan beban, ketinggian nama, kemudahan setelah kesulitan.

Setelah itu, dalam surah at-Tīn, Allah menjadikan negerinya negeri yang aman dan memberikan kepada orang-orang mu’min yang beramal shalih pahala yang tiada putus-putusnya.

Sesudah itu, pada surah al-Qalam, Allah menganugerahkan kepada al-Qur’ān dan mengajarinya apa yang belum diketahuinya.

Sesudah itu, pada surah al-Qadr, Allah memberinya satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Setelah itu, pada surah al-Bayyinah, Allah menjadikan umatnya sebaik-baik makhluk, memberi mereka keridhaan-Nya, serta membuat mereka ridha terhadap-Nya.

Sesudah itu, pada surah az-Zalzalah, Allah menjaga amal-amal mereka dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun kebaikan mereka.

Sesudah itu, pada surah az-Zalzalah, Allah menjaga amal-amal mereka dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun kebaikan mereka.

Sesudah itu, pada surah al-‘Ādiyāt, Allah mengagungkan amal jihad, maka Allah bersumpah dengan kuda-kuda perang fī sabīlillāh dan kemenangan atas musuh-musuh.

Setelah itu, dalam surah at-Takātsur, Allah mendidik mereka atas nikmat-nikmatNya supaya mereka menyukurinya sehingga Dia menambah karunia-Nya atas mereka.

Setelah itu, dalam surah al-‘Ashr, Allah menjadikan umatnya sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, beriman kepada Allah, beramal shalih, saling berpesan kebenaran dan mengajak kepadanya, serta saling berpesan kesabaran dan tabah menjalaninya.

Setelah itu, dalam surah Quraisy, Allah memuliakan kaumnya dengan memberi mereka rasa aman dalam perjalanan mereka.

Pada surah yang sebelumnya secara langsung, yaitu al-Mā‘ūn, mungkin dilakukan perbandingan yang sempurna.

Secara global, jika orang-orang munafik enggan memberi bantuan, maka Kami telah memberimu kebaikan yang banyak.

Secara terperinci, terdapat deskripsi sifat orang-orang munafik dan pendusta, berupa menghardik anak yatim.

Sementara itu, dalam surah adh-Dhuḥā, Allah menjelaskan kepadanya hak anak yatim: (فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَنْهَرْ) “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Qs. adh-Dhuḥā [93]: 9).

Oleh karena itu, beliau adalah sebaik-baik pengurus dan pengasuh.

Di sini sifat mereka digambarkan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Sementara dalam surah adh-Dhuḥā Allah menjelaskan kepadanya: (وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.) “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (Qs. adh-Dhuḥā [93]: 10). Jadi, beliau lebih mengutamakan peminta-minta atas dirinya.

Mereka lalai dari shalat dan riya’ dalam beramal.

Sedangkan dalam surah (فَصَلِّ لرَبِّكَ) “Maka dirikanlah shalat.” (Qs. al-Kautsar [108]: 2) terdapat perintah untuk mendirikan shalat dan ikhlash kepada Tuhannya, serta memberi makan orang miskin dengan hewan sembelihan hadyu, hewan Qurbān, dan sedekah. Semua itu merupakan kebaikan yang banyak, yang disandarkan pada semua yang terdapat dalam Sunnah, sebagaimana dalam hadits:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِيْ: نُصِرْتُ بِالرَّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَ أَعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ، وَ حَلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَ لَمْ تَكُنْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِيْ، وَ كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ لِقَوْمِهِ خَاصَةً فَبُعِثْتُ للنَّاسِ كَافَّةً، وَ جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ.

Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seseorang sebelumku (yaitu): Aku ditolong dengan rasa takut (yang dimasukkan ke dalam hati musuh) sejauh jarak satu bulan perjalanan, diberikan kepadaku syafaat, dihalalkan bagiku harta rampasan perang yang tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku, semua nabi diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia seluruhnya, dan dijadikan tanah bagiku sebagai tempat sujud (shalat) dan alat bersuci, sehingga dimanapun seseorang bertemu waktu shalat, hendaklah ia shalat.” (1643).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

رُفِعَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ، وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ.

Dimaafkan untukku atas umatku perbuatan tersalah, lupa, dan apa yang dipaksakan kepada mereka untuk melakukannya.” (1654).

Allah berfirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَ لَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَ لَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَ اغْفِرْ لَنَا وَ ارْحَمْنَا، أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggap kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Qs. al-Baqarah [2]: 286)

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ: قَدْ فَعَلْتُ

Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku telah melakukannya, Aku telah melakukannnya”.” (1665).

Allah berfirman: (وَ مِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا.) “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Qs. al-Isrā’ [17]: 79).

Maksudnya adalah maqam yang sangat diidam-idamkan orang-orang terdahulu dan belakangan.

Juga nash-nash lainnya yang menguatkan ucapan Ibnu ‘Abbās dalam riwayat al-Bukhārī, bahwa (الْكَوْثَر) adalah kebaikan yang banyak, dan sungai di surga tadi termasuk bagian dari kebaikan yang banyak, yang diberikan kepada beliau.

 

Firman Allah s.w.t.:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ.

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (Qs. al-Kautsar [108]: 2).

Pada ayat tersebut dan ayat sebelumnya terdapat kaitan antara nikmat-nikmat dengan mensyukurinya, dan antara ibadah-ibadah dengan akibat-akibatnya. Dia memberinya kebaikan yang banyak, maka hendaklah ia shalat karena Tuhannya dan berqurban untuknya, sebagaimana firman Allah: (فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ، الَّذِيْ أَطْعَمَهُمْ مِنْ جَوْعٍ وَ آمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.) “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka‘bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Qs. Quraisy [106]: 3-4).

Di sini dikatakan: (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ) artinya kebaikan yang lebih banyak dari dua perjalanan mereka dan rasa aman bagi mereka. (فَصَلِّ لِرَبِّكَ) sebagai bandingan (فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ.).

Ada yang berpendapat: “Manakala dalam surah sebelumnya terdapat penjelasan keadaan orang-orang munafik yang lalai dari shalat dan riya’ dalam beramal, maka di sini datang teladan yang baik (فَصَلِّ لِرَبِّكَ) “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu”, dengan ikhlas kepada-Nya dalam ibadahmu, sebagaimana dalam surah sebelumnya: (فَمَنْ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَ لَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا) “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 110). Juga firman Allah s.w.t. dalam mengajari umat, dalam pesan kepada Rasūlullāh s.a.w.: (لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ.) “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu”. (Qs. az-Zumar [39]: 65) padahal beliau s.a.w. ma‘shūm (terjaga) dari yang lebih kecil dari itu. Shalat itu umum, dan shalat fardhu lebih khususnya.”

Ada yang berpendapat: “Maksud shalat di sini adalah shalat ‘Īd.”

Adapun maksud “berqurban”, terdapat beberapa pendapat mengenainya.

Pertama, terkait sembelihan hadyu atau sembelihan qurban, dan ini terkait dengan pendapat orang yang memaknai shalat di sini sebagai shalat ‘Īd, dan penyembelihan itu dilaksanakan sesudah shalat, sebagaimana dalam hadits al-Barrā’ bin ‘Āzib ketika dia menyembelih sebelum shalat, kemudian dia mendengar Nabi s.a.w. menganjurkan menyembelih sesudah shalat. Lalu dia berkata: “Aku tahu hari ini adalah hari daging, maka aku percepat menyembelih Qurbanku.” Nabi s.a.w. lalu berkata kepadanya: “Kambingmu kambing daging?” Ia berkata: “Kami punya seekor anak kambing betina yang lebih kami sukai daripada kambing betina dewasa, apakah itu memadai dariku?” Beliau menjawab: “Sembelihlah dia, dan tidak akan mencukupi (tidak sah) dari seorang pun selainmu.” (1676).

Telah lewat pendapat Syaikh mengenai pembahasan Qurban secara lengkap pada firman Allah s.w.t.: (فَكُلُوْا مِنْهَا وَ أَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ.) “Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Qs. al-Ḥajj [22]: 28).

Mereka menyebutkan bahwa makna lafazh (وَ انْحَرْ) adalah, letakkan tangan kananmu di atas tangan kiri, di atas dadamu, pada waktu shalat. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Alī r.a.

Adapun pendapat-pendapat lain, tidak ada nashnya.

Lafazh (النحر) artinya menikam unta pada lehernya di tempat penyembelihan dalam keadaan bertekuk leher dengan dadanya.

Pendapat yang paling shaḥīḥ adalah terkait dengan shalat.

Pendapat tentang (النحر) adalah pendapat yang telah lalu dari keumuman shalat dan keumuman (النحر) atau (الذبح) karena disebutkan dalam firman Allah s.w.t.: (قُلْ إِنَّ صَلَاتِيْ وَ نُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.” (Qs. al-An‘ām [6]: 162).

Para fuqahā’ sepakat bahwa kata (النحر) digunakan untuk unta, (الذبح) untuk kambing, dan (النحر) serta (الذبح) untuk sapi. Mereka sepakat bahwa itulah yang paling afdhal.

Jika kata (النحر) dipakai secara umum pada semuanya, atau kata (الذبح) dipakai secara umum pada semuanya, tentu boleh, akan tetapi itu menyalahi Sunnah.

Mereka mengatakan bahwa hikmah pengkhususan unta dengan kata (النحر) adalah karena panjang lehernya. Sebab, bila unta disembelih (bukan ditikam) tentu aliran darah dari hati ke tempat sembelihan jauh, sehingga tidak membantu mengeluarkan seluruh darah dengan mudah. Lain halnya menikam di tempat penikaman, itu mendekatkan jarak dan membantu hati memompa darah seluruhnya. Adapun kambing, maka disembelih lebih cocok baginya.

 

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu adalah yang terputus.” (Qs. al-Kautsar [108]: 3).

Al-Bukhārī berkata: Dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa lafazh (شَانِئَكَ) berarti musuhmu.

Lafazh (الْأَبْتَرُ) artinya adalah yang terputus dan tidak ada kesudahannya.

Abū Ḥayyān melantunkan ucapan penyair:

لَئِيْمٌ بَدَتْ فِيْ أَنْفِهِ خَنْزُوَانَةٌ عَلَى قَطْعِ ذِي الْقُرْبَى أَجَذُّ أَبَاتِرُ.

Orang yang hina terlihat di hidungnya kesombongan, karena memutus kekerabatan, dia lebih putus terpotong-potong.”

Ia juga berkata: “(شَانِئَكَ) artinya orang yang membencimu.”

Dalam ayat tersebut Allah s.w.t. mengabarkan bahwa orang yang membenci Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang terputus.

Ada yang berpendapat: “Ayat ini turun pada al-‘Āshī bin Wā’il.”

Ia berkata kepada kaum Quraisy: “Biarkan dia (Rasūlullāh s.a.w.), karena dia akan terputus yang tiada kesudahannya. Jika dia mati, kalian akan tenang.” Lalu Allah s.w.t. menurunkan ayat ini sebagai pembelaan terhadap Rasūlullāh s.a.w.

Kemudian datang pembenarannya secara nyata dalam firman Allah tentang Perang Badar: (وَ يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَ يَقْطَعُ دَابِرَ الْكَافِرِيْنَ.) “Dan Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayatNya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. al-Anfāl [8]: 7).

Lalu terbunuhlah para tokoh besar Quraisy dan terbuktilah ancaman itu pada mereka.

Sama dengannya keumuman firman Allah: (فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Maka orang-orang yang zhalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segapa puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. al-An‘ām [6]: 45).

(تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ) “Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Qs. al-Lahab [111]: 1)

Ayat ini juga semakna dengannya. Dan penyebutan Rasūlullāh s.a.w. dari kalangan kerabat beliau dan pada umatnya secara keseluruhan, sebagaimana yang lalu pada firman Allah s.w.t.: (وَ رَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ.) “Dan Kami tinggikan bagimu (nama)mu.” (Qs. al-Insyirāḥ [94]: 4).

Catatan:

  1. 162). HR. al-Bukhārī dalam at-Tafsīr (no. 4963, 4965, dan 4966).
  2. 163). HR. Aḥmad dalam al-Musnad (3/102).
  3. 164). Takhrīj-nya telah dijelaskan terdahulu.
  4. 165). Ibid.
  5. 166). Ibid.
  6. 167). Diriwayatkan dari al-Barrā’ bin ‘Āzib: al-Bukhārī dalam pembahasan tentang Hari Raya (no. 983).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *