Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbās) tentang firman Allah: (وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ) “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya”, ia berkomentar: “Di antara kami ada yang muslim dan musyrik.” Dan tentang firman-Nya: (كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا.) “Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” yakni keinginan-keinginan yang bermacam-macam.
Ibnu Mundzir dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan darinya juga tentang firman-Nya: (فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا.) “maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.” ia berkomentar: “Tidak takut adanya pengurangan pada kebaikan-kebaikannya dan penambahan pada keburukan-keburukannya.”
وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا. وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا. وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا. قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا. قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.
072: 14. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
072: 15. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.
072: 16. Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).
072: 17. Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat.
072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
072: 19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jinn-jinn itu desak mendesak mengerumuninya.
072: 20. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.”
072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan.”
072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.”
072: 23. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
072: 24. Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?”
072: 26. (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
072: 27. Kecuali kepada Rasūl yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
072: 28. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.
(Qs. al-Jinn [72]: 14-28)
Firman Allah: (وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ) “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat.” Mereka adalah yang beriman kepada Nabi s.a.w.: (وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ) “dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” Yakni orang-orang yang bermaksiat dan zhalim yang menyimpang dari jalan kebenaran dan cenderung kepada kebatilan. Dikatakan (قسط) apabila seseorang menyimpang, dan dikatakan (أَقْسَطُ) apabila ia berlaku adil.
(فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا.) “Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.” Yakni menghendaki jalan kebenaran. Al-Farrā’ berkata: “Beriman kepada petunjuk.”
(وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.) “Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahannam.” Yakni bahan bakar api neraka yang dinyalakan dengannya, sebagaimana orang-orang kafir dari kalangan manusia yang dijadikan bahan bakar untuknya.
(وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ) “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam)” Ini bukan perkataan jinn, melainkan di-‘athaf-kan (dirangkaikan) pada firman-Nya: (أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ) “bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jinn (akan al-Qur’ān)”. Dan maknanya: Dan diwahyukan kepadaku bahwa kalau saja jinn dan manusia, atau salah satu dari keduanya berada di jalan-Nya, yaitu jalan Islam. Kami telah menjelaskan sebelumnya bahwa para ahli qirā’āt bersepakat membaca dengan fatḥah pada (أَنْ) di sini. Al-‘Anbarī berkata: Penggunaan fatḥah di sini karena menyembunyikan sumpah. Penafsirannya: “Demi Allah! Kalau saja mereka berada di jalan kebenaran sebagaimana ia melakukannya.” Contoh penggunaan istilah ini dalam percakapan adalah: (وَ اللهِ أَقَمْتَ لَقُمْتُ) “Demi Allah! Kalau saja engkau membangunkan, maka aku berdiri.”
Abū ‘Alī mengatakan: Rangkaiannya sebagai berikut: (أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ) “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: telah mendengarkan….” (وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا) “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap.” atau pada (آمَنَّا بِهِ) “kami beriman kepadanya.” Yakni Kami mempercayainya dan kalau saja mereka tetap (beriman)….”
Jumhur ulama membaca dengan kasrah pada wāu pada (لَّوِ) karena bertemunya dua sukūn, sementara Wutsāb dan Al-A‘masy membaca dengan dhammah.
(لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا) “benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” Yakni (كَثِيْرًا وَاسِعًا) “banyak dan luas”. Muqātil berkata: “Air yang banyak dari langit, itu setelah hujan ditiadakan dari mereka selama tujuh tahun.” Ibnu Qutaibah berkata: “Maknanya, kalau mereka semua beriman maka Kami luaskan karunia Kami untuk mereka di dunia, dan dibuat perumpamaan dengan air sebagai contoh, karena rezeki dan kebaikan semuanya didapat dengan diturunkannya hujan. Ini seperti firman Allah: (وَ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوْا وَ اتَّقَوْا) “Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 65) dan firman-Nya: (وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ) “Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. ath-Thalāq [65]: 2-3) dan firman-Nya: (اِسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا، يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا، وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ.) “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (Qs. Nūḥ [71]: 10-12).
Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya: Kalau saja bapak mereka (Iblīs) tetap dalam ibadah kepada-Nya dan bersujud untuk Ādam, dan tidak kufur, kemudian diikuti oleh anak keturunannya tetap dalam Islam Kami, maka tentu Kami karuniakan nikmat kepada mereka. Pendapat ini juga dipilih oleh az-Zajjāj. (الماء الغدق) berarti air yang banyak, dalam bahasa ‘Arab.
(لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ) “untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” Yakni untuk menguji mereka sehingga Kami mengetahui rasa syukur mereka terhadap nikmat-nikmat itu. Al-Kalbī mengatakan bahwa maknanya: Jika mereka tetap berada di jalan yang mereka jalani, yaitu kekufuran, dan mereka semua kufur, maka Kami tetap meluaskan rezeki mereka untuk menipu daya mereka dan menunda (istidrāj) hingga mereka tertipu dengannya, dan Kami akan mengadzab mereka di dunia dan di akhirat dengan itu semua.
Ar-Rabī‘ bin Anas, Zaid bin Aslam dan anaknya, ‘Abd-ur-Raḥmān, ats-Tsamālī, Yamān bin Ziyān, Ibnu Kaisān, dan Abū Mijlaz mengatakan, berdalih dengan firman Allah: (فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ) “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka.” (Qs. al-An‘ām [6]: 44) dan firman-Nya: (وَ لَوْ لَا أَنْ يَكُوْنَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيوْتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فِضَّةٍ.) “Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan yang Maha Pemurah loteng-loteng dari perak.” (Qs. az-Zukhruf [43]: 33) dan yang pertama lebih tepat.
(وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.) “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” Yakni barang siapa berpaling dari al-Qur’ān, atau dari ibadah, atau dari nasihat, atau dari semua itu, (يَسْلُكْهُ) “dimasukkan-Nya” yakni dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang sangat berat.
Jumhur ulama membaca (نَسْلُكْهُ) dengan huruf nūn yang berharakat fatḥah, sementara orang-orang Kūfah dan Abū ‘Amr pada salah satu riwayatnya membaca dengan yā’. Qirā’ah (cara baca) ini juga dipilih oleh Abū ‘Ubaid dan Abū Ḥātim berdasarkan firman-Nya: (عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ) “dari peringatan Tuhannya,” dan tidak dikatakan (عَنْ ذِكْرِنَا) “dari peringatan Kami”.
Sedangkan Muslim bin Jundub, Thalḥah bin Musharrif, dan al-A‘rāj membaca dengan harakat dhammah pada nūn dan kasrah pada lām, dari asal kata (أَسْلَكَهُ), sementara cara baca jumhur dari asal kata (سَلَكَهُ).
(الصعد) dalam pengertian bahasa berarti (المشقة) “kesulitan”, engkau mengatakan: (تَصَعَّدَ بِي الْأَمْرُ) apabila permasalahan itu menjadi sulit bagimu. Ia merupakan mashdar dari (صَعدَ), dikatakan (صعد، صعدًا و صُعُوْدًا). Kemudian kata ini digunakan untuk deskripsi adzab karena hal itu lebih mengena dan dimaksudkan adanya hiperbola, karena orang yang diadzab itu akan merasakan kesulitan, yakni adzab itu akan naik di atasnya dan mendominasinya sehingga ia tidak lagi dapat menanggungnya.
Abū ‘Ubaid berkata: “Lafazh (الصعد) adalah bentuk mashdar, yakni adzab yang memiliki kesulitan.” ‘Ikrimah mengatakan: (الصعد) adalah batu licin yang ada di neraka, yang sangat sulit untuk dinaiki. Apabila telah berhasil dinaiki (untuk menyelamatkan diri) dan sampai ke puncaknya, maka ia akan terjatuh kembali ke neraka Jahannam. Sebagaimana di dalam firman Allah: (سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا) “Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.” (Qs. al-Muddatstsir [74]: 17) pendakian yang mengerikan dan melelahkan.