Jadi, apa yang menimbulkan perselisihan dalam hal ini, jika dalam ia – raḥimahullāh – mengatakan bahwa orang yang berniat bepergian untuk semata-mata ziarah kubur dan tidak meniatkan shalat di masjid, dan bepergian ke kota beliau dan tidak shalat di masjidnya, melainkan hanya mendatangi kuburan lalu pulang, kemudian ia dinyatakan sebagai pelaku bid‘ah …. dan seterusnya.
Perkataannya menunjukkan bahwa ziarah kubur dan shalat di masjid saling terkait, dan barang siapa mengklaim pemisahan antara keduanya dalam mengamalkannya berarti menyalahi kenyataan. Jika kaitan ditetapkan antara keduanya, maka perbedaan pendapat menjadi hilang dan hilanglah faktor pendorong perselisihan. Al-ḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn.
Di tempat lain pada h. 643, pembahasan tentang qashar shalat dalam perjalanan untuk menziarahi kuburan orang-orang shalih, ia menegaskan bahwa sahabat-sahabat Aḥmad mempunyai empat pendapat, yang tiga di antaranya terbatas pada kuburan Nabi s.a.w.
Dalam menguraikan pendapat tersebut, ia berkata: Jika semua orang Islam secara umum harus shalat di masjidnya, maka semua orang yang berziarah ke kuburannya yang dimuliakan, berarti ia telah bepergian ke masjidnya yang penuh keutamaan.
Juga pernyataan di atas disampaikan saat mengomentari pendapat sebagian kalangan Syāfi‘ī, hingga dikatakan: Demikian juga mayoritas ulama memutlakkan “bepergian” ini ke kuburan Nabi s.a.w., dan menurut mereka hal itu mencakup “bepergian: ke masjid beliau, karena setiap orang Islam jika mendatangi tempat itu maka semestinya ia shalat di sana, karena keduanya saling berkaitan menurut mereka.
Setelah mengutip pendapat para ulama, ia akhirnya berkata: “Masalah yang sebenarnya adalah, menunaikan shalat di masjidnya termasuk kewajiban bepergian ini, maka siapa saja yang bepergian ke kuburannya yang dimuliakan, pastilah mendapatkan ketaatan dan kedekatan yang diberikan pahala karena shalat di masjidnya. Adapun niat yang sama, maka ulama hadits meniatkan bepergian ke masjid, meski ia meniatkan bepergian ke kuburan juga jika ia tidak mengetahui larangan.”
Itulah tujuan penjelasan darinya, bahwa tidak ada pemisahan dari segi realitas antara ziarah dengan shalat di masjid menurut mayoritas ulama.
Ia lalu berkata tentang orang bodoh: “Orang yang tidak mengetahui ini kadang-kadang tidak meniatkan kecuali bepergian ke kuburan, padahal hendaknya ia shalat di masjidnya, karena ia diberikan pahala untuk itu dan tidak ada dosa baginya.” Pembahasan selesai.
Kami telah banyak mengutip darinya raḥimahullāh, tatkala kami mendapati banyak orang yang tidak sesuai dengan tema ini, hingga Ibnu Ḥajar berkata di dalam Fatḥ-ul-Bārī mengenai hal itu: “Ini adalah bantahan yang paling agung yang ditujukan kepada Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah. Kendati merupakan penguat dari Ibnu Ḥajar, namun menjadi bantahan yang paling keras yang dituduhkan kepadanya oleh musuh-musuhnya dalam masalah akidah dan memerangi bid‘ah, hanya saja – al-ḥamdulillāh – setelah pengutipan ini dari penjelasan perkataannya tidak ada yang perlu dibesar-besarkan lagi darinya, maka setiap orang yang berbicara dalam masalah ini hendaknya merujuk pada seluruh pendapatnya dan tidak meninggalkannya sedikitpun kecuali memberikan penjelasan padanya secara adil, pada orang yang mengerti dan orang yang tidak mengerti. Hanya kepada Allah kami memohon petunjuk.
Itu adalah masalah yang terkait dengan bepergian khusus ke Madīnah karena tujuan masjid dan kuburan secara bersamaan, sesuai rincian yang telah dipaparkan.
Adapun tempat-tempat lain selain tiga masjid, janganlah bepergian ke tempat-tempat tersebut untuk melakukan shalat, doa, i‘tikāf, atau lainnya, karena tidak memiliki keistimewaan sama sekali, di manapun itu dan apa pun bentuk ibadah itu. Hal ini berdasarkan hadits Abū Hurairah dalam al-Muwaththa’, bahwa saat hari Jum‘at ia berkata: Aku keluar ke bukit Thūr, lalu aku bertemu dengan Ka‘b-ul-Akhbār, maka aku duduk bersamanya, dan ia menceritakan kepadaku tentang Taurāt. Aku pun menceritakan kepadanya tentang Rasūlullāh s.a.w. Dalam yang aku bicarakan dengannya aku berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَ فِيْهِ أُهْبِطَ وَ فِيْهِ تِيْبَ عَلَيْهِ وَ فِيْهِ مَاتَ وَ فِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ، وَ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا وَ هِيَ مُسْيْخَةٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ حِيْنَ تُصِيْحُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ شَفَقًا مِنَ السَّاعَةِ إِلَّا الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ وَ فِيْهِ سَاعَةٌ لَا يُصَادِفُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَ هُوَ يُصَلِّيْ يَسْأَلُ اللهَ حَاجَةً إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ.
“Sebaik-baik hari saat matahari terbit adalah hari Jum‘at. Pada hari itu Ādam diciptakan, pada hari itu beliau (Ādam) diturunkan ke bumi, pada hari itu beliau diterima tobatnya, pada hari itu beliau meninggal dunia, dan pada hari itu Kiamat tiba. Tidak ada hewan melata kecuali pasti mendengar-dengar (khawatir) pada hari Jum‘at, dari saat subuh hingga matahari terbit karena khawatir akan datangnya hari Kiamat, kecuali jinn dan manusia. Dan pada hari itu (Jum‘at) terdapat saat yang tidak didapati oleh seorang hamba muslim yang shalat (Jum‘at) meminta kepada Allah suatu hajat, melainkan Allah akan memberikannya kepadanya.”
Ka‘b berkata: “Setiap tahun terdapat satu hari yang demikian.” Aku lalu berkata: “Melainkan, pada setiap hari Jum‘at.” Ka‘b lalu membaca Taurāt, kemudian berkata: :Rasūlullāh s.a.w. benar.”
Aku kemudian bertemu Bashrah bin Abī Bashrah al-Ghiffārī, ia berkata: “Dari mana kamu?” Aku menjawab: “Dari Thūr.” Ia berkata: “Andai aku menemukanmu sebelum kamu keluar menujunya, maka kamu tidak akan keluar menuju Thūr. Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ إِلَى مَسْجِدِيْ وَ إِلَى مَسْجِدِ إِيْلِيَائَ أَوْ بَيْتِ الْمُقْدِسِ.
“Tidaklah difungsikan kendaraan kecuali ke tiga masjid: Masjid-ul-Ḥarām, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid-ul-Iliyā’ atau Bait-ul-Maqdis”.
Abū Hurairah merasa ragu.
Aku (Abū Hurairah) lalu bertemu dengan ‘Abdullāh bin Salām, maka aku mengajaknya bicara di tempat dudukku dengan Ka‘b-ul-Akhbār, dan apa yang aku katakan kepadanya pada hari Jum‘at sampai akhir hadits yang agung ini. (2391).
Al-Bājī berkata: “Menurut hadits ini, keluarnya Abū Hurairah ke Thūr mengandung kemungkinan adanya keperluan yang mendorongnya pergi ke situ. Mengandung kemungkinan juga bahwa niatnya adalah dengan makna beribadah dan taqarrub dengan mendatanginya, hanya saja perkataan Bashrah, “Jika aku menemukanmu sebelum kamu keluar menujunya, maka kamu tidak akan keluar menuju Thūr”, merupakan dalil bahwa yang dipahami darinya adalah taqarrub dengan niatnya. Sedangkan diamnya Abū Hurairah ketika ia suatu dalil mengingkarinya bahwa yang dipahami adalah maksudnya, aku katakan: “Abū Hurairah menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk shalat sebagaimana dalam Majmū‘-uz-Zawā’id bagi Aḥmad dari Syahr, dan ia berkata: “Hadits ḥasan.” (2402).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang ber-nadzar untuk shalat di Masjid Bashrah atau Kūfah bahwa ia shalat di tempat tersebut, kemudian ia tidak mendatanginya karena hadits Bashrah yang menjadi nash dalam masalah tersebut. Hal ini karena nadzar berlaku pada sesuatu untuk taqarrub, dan tidak ada keutamaan untuk masjid-masjid di negeri tersebut yang menuntut niat memfungsikan kendaraan untuk menujunya kecuali tiga masjid yang memiliki keutamaan khusus.
Adapun orang yang ber-nadzar untuk melakukan shalat dan puasa di masjid pantai, diharuskan mendatanginya dan menunaikan nadzar-nya karena nadzar yang diniatkannya tidak mungkin bermakna shalat di dalamnya. Bahkan berbarengan dengan hati, maka wajib menunaikannya.
Tidak ada perbedaan pendapat tentang larangan selain tiga masjid, kecuali yang dikatakan oleh Muḥammad bin Maslamah dalam al-Mabsūth. Ia menambahkan kepadanya dengan masjid keempat, yakni Masjid Qubā’, “Barang siapa ber-nadzar untuk mendatanginya guna shalat di dalamnya, maka harus menunaikannya.” Pembahasan selesai.
Mungkin maksud Muḥammad bin Maslamah ketika menambahkan Masjid Qubā’ adalah mengamalkan apa yang ada tentang Masjid Qubā’, berupa atsar yang khusus dari Anas bin Mālik dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syaibah, ia berkata: Suwaid bin Sa‘īd menceritakan kepada kami, ia berkata: Ayyūb bin Shiyām menceritakan kepada kami dari Sa‘īd bin ar-Raqisy al-Asadī, ia berkata: Anas bin Mālik mendatangi kami di Masjid Qubā’, lalu ia melakukan shalat dua rakaat di sisi sebagian tiang-tiangnya, kemudian ia mengucapkan salam (selesai shalat), dan kami duduk di sekitarnya. Kemudian ia berkata: Maha Suci Allah, betapa agung hak masjid ini, sekalipun harus ditempuh dalam satu bulan perjalanan, maka ia pantas didatangi. Barang siapa keluar dari rumahnya dan sengaja hendak shalat di dalamnya empat rakaat, maka Allah akan memberinya pahala ‘umrah.
Telah dipaparkan pula dalam Wafā’-ul-Wafā’ yang kami kutip: Hukum ini telah maklum bagi orang banyak, hingga Ibnu Syaibah berkata: Abū Ghassān berkata: Di antara yang memperkuat khabar ini dan menunjukkan penunjukannya pada yang umum dan khusus adalah perkataan ‘Abd-ur-Raḥmān bin al-Ḥakam dalam syairnya:
فَإِنَّ أَهْلَكَ فَقَدْ أَقْرَرْتَ عَيْنًا | مِنَ الْمُعْتَمِرَاتِ إِلَى قُبَاء |
مِنَ اللَّاتِيْ سَوَالِفُهُنَّ غَيْدَ | عَلَيْهِنَّ الْمَلَاحَةُ بِالْبَهَاءِ. |
(Tidak ada terjemahannya).
Peringatan Pertama
Perkataan Anas bisa dirasakan sebagai kebolehan bepergian ke Qubā’ jika itu jauh, akan tetapi untuk makna-makna dalam tiga masjid yang lain, sehingga tidak bertentangan dengan hadits pertama.
Peringatan Kedua
Bait-bait syair merasakan kesalahan memadukan pada hari tertentu untuk Qubā’ dan berkumpulnya laki-laki dan perempuan.
Peringatan Ketiga
Ditemukan perbedaan dengan sifat keindahan umum antara ziarah ke kuburan umum untuk semua manusia dengan kekhususan tiga kuburan, karena tujuan ziarah kuburan umum adalah berdoa dan mengingat kematian, sebagaimana Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلَا فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تَذَكَّرُ الْآخِرَةَ.
“Aku dulu melarang kalian ziarah kubur, ingatlah! Sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan pada akhirat.” (2413).
Adapun tiga tempat yang agung ini, memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh yang lain:
Pertama, dari segi tema, keterkaitannya dengan masjid Nabi adalah, salah satu masjid yang berhak untuk didatangi.
Kedua, agungnya hak orang yang ada di dalamnya bagi kaum muslim, karena dengan menziarahinya bukan hanya sekadar mengingat akhirat, tetapi juga memberikan ingatan akan dunia dan agungnya jihad mereka dalam memuliakan kalimat Allah s.w.t., menolong agama-Nya, memberikan petunjuk kepada umat, dan menjalankan perintah Allah s.w.t., hingga ia menyembah Allah s.w.t. semata dan mengerjakan syariatnya, dalam hal yang memberikan pengaruh kepada kaum muslim dalam hal kewajiban memperbarui perjanjian dengan Allah s.w.t. semata untuk mengamalkan Kitāb-Nya dan Sunnah Rasūl-Nya, serta petunjuk khulafā’-ur-rāsyidīn.
Inilah yang menjadikan manusia menghadap kepada Allah s.w.t. setelah salam kepada mereka dengan doa yang ikhlas, agar membalas mereka atas semua itu apa yang Allah s.w.t. ketahui bahwa mereka berhak mendapatkannya.
Ketiga, agungnya keutamaan dari Allah s.w.t. bagi orang yang salam kepada Rasūlullāh s.a.w., maka Allah s.w.t. membalaskan kepada rohnya, sehingga beliau membalas salamnya. Semua itu atau sebagiannya tidak ditemukan pada kuburan umum. Ini dilakukan dengan tetap menjaga tatakrama yang disyariatkan dalam hal ziarah, sebagaimana telah kami paparkan.
Catatan: