(وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.” Kami telah memaparkan sebelumnya kesepakatan para ahli qirā’āt membaca dengan fatḥah di sini, karena ia di-‘athaf-kan kepada (أَنَّهُ اسْتَمَعَ) “bahwasanya: telah mendengarkan.” (Qs. al-Jinn [72]: 1) yakni telah diwahyukan kepadaku bahwa masjid-masjid itu adalah milik Allah. Al-Khalīl mengatakan: Di sini terdapat perkiraan (asumsi) kata yang dibuang (وَ لِأَنَّ الْمَسَاجِدَ).
(الْمَسَاجِدَ) “masjid-masjid” adalah tempat-tempat yang dijadikan untuk shalat di dalamnya. Sa‘d bin Jubair berkata: “Jinn-jinn berkata: “Bagaimana kami bisa datang ke masjid dan melaksanakan shalat denganmu sementara kami jauh darimu?” maka turunlah ayat ini. Al-Ḥasan mengatakan: “Yang dimaksud adalah semua belahan bumi, karena bumi seluruhnya tempat shalat.” Sa‘īd bin Musayyab dan Thalaq bin Ḥubaib berkata: Yang dimaksud “masjid-masjid” adalah seluruh anggota badan yang digunakan hamba untuk bersujud, yaitu kaki, lutut, tangan, dan dahi. Dikatakan, semua anggota badan ini Allah berikan kepadamu, maka janganlah kau gunakan untuk bersujud kepada selain-Nya, dengan demikian engkau mengingkari nikmat Allah. Demikian pula yang dikatakan oleh ‘Athā’. Pendapat lain mengatakan yang dimaksud “masjid-masjid” di sini adalah shalat, karena sujud termasuk rukun-rukunnya. Ini dinyatakan oleh al-Ḥasan.
(فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.) “Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” Apapun juga yang termasuk makhluk-Nya.
(وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ) “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri.” Kami telah menjelaskan terdahulu bahwa jumhur ulama membaca (أَن) di sini dengan fatḥah sebagai ‘athaf pada (أَنَّهُ اسْتَمَعَ), yakni dan telah diwahyukan kepadaku bahwa tatkala hamba Allah berdiri, yaitu Nabi s.a.w.
(يَدْعُوْهُ) “Menyembah-Nya (mengerjakan ibadat).” yakni memohon kepada Allah dan menyembah-Nya, dan itu pada saat beliau berada di bawah pohon kurma, sebagaimana diceritakan sebelumnya, tatkala Nabi s.a.w. berdiri melaksanakan shalat dan membaca al-Qur’ān. Kami juga telah menjelaskan sebelumnya cara baca orang yang membacanya dengan kasrah pada (إِنْ) di sini, dan di sini terdapat ketidak-jelasan dan jauh dari makna yang dimaksud.
(كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.) “hampir saja jinn-jinn itu desak mendesak mengerumuninya.” Yakni hampir saja jinn-jinn itu mendesak kepada Rasūlullāh s.a.w., yakni berjubel (penuh sesak (orang berkerumun dan sebagainya)) dan saling berdesakan mengerumuni beliau untuk mendengarkan al-Qur’ān dari beliau. Az-Zajjāj berkata: Makna (لِبَدًا) adalah saling tumpang-tindih antara sebagian dengan sebagian yang lain.
Jumhur ulama membaca (لِبَدًا) dengan kasrah pada huruf lām dan fatḥah pada bā’. Mujāhid, Ibnu Muḥaishin, dan Hisyām membaca dengan dhammah pada lām dan fatḥah pada bā’. Abū Ḥaiwah, Muḥammad bin as-Sumaifi‘, al-‘Uqailī, dan al-Jaḥdarī membaca dengan dhammah pada bā’. Sementara al-Ḥasan, Abul-‘Āliyah, dan al-A‘rāj dengan dhammah pada lām dan tasydīd pada huruf bā’ yang berharakat fatḥah.
Dengan qirā’āt (cara baca) yang pertama maknanya telah kami sebutkan di atas.
Dengan qirā’āt (cara baca) kedua maknanya (كَثِيْرًا) “banyak” sebagaimana dalam firman Allah: (أَهْلَكْتُ مَالًا لُبَدًا) “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (Qs. al-Balad [90]: 6) dan ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah hampir saja orang-orang musyrik saling tumpang tindih antara sebagian dengan sebagian yang lain karena merajuk kepada Nabi s.a.w. al-Ḥasan, Qatādah, dan Ibnu Zaid berkata: Tatkala hamba Allah, Muḥammad, menyampaikan dakwah, manusia dan jinn saling berkerumun menyaksikan perkara ini, dengan tujuan memadamkan semangat dakwah, maka Allah menolongnya dan menyempurnakan cahaya-Nya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarīr.
Mujāhid berkata: (لِبَدًا) “desak-mendesak mengerumuninya” yakni berkelompok-kelompok, diambil dari asal kata (تَلَبَّدَ الشَّيْءُ عَلَى الشَّيْءِ) “penurunan sesuatu atas sesuatu yang lainnya), yakni berkumpul. Juga diambil dari percakapan ‘Arab bahwa (اللبد) adalah sesuatu yang disikat karena banyak bulunya, dan segala sesuatu yang dilekatkan dengan kuat, maka disebut (اللبد). Bulu-bulu yang ada di punggung harimau disebut juga (لبدة), dan bentuk jama‘nya adalah (لبد), dan kumpulan belalang yang banyak disebut (لبد). Pemutlakkan kata (اللبد) dengan dhammah pada huruf lām dan fatḥah pada bā’ untuk penyebutan sesuatu yang tetap (terus-menerus). Di antara penggunaan makna ini, burung elang milik Luqmān disebut (لبد) karena lamanya keberadaannya.
(قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku.” Yakni hamba Allah (Muḥammad s.a.w.) mengatakan: “Sesungguhnya aku hanya memohon kepada Tuhanku dan menyembah-Nya.” (وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا.) “dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” dari makhluk-makhlukNya.
Jumhur ulama membaca (قَالَ), sementara ‘Āshim dan Ḥamzah membaca (قُلْ) dengan bentuk amr (kata perintah). Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya engkau datang dengan perkara yang besar, engkau telah melampau manusia seluruhnya, maka kembalilah dari semua itu, maka kami akan menolongmu.”
(قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا.) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan.” Yakni tidak dapat menolak bahaya dari kalian, dan tidak dapat membawa kebaikan kepada kalian. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud “kemudharatan” di sini adalah kekafiran dan “kemanfaatan” adalah petunjuk. Namun pendapat yang pertama lebih tepat karena adanya dua lafazh nakirah pada pola nafyi (peniadaan), maka keduanya mencakup semua kemudharatan dan petunjuk di dunia dan akhirat.
(قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (adzab) Allah” Yakni tidak ada yang dapat menolak adzab-Nya dariku jika Dia menurunkannya kepadaku.
(وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا.) “dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.” yakni tempat berlindung, tempat bersembunyi, dan tempat mengadu. Al-Kalbī berkata: Lubang di tanah, seperti mengeriapnya rayap. Ada yang mengatakan tempat lari, dan maknanya saling berdekatan.
Pengecualian yang terdapat di dalam firman Allah: (إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ) “Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah.” berasal dari perkataan (لَا أَمْلِكُ) “aku tidak kuasa”, yakni aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun dan kemanfaatan, kecuali hanya menyampaikan (peringatan) dari Allah, maka ini merupakan petunjuk yang terbesar. Atau pengecualian dari (مُلْتَحَدًا) “tempat berlindung”, yakni tidak memperoleh tempat berlindung, kecuali hanya menyampaikan.
Muqātil berkata: “Itulah yang dapat melindungiku dari adzab-Nya.” Qatādah berkata: Kecuali menyampaikan peringatan dari Allah, dan yang aku miliki itu tidak lain dengan taufīq (persetujuan) dari Allah, adapun kekuasaan terhadap kekafiran dan keimanan seseorang, maka aku tidak memilikinya. Al-Farrā’ mengatakan: “Akan tetapi aku hanya menyampaikan apa yang aku diutus dengannya.” Namun dengan demikian kalimatnya terputus.
Az-Zajjāj berkata: Lafazh itu berposisi manshūb karena sebagai badal (pengganti) dari firman-Nya: (مُلْتَحَدًا) “tempat berlindung”, yakni sekali-kali aku tidak dapat memperoleh tempat berlindung, kecuali aku hanya menyampaikan apa yang datang dari Allah.
Firman-Nya: (وَ رِسَالَاتِهِ) “dan risalah-Nya” di-‘athaf-kan kepada (بَلَاغًا) “Menyampaikan (peringatan)” yakni menyampaikan peringatan dari Allah dan risalah-Nya. Demikianlah yang dikatakan oleh Abū Ḥayyān dan ia menguatkannya.
(وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ) “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya,” Dalam perintah untuk bertauhid sesuai konteks padanya (فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ) “maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam.”
Jumhur ulama membaca (إِن) dengan kasrah karena ia merupakan kalimat pendahuluan, dan dibaca dengan harakat fatḥah pada hamzah karena kalimat setelah fā’-ul-jazā’ merupakan pendahuluan, dan asumsinya: (فجزاؤه أن له نار جهنم) “maka balasannya bahwa ia mendapatkan neraka Jahannam” atau, maka hukumannya mendapatkan neraka Jahannam.
Manshūb-nya (خَالِدِيْنَ فِيْهَا) “mereka kekal di dalamnya,” sebagai ḥāl. Yakni di dalam api neraka, atau di dalam Jahannam. Penggunaan bentuk jama‘ di sini mempertimbangkan makna (مَنْ) “siapa”, sebagaimana tauhid dalam perkataan (فَإِنَّ لَهُ) mempertimbangkan lafazhnya. (أَبَدًا) “selama-lamanya,” menjadi penguat untuk makna kekal, yakni kekal di dalamnya tanpa ada akhir.
(حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ) “Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka.” yakni dari adzab di dunia atau di akhirat. Maknanya, mereka masih dan terus-menerus dalam kekufuran dan permusuhan terhadap Nabi s.a.w. dan orang-orang yang beriman, sehingga apabila mereka melihat apa yang diancamkan kepada mereka.
(فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا) “maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.” Yakni, siapa yang bala-tentaranya yang akan dimintainya tolong, lebih lemah dan lebih sedikit jumlahnya, apakah mereka ataukah orang-orang yang beriman?
(قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) “Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat”.” Yakni, aku tidak tahu apakah sudah dekat sampainya siksaan yang diancamkan kepada kalian? (أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا.) “ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?” target dan jeda waktu. Inilah perkataan yang Allah perintahkan kepada beliau s.a.w. untuk mengatakannya kepada mereka tatkala mereka menanyakan: “Kapan datangnya adzab yang diancamkan kepada kami itu?” ‘Athā’ mengatakan: Yang dimaksud adalah bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya Hari Kiamat kecuali Allah semata. Artinya, pengetahuan tentang waktu adzab adalah pengetahuan ghaib yang tidak diketahui siapapun kecuali Allah.
Jumhur ulama membaca (رَبِّيْ) “Tuhanku” dengan sukūn pada huruf yā’, sementara al-Ḥaramiyani dan Abū ‘Amr dengan fatḥah. (مَنْ) “dan siapakah” pada kalimat (مَنْ أَضْعَفُ) adalah maushūlah, dan (أَضْعَفُ) sebagai khabar mubtada’ maḥdzūf (dihilangkan), yakni (هو أضعف) “dia lebih lemah”, dan susunan kalimat di sini sebagai shilah maushūl. Dan, boleh juga menjadi istifhāmiyyah (pertanyaan) yang marfū‘ lantaran sebagai mubtada’ (permulaan), dan (أَضْعَفُ) adalah khabarnya. Kalimat ini dalam kedudukan nashab menempati posisi dua maf‘ūl dari (أَدْرِيْ). Firman-Nya (أَقَرِيْبٌ) “apakah dekat” adalah khabar muqaddam (yang didahulukan) dan (مَّا تُوْعَدُوْنَ) adalah mubtada’ mu’akhkhar (yang diakhirkan).
(عَالِمُ الْغَيْبِ) “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib.” Jumhur ulama membaca dengan rafa‘ karena sebagai badal dari (رَبِّيْ) “Tuhanku” atau bayān (penjelasan) untuknya, atau khabar untuk mubtada’ yang dihilangkan. Kalimat ini sebagai permulaan yang menguatkan kalimat sebelumnya dari tidak adanya kesamaan. Juga dibaca dengan nashab sebagai pujian. As-Suddī membaca (عَلِمُ الْغَيْبِ) dengan bentuk fi‘il, dan (الْغَيْب) dengan harakat nashab.
Huruf fā’ di dalam firman-Nya: (فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.) “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.” Tidak memperlihatkan yang ghaib ini sebagai kelanjutan dari “kesendirian”-Nya mengetahui yang ghaib. Yakni Dia tidak memperlihatkan sesuatu yang ghaib yang Dia ketahui kepada siapapun dari hamba-Nya.
Kemudian Allah mengecualikan dan berfirman: (إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ) “Kecuali kepada Rasūl yang diridhai-Nya.” Yakni kecuali siapa yang dipilih-Nya dari para rasūl-Nya, atau yang diridhai-Nya di antara mereka untuk diperlihatkan sebagian hal ghaib yang diketahui-Nya, supaya hal itu menjadi bukti atas kenabiannya.
Al-Qurthubī berkata: Para ulama berkata: Ketika Allah memuji Diri-Nya dengan pengetahuan tentang yang ghaib yang tidak diketahui makhluk-Nya, itu merupakan dalil bahwa tidak ada satu pun yang mengetahui sesuatu yang ghaib selain-Nya, kemudian Allah mengecualikan dari para rasul yang diridhai-Nya, maka Allah memperlihatkan kepada mereka hal-hal yang ghaib sesuai kehendak-Nya melalui wahyu kepada mereka, dan menjadikannya sebagai mu‘jizat bagi mereka, serta bukti yang membenarkan atas kenabian mereka. Dan bukanlah para peramal dan yang sejenisnya, yang menghitung-hitung dengan kerikil, yang membaca garis telapak tangan, dan yang memerintahkan dengan seonggok tanah, termasuk salah satu rasūl yang diridhai-Nya, lalu Allah memperlihatkan hal-hal ghaib yang dikehendaki-Nya, melainkan yang demikian itu adalah kafir kepada Allah, mendustakan-Nya, dengan amalannya, tebakannya, dan kebohongannya.
Sa‘īd bin Jubair berkata: “Kecuali kepada Rasūl yang diridhai-Nya” yaitu Jibrīl, dan ini pendapat yang jauh dari mengena. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kecuali kepada Rasūl yang diridhai-Nya” maka Allah memperlihatkan sebagian hal-hal ghaib kepadanya, yaitu yang berkaitan dengan kenabian atau kerasulannya, seperti mu‘jizat, hukum-hukum taklīf, balasan amal perbuatan, dan penjelasan-penjelasan mengenai akhirat, bukan keghaiban-keghaiban yang tidak berkaitan dengan kenabian/kerasulannya, seperti waktu datangnya Hari Kiamat dan yang sejenisnya.
Al-Wāḥidī berkata: Ini menjadi dalil bahwa mereka yang mengklaim bahwa bintang-bintang menunjukkan akan terjadinya sesuatu adalah orang yang ingkar dengan apa yang ada di dalam al-Qur’ān.
Pemilik kitab al-Kasysyāf berkata: Dalam pengertian ayat ini mencakup pembatalan adanya karamah-karamah, karena mereka yang dikaitkan dengan karamah-karamah ini, sekalipun mereka para wali yang diridhai Allah, namun mereka bukan para rasūl, dan Allah hanya mengkhususkan pada para rasūl di antara hamba-Nya yang diridhai untuk diperlihatkan hal yang ghaib. Juga mementahkan adanya praktek perdukunan dan ramalan, karena orang yang berkecimpung di dalamnya sangat jauh dari keridhaan Allah.
Ar-Rāzī berkata: “Menurut saya, ayat ini tidak menunjukkan sama sekali kepada apa yang mereka katakan, karena tidak ada pola pengumuman (generalisasi) pada hal-hal ghaib-Nya, maka dipahami pada satu hal ghaib, yaitu waktu tibanya. Hari Kiamat, karena hal itu terletak setelah firman-Nya: (أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) “apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat.” Jika dikatakan: “Lantas apa makna pengecualian ini?” maka kami menjawab: “Barangkali apabila Kiamat sudah dekat Allah akan memperlihatkannya, bagaimana tidak? Dan Dia telah berfirman: (وَ يَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ وَ نُزِّلَ الْمَلَائِكَةُ تَنْزِيْلًا) “Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah-belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang.” (Qs. al-Furqān [25]: 25) maka saat itu para malaikat mengetahui kapan terjadinya Kiamat, atau itu adalah pengecualian terputus (istitsnā’ munqathi‘), yakni Rasūl yang diridhai-Nya, Allah menempatkan para malaikat penjaga untuk menjaganya dari sisi depan dan belakang, dari kejahatan jinn dan manusia, dan menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan tidak memperlihatkan sedikitpun dari hal-hal ghaib kepada siapapun, merupakan ketetapan, sebagaimana riwayat yang mendekati status mutawātir bahwa Syuqa dan Suthaiḥa adalah dua orang dukun, keduanya mengetahui hadits Nabi s.a.w. sebelum keduanya muncul, keduanya sangat terkenal dengan ilmu ini di kalangan ‘Arab, hingga seorang kaisar menyerahkan urusannya kepada keduanya. (1531).
Hal ini menetapkan bahwa Allah terkadang memperlihatkan beberapa perkara ghaib kepada selain rasūl, Para pemeluk agama menetapkan bahwa para pena‘bir mimpi dapat memberitahukan perkara-perkara yang akan datang jujur dan pemberitahuannya.
Juga, Sultan Sanjar bin Mālik Syāh memindahkan seorang dukun perempuan dari Baghdād ke Khurāsān. Sultan menanyakan kepadanya perkara-perkara yang akan datang dan ia memberitahukannya dan terjadi sesuai ucapannya.
Ar-Rāzī berkata: Beberapa orang yang ahli di bidang ilmu kalam dan ilmu hikmah menegaskan bahwa perempuan itu memberitahu perkara-perkara ghaib secara terperinci, kemudian semua itu terjadi sesuai pemberitahunya.
Adapun Abul-Barakāt berlebihan menulis di dalam kitab at-Ta‘bīr yang menjelaskan tentang keberadaannya, dan berkomentar: “Aku telah meneliti selama tiga puluh, dan aku memastikan bahwa ia memberitakan tentang hal-hal ghaib secara persis, juga kami menyaksikan hal itu pada orang-orang yang mendapat ilham yang benar. Terkadang hal itu terdapat juga pada tukang sihir, dan kami mendapati hukum-hukum perbintangan itu sesuai, sekalipun terkadang berbeda dengan kenyataan. Seandainya kami mengatakan bahwa al-Qur’ān menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan perkara-perkara yang jelas ini (rasūl), maka akan sangat banyak tuduhan-tuduhan terhadap al-Qur’ān. Dengan demikian pena’wilannya sesuai yang kami sebutkan. Selesai perkataannya.
Saya (penulis) katakan: Adapun pernyataannya (ar-Rāzī): “Bukan pola pengumuman (generalisasi) dalam perkara ghaib-Nya” adalah batil, karena penyandaran mashdar dan isim jenis termasuk pola-pola generalisasi, sebagaimana dijelaskan oleh para Imām ilmu ushūl dan selain mereka.
Adapun pernyataannya “Atau itu merupakan pengecualian terputus”, ini merupakan klaim yang tidak sejalan dengan system al-Qur’ān.
Adapun pernyataannya: “Bahwa Syuqa dan Suthaiḥa dst….” maka keduanya berada pada masa syaithan-syaithan mencuri dengar (berita langit), kemudian menyampaikan apa yang mereka dengar kepada para dukun, maka kebenaran bercampur aduk dengan kebohongan, sebagaimana yang ditetapkan dalam hadits shaḥīḥ dan dalam firman Allah: (إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ) “Akan tetapi barang siapa (di antara mereka) yang mencur-curi (pembicaraan).” (Qs. ash-Shāffāt [37]: 10) dan ayat-ayat lain yang sejenis.