بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Ya Allah, mudahkanlah!
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا.
072: 1. Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan.”
072: 2. (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.
072: 3. dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.
(Qs. al-Jinn [72]: 1-3).
Ta’wil firman Allah: (قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا.) (“Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya, sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān), lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.”).
Allah s.w.t. berkata kepada Nabi Muḥammad s.a.w.: Katakanlah wahai Muḥammad: “Telah diwahyukan kepadaku: (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya sekumpulan jinn telah mendengarkan”, al-Qur’ān ini (فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ) “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar.” Jinn berkata: “Al-Qur’ān menunjukkan kepada yang ḥaqq dan jalan kebenaran. (فَآمَنَّا بِهِ) “lalu kami beriman kepadanya.” Jinn berkata: “Lalu kami percaya kepadanya: (وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا) “Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami” dari makhluk-Nya.
Sebab sekelompok jinn mendengarkan al-Qur’ān adalah:
Dia berkata: “Telah dihalangi antara syaithan dan kabar langit, dan mereka dilempar dengan batu-batu meteor. Syaithan-syaithan itu lalu kembali kepada kaumnya dan berkata: “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab: “Telah dihalangi antara kami dengan kabar langit, dan kami dilempari dengan batu-batu meteor”. Mereka bertanya: “Tidak ada yang menghalangi antara kami dengan khabar langit kecuali sesuatu telah terjadi. Oleh karena itu, pergilah kalian mengarungi Timur dan Barat bumi, lalu lihat apa yang terjadi”.
Mereka pun pergi mengarungi Timur dan Barat bumi untuk mencari apa yang menghalangi antara mereka dengan kabar langit.
Sekelompok jinn yang menuju Tihāmah lalu berangkat menuju Rasūlullāh s.a.w., sedangkan beliau sedang menuju pasar ‘Ukkāzh, dan beliau shalat Shubuḥ dengan para sahabatnya. Ketika mereka mendengar al-Qur’ān, mereka mendengarkannya, lalu berkata: “Demi Allah, inilah yang menghalangi antara kalian dengan kabar langit.” Di sana ketika mereka kembali ke kaumnya, mereka berkata: “Wahai kaum kami: (إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا) “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.”
Allah kemudian menurunkan firman-Nya kepada Nabi s.a.w. (قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya, sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān).” Jadi yang diwahyukan kepada beliau adalah perkataan jinn.” (10541).
Dia berkata: “Mereka berjumlah sembilan orang, di antaranya Zauba‘ah.” (10552).
Firman-Nya: (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami” Pakar ta’wil berbeda pendapat tentang maknanya:
Sebagian berkata: “Maknanya adalah, maka kami beriman kepada-Nya dan sekali-kali tidak akan mempersekutukan Tuhan kami dengan siapa pun. Kami juga beriman bahwa Maha Tinggi urusan Tuhan kami dan kekuasaan-Nya.” Riwayat-riwayat yang mengjelaskan demikian adalah:
Pakar ta’wil yang lain berkata: “Keagungan Tuhan kami tidak memerlukan hal itu dan penyebutannya.” Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Pakar ta’wil yang lain berkata: “Maksud lafazh jadd adalah kakek yang merupakan bapaknya bapak.”
Mereka berkata: “Itulah kebodohan dari perkataan jinn.” Riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Pakar ta’wil yang lain berkata: “Maksudnya adalah penyebutan-Nya.” Riwayat yang menjelaskan demikian adalah:
Pendapat yang lebih utama untuk dibenarkan menurut kami adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa maksudnya adalah Maha Tinggi Keagungan Tuhan kami, dan kekuasaan-Nya.
Kami mengatakan bahwa pendapat tersebut lebih utama untuk dibenarkan, karena makna al-jaddu dalam perkataan orang ‘Arab memiliki dua makna:
Pertama: Al-jaddu yang merupakan bapaknya bapak (kakek), atau bapaknya ibu. Namun ini tidak diperbolehkan bila Allah disifati dengan sifat ini oleh sekelompok jinn itu. Hal itu karena mereka telah berkata (فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا) “Lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami.” Orang yang menyifati Allah memiliki al-jaddu (kakek) yang merupakan bapaknya bapak atau bapaknya ibu, termasuk dalam kategori orang musyrik.
Kedua, al-jaddu yang berarti al-ḥazhzhu (keberuntungan atau nasib baik). Dikatakan fulānun dzū jaddin fī hadz-al-amri “fulan memiliki keberuntungan dalam urusan ini”, jika dia bernasib baik dan beruntung dalam hal itu. Inilah yang dalam bahasa Persia disebut al-bukhtu. Makna inilah yang dimaksudkan oleh sekelompok jinn itu denggan mengatakan (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami”. In syā’ Allāh.
Mereka memaksudkan bahwa keberuntungan-Nya karena Allah memiliki kerajaan, kekuasaan, kekuatan, dan keagungan yang tinggi, maka Dia tidak memiliki istri dan anak, sebab istri untuk yang lemah, yang dirinya selalu dibangkitkan oleh gairah nafsu. Sedangkan anak merupakan bagian dari syahwat itu dan terjadi karenanya. Oleh karena itu, jinn berkata: “Maha Tinggi Kerajaan Tuhan kami, kekuatan, kekuasaan, dan keagungan-Nya, serta tidak lemah seperti makhluk-Nya yang selalu digoda hawa nafsu untuk memiliki istri atau melakukan sesuatu untuk memiliki anak.” (107219).
Kebenaran pendapat kami dalam hal itu telah dijelaskan oleh berita dari Allah tentang mereka, bahwa mereka berkata: (مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا) “Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak”. Mereka menyucikan nama Allah dari memiliki istri dan anak dengan perkataannya: (وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا) “Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak”.
Firman-Nya: (مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً) “Dia tidak beristri”, maksudnya adalah istri. (وَ لَا وَلَدًا) “dan tidak (pula) beranak.”
Ada perbedaan bacaan dalam membaca firman-Nya: (وَ أَنَّهُ تَعَالَى) “Dan bahwasanya Maha Tinggi.” (107320)
Abū Ja‘far membacanya dan enam huruf lainnya dengan fatḥah. Di antaranya (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “Bahwasanya sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān)”. (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.” (وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا) “Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan.” (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki dari manusia.” (وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ) “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah).” (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا) “Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus.”
Nāfi‘ membaca semuanya dengan kasrah kecuali pada tiga huruf: Pertama: (قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ) “Katakanlah (hai Muḥammad): Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jinn telah mendengarkan (al-Qur’ān).” Kedua: (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا) “Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus.” (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.”
Bacaan Kūfah (selain ‘Āshim) adalah dengan fatḥah semua yang terdapat pada akhir surah an-Najm dan awal surah al-Jinn, kecuali firman-Nya: (فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا) “lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān”. Serta firman-Nya: (قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku”.”
Juga setelahnya hingga akhir surah, dan bahwa mereka membacanya dengan kasrah selain firman-Nya: (لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ) “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya”
‘Āshim (107421) membaca semuanya dengan kasrah, kecuali firman-Nya: (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah,” dia membacanya dengan fatḥah.
Abū ‘Amru membaca semuanya dengan kasrah, kecuali firman-Nya: (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ) “Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam),” maka dia membaca ini dan setelahnya dengan fatḥah. Orang-orang yang membacanya dengan fatḥah semua kecuali dalam satu firman-Nya, seperti (إِنَّا سَمِعْنَا) “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’ān”. Serta firman-Nya: (قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku”.” Meng-‘athaf-kan (أَنْ) dalam tiap surah pada firman-Nya: (فَآمَنَّا بِهِ) “Lalu kami beriman kepadanya,” maka mereka membacanya dengan fatḥah, dengan keimanan yang terjadi pada mereka.
Al-Farrā’ berkata: “Bacaan dengan nashab menjadi kuat pada firman-Nya: (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ) “Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam).”
Oleh karena itu, orang yang membacanya dengan kasrah hendaknya membuang (أَنْ) dan (لو), karena (أَنْ) apabila di-takhfīf tidak menjadi hikayat. Tidakkah kamu lihat bahwa kamu mengatakan aqūl lau fa‘alta fa‘altu “saya katakan, kalau kamu lakukan, saya lakukan,” dan di sini tidak masuk (أَنْ).
Orang yang membacanya dengan kasrah semuanya, berkata dalam hal itu: (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا) “Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus,” seolah-olah mereka menyembunyikan sumpah dengan (لو) dan memutusnya dari kelayakan pada awal perkataan itu. Mereka berkata: (وَ اللهِ وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا). Orang ‘Arab memasukkan (أَنْ) di tempat ini dengan sumpah dan membuangnya.
Orang yang memasukkan (أَنْ) dan membaca semuanya dengan kasrah dan nashab, (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah,” dikhususkan dengan wahyu, dan menjadikan (وَ أَنْ لَّوِ) sumpah disembunyikan dalam hal itu sebagaimana disifatkan.
Adapun Nāfi‘, di-fatḥah-kan dari itu dikembalikan kepada firman-Nya: (أُوْحِيَ إِلَيَّ) “Telah diwahyukan kepadaku,” dan apa yang di-kasrah-kannya dijadikan dari perkataan jinn. Saya lebih suka membacanya dengan fatḥah karena itu adalah wahyu, dan kasrah pada perkataan jinn, sebab itulah yang paling fasih dalam perkataan orang ‘Arab dan lebih jelas maknanya. Bacaan-bacaaan lainnya, sekalipun memiliki dalil, namun tidak didukung kebenarannya.
Diriwayatkan oleh Muslim dengan sedikit perbedaan redaksi dalam ash-Shalāh (149): Syaibān menceritakan kepada kami, Ibnu Farrūkh, Abū ‘Awwānah menceritakan kepada kami dengan sanad yang sama.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dengan sedikit perbedaan redaksi dalam Sunan-nya dalam Tafsīr al-Qu’rān (3323): ‘Abd bin Ḥumaid menceritakan kepada kami, Abul-Walīd menceritakan kepadaku, Abū ‘Awwānah menceritakan kepada kami dengan sanad yang sama.
Diriwayatkan oleh Aḥmad dengan sedikit perbedaan redaksi dalam Musnad-nya (1/252): ‘Abdullāh menceritakan kepada kami, bapakku menceritakan kepadaku, ‘Affān menceritakan kepada kami, Abū ‘Awwānah menceritakan kepada kami dengan sanad yang sama.
Al-Baghawī dalam tafsirnya (4/174) dari Zirr bin Ḥubaisy.
Al-Ḥākim dalam al-Mustadrak (2/456) dari jalur Sufyān, dari ‘Āshim, dari Zirr, dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, dia berkata: “Isnād-nya shaḥīḥ, namun keduanya tidak meriwayatkannya. Telah disetujui oleh adz-Dzahabī.”
Ulama lainnya membacanya dengan kasrah.
Lihat Ma‘ālim-ut-Tanzīl (ha. 175) dan al-Wafī fī Syarḥ-isy-Syāthibiyyah (hal. 305).