Kemudian Allah mendustakan pengakuan kaum Yahudi, bahwa mereka kekasih Allah. “Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi”; katakanlah hai Muḥammad kepada orang-orang yang memeluk dan berpegangan dengan agama Yahudi, “jika kamu menda‘wakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain”; jika kalian adalah wali dan kekasih Allah, sebagaimana kalian da‘wakan, “maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”; berdoalah kalian kepada Allah agar Dia mematikan kalian agar kalian dengan segera berpindah ke negeri kemuliaan yang disediakan Allah untuk para wali jika kalian benar dalam da‘waan itu. Abū Su‘ūd berkata: “Kaum Yahudi pernah berkata: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya.” (al-Mā’idah: 18) Mereka menda‘wa, bahwa negeri akhirat hanya untuk mereka di sisi Allah. Mereka juga berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi.” (al-Baqarah: 111) Karena itu, Allah memerintah Rasūl-Nya untuk berkata kepada mereka agar kebohongan mereka tampak, “Jika kalian mengatakan hal itu, maka harapkanlah kematian agar kalian berpindah dari negeri musibah ini ke negeri kemuliaan. Sebab, orang yang yakin kalau dirinya ahli surga, dia ingin segera masuk surga dan meninggalkan dunia yang keruh ini.” (5641).
Allah berfirman untuk mempermalukan mereka dan menjelaskan kebohongan mereka: “Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri”; mereka tidak akan mengharapkan mati karena kekafiran, kedurhakaan dan mendustakan Muḥammad yang telah mereka lakukan. Dalam hadits disebutkan: “Demi Dzāt yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya mereka mengharapkan kematian, maka tidak ada Yahudi di atas bumi, kecuali kematian.” (5652) Al-Alūsī berkata: “Tidak seorangpun dari mereka yang mengharapkan kematian, sebab mereka yakin bahwa Muḥammad benar. Karena itu mereka tahu, jika mereka mengharapkan mati, maka mereka mati seketika. Ini termasuk mu‘jizat. Dalam surat al-Baqarah fi‘il mudhāri‘ ini dinafikan dengan (لَنْ) dan ini termasuk tafannun (mengungkapkan hal secara kreatif). (5663) “Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zhālim”; Allah Maha Tahu mereka dan apa yang mereka lakukan, yaitu bermacam-macam kezhāliman dan maksiat. Di sini isim zhāhir (nama jelas) ditempatkan pada tempat isim dhamīr (kata ganti) untuk mendokumentasikan kezhāliman mereka.” (5674).
“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya”; katakanlah kepada mereka hai Muḥammad: “Kematian yang kalian lari darinya ini dan kalian takut untuk mengharapkannya, termasuk dengan lisan kalian: “maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu”; kematian pasti menimpa kalian dan tidak ada gunanya kalian lari darinya. Ini senada dengan firman Allah: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (an-Nisā’: 78). Sebab, kematian itu taqdīr yang pasti dan tidak ada gunanya menjauhi taqdīr. “kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata”; kemudian kalian kembali kepada Allah yang tidak ada hal yang samar bagi-Nya. “lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”; lalu Allah membalas kalian sesuai perbuatan kalian. Di samping janji, ayat juga mengandung ancaman.
Kemudian Allah menjelaskan hukum-hukum shalat Jum‘at dan berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum‘at”; hai kaum Muslimīn yang percaya kepada Allah dan Rasūlullāh, jika kalian mendengar mu’adzdzin mengumandangkan adzan salat Jum‘at. “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli”; maka segeralah mendengarkan khuthbah Jum‘at dan menunaikan shalat dan tinggalkan jual dan beli. Tinggalkanlah perdagangan yang merugi dan berjalanlah menuju perdagangan yang menguntungkan. Dalam at-Tashīl disebutkan, ma‘nanya, berjalanlah kalian, bukan berlari.” (5685) Sebab Nabi s.a.w. bersabda: “Jika shalat diiqamati, maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari dan datangilah ia dengan berjalan. Dan hendaknya kalian tenang.” (5696) Ḥasan berkata: “Demi Allah, yang dimaksudkan bukan berlari dengan telapak kaki. Mereka dilarang untuk mendatangi shalat, kecuali dengan tenang dan berwibawa. Namun yang dimaksudkan adalah berlari dengan hati, niat dan khusyū‘ (5707) “Yang demikian itu lebih baik bagimu”; berjalan menuju ridhā Allah dan meninggalkan jual-beli adalah lebih baik bagi kalian dan lebih bermanfaat daripada perdagangan dunia. Sebab, kemanfaatan akhirat lebih besar dan lebih agung. “jika kamu mengetahui”; jika kalian termasuk pemilik ‘ilmu yang lurus dan pengertian yang benar.
“Apabila telah ditunaikan sembahyang”; jika kalian menunaikan shalat dan selesai mengerjakannya, “maka bertebaranlah kamu di muka bumi”; maka menyebarlah kalian di bumi untuk berdagang dan melakukan kemaslahatan kalian. “dan carilah karunia Allah”; carilah ni‘mat dan anugrah Allah, sebab rezeki di tangan-Nya, Dia-lah yang memberi, Dia tidak nyia-nyiakan perbuatan seseorang dan tidak merugikan permintaan pendoa. “dan ingatlah Allah banyak-banyak”; ingatlah Tuhan kalian banyak-banyak dengan lisan dan hati, bukan hanya ketika shalat. “supaya kamu beruntung”; agar kalian meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sa‘īd bin Jubair berkata: “Ingat Allah adalah dengan taat kepada-Nya. Barang siapa taat kepada Allah, maka dia ingat Allah dan barang siapa tidak taat Allah, maka tidak ingat Allah, meskipun banyak bertasbīḥ.” (5718).
Kemudian Allah menjelaskan bahwa sebagian dari manusia mendahulukan dunia yang fanā’ atas akhirat yang kekal dan memilih yang segera atas yang akhirat yang ditunda. Allah berfirman: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya”; ini kritikan bagi sebagian sahabat Nabi s.a.w. yang meninggalkan beliau berdiri khuthbah di hari Jum‘at. Jika mereka mendengar perdagangan yang menguntungkan atau transaksi yang sedang berlangsung atau sesuatu dari perhiasan dunia, maka mereka bubar dari kamu hai Muḥammad dan menuju hal-hal tersebut: “dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhuthbah)”; dan mereka meninggalkan Nabi ketika berdiri khuthbah di atas mimbar. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Suatu hari Nabi s.a.w. sedang berkhuthbah di atas mimbar pada hari Jum‘at. Lalu, tibalah sebuah kafilah dari Syām dengan membawa bahan makanan. Pemimpin kafilah itu adalah Diḥyah al-Kalabī dan saat itu penduduk Madīnah sedang menderita kelaparan dan harga barang mahal. Termasuk adat istiadat mereka adalah kafilah datang diiringi dengan rebana dan teriakan karena merasa gembira. Ketika kafilah tiba dengan cara demikian, maka orang-orang yang di masjid bubar menuju kafilah dan mereka meninggalkan Nabi s.a.w. yang sedang berdiri di atas mimbar. Tidak ada yang tersisa, kecuali dua belas orang lelaki. Jābir bin ‘Abdillāh berkata: “Aku termasuk mereka. Maka turunlah ayat ini.” (5729) Ibnu Katsīr berkata: “Perlu diketahui, bahwa kisah tersebut terjadi saat Nabi s.a.w. mendahulukan shalat Jum‘at atas khuthbah, sebagaimana dalam shalat ‘īd. Sebagaimana diriwayatkan Abū Dāwūd. (57310) “Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan,””; katakanlah hai Muḥammad kepada mereka: Apa yang di sisi Allah yaitu pahala dan ni‘mat, lebih baik daripada permainan dan dagangan yang kalian peroleh. “dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki”; paling baik di antara yang memberi. Maka hendaknya kalian mencari rezeki dari Allah dan gunakan rezeki untuk meraih anugrah dan ni‘mat-Nya.
Dalam surat al-Jumu‘ah ini terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:
Pertama, tasybīh tamtsīlī (perumpamaan yang sisi persamaannya lebih dari satu segi):
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurāt kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.”
Sebab segi tasybīh diambil dari banyak hal. Dalam hal tidak memperoleh manfaat dari Taurāt mereka sama dengan keledai yang di punggungnya memikul banyak kitab dan ia hanya memperoleh letih dan lelah.
Kedua, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) salab:
فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ …… وَ لَا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا
“Maka harapkanlah kematianmu…… mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya.”
Ketiga, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) antara (الْغَيْبِ) “ghaib” dan (الشَّهَادَةِ) “yang tampak”.
Keempat, tafannun dengan mendahulukan yang paling penting dalam menyebutkan:
وَ إِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا
“dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan.”
Sebab maksud utama pembicaraan adalah perdagangan. Karena itu dagang didahulukan. Kemudian Allah berfirman:
قُلْ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَ مِنَ التِّجَارَةِ
“Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”.
Dalam ayat ini Allah mendahulukan permainan atas dagang, sebab kerugian dalam hal yang tidak ada manfaatnya lebih besar daripada sekadar perdagangan.
Kelima, majaz mursal.
وَ ذَرُوا الْبَيْعَ
“Dan tinggalkan jual-beli.”
Bai‘ adalah jual-beli namun yang dimaksudkan seluruh transaksi, baik jual-beli, sewa maupun lainnya.
Disebut hari Jum‘at (perkumpulan), sebab pada hari itu kaum Muslimīn berkumpul untuk shalat. Pada zaman Jahiliyyah disebut hari ‘Arūbah yang berarti hari rahmat seperti dikatakan as-Suhailī. Yang pertama menyebutnya hari Jum‘at adalah Ka‘b bin Luay. Orang yang pertama kali mengimami shalat Jum‘at adalah As‘ad bin Zurārah r.a. sebanyak dua raka‘at. Maka shalat Jum‘at ini adalah shalat Jum‘at pertama kali dalam Islam.” (57411).
‘Irāk bin Mālik jika selesai shalat Jum‘at pulang, lalu berdiri di pintu masjid dan berkata: “Ya Allah, aku menyukai seruan-Mu, aku melakukan shalat fardhu-Mu dan aku menyebar di bumi sebagaimana Engkau perintahkan, maka berilah aku rezeki dari karunia-Mu dan Engkau sebaik-baik pemberi rezeki.” (57512).
Firman Allah:
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”.
Mengandung sebuah rahasia di mana sebaiknya Muslim menghadiri shalat Jum‘at dengan semangat dan kesungguhan, sebab kata (فَاسْعَوْا) menunjukkan semangat dan kesungguhan. Itulah sebab Ḥasan Bashrī berkata: “Demi Allah, itu bukan berlari dengan telapak kaki, namun berlari dengan niat dan hati.”