Pembahasan Salam kepada Rasūlullāh s.a.w.
Syaikh telah menguraikan penjelasan satu sisi dari salam kepada Rasūlullāh s.a.w. pada pembahasan firman Allah: (أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَ أَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ.) “Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Qs. al-Ḥujurāt [49]: 2) dalam hal memperingatkan kepada perbuatan-perbuatan batil dan pembahasan tentang apa yang menjadi hak Allah s.w.t., maka janganlah berpaling kepada selain-Nya, dan apa yang merupakan hak bagi Rasūlullāh s.a.w., jangan dilewatkan.
Penekanan Melakukan Perjalanan ke Masjid Nabawi untuk Menyampaikan Salam kepada Rasūlullāh s.a.w.
Apa yang khusus bagi Masjid Nabawi, bahkan di antara kekhususannya yang terpenting setelah shalat adalah salam kepada Rasūlullāh s.a.w. dari dalam masjid, baik sudah lama maupun baru masuk.
Sebagaimana terdapat dalam kitab ash-Shaḥīḥ:
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ فَأَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ.
“Tidak seorang pun yang memberikan salam kepadaku kecuali pasti Allah akan mengembalikan rohku kepadaku sehingga aku membalas salam kepadanya.” (2371).
Mereka sepakat bahwa itu bisa dicapai bagi orang yang menyampaikan salam kepada Nabi s.a.w. dari dekat, dan tiadalah salam di suatu hari kecuali dari Masjid Nabawi s.a.w., baik sebelum maupun setelah memasuki ruang masjid.
Telah maklum bahwa tatakrama ziarah dan salam kepada Nabi s.a.w. dimulai dengan shalat dua rakaat tahiyat masjid, dan setelah salam berpaling dari menghadap dan berdoa sesuai yang ia kehendaki, dan ia berada di tempat manapun di masjid.
Di sini terdapat masalah sepanjang diajukan perdebatan di dalamnya, yakni penekanan bepergian untuk memberikan salam kepada Rasūlullāh s.a.w.
Yakni, sekalipun tema pembahasan di sini mengenai ziarah, hukum-hukumnya, dan tatakramanya, hanya saja kami menjelaskan secara ringkas dalam kaitannya dengan hadits penekanan perjalanan kepada Nabi s.a.w, dan kami memohon hidayah dan taufik kepada Allah s.w.t.
Telah maklum bahwa asal masalah ini adalah hadits: (لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ) “Janganlah kalian bersikeras bepergian kecuali menuju tiga masjid,” (2382) yang telah dipaparkan terdahulu karena perbedaan pendapat di antara mereka tentang asumsi masjid yang dikecualikan tersebut.
Maksud penekanan perjalanan kepada beliau di masjid tersebut, apakah itu khusus untuk shalat di dalamnya atau untuk shalat dan lainnya?
Seyogianya kita menjelaskan hakikat dalam permasalahan ini. Pembahasan ini berkaitan dengan tiga kondisi:
Pertama, penekanan perjalanan ke masjid Nabi untuk ziarah, dan ini disepakati.
Kedua, ziarah kepada Rasūlullāh s.a.w. dari dekat tanpa penekanan perjalanan, dan ini juga disepakati.
Ketiga, perjalanan untuk ziarah saja.
Tiga keadaan inilah tempat pembahasan menurut mereka dan faktor pendorong perdebatan.
Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥ-ul-Bārī tentang hadits syadd-ur-riḥāl: Al-Kirmānī berkata: “Masalah ini telah terjadi pada masa kita di negeri Syām, sehingga banyak seminar diadakan dan banyak disusun permasalahan-permasalahan dari kedua pihak.”
Aku (Ibnu Ḥajar) berkata: Menunjuk pada pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyyuddīn as-Subkī dan lainnya untuk membantah Syaikh Taqiyyuddīn bin Taimiyyah, juga pernyataan yang kuat yang dinyatakan oleh al-Ḥāfizh Syamsuddīn bin ‘Abd-il-Hādī dan lainnya dalam melemahkan pendapat Ibnu Taimiyyah, dan ini semua telah populer di negeri kami. Pembahasan selesai. Dan ini memberi kita informasi sejauh mana perbedaan pendapat dan sejarahnya.
Ibnu Ḥajar memberikan petunjuk secara global tentangnya dengan berkata: Sesungguhnya jumhur membolehkan secara ijma‘ perjalanan untuk berziarah kepada Nabi s.a.w., dan hadits: (لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ) “Janganlah kalian bersikeras bepergian” maksudnya adalah shalat khusus, dan tidak ada tempat yang lebih utama daripada tempat shalat dengan mengadakan perjalanan kecuali tiga masjid, karena secara khusus memiliki keutamaan kelipatan shalat di dalamnya.
Syaikh Taqiyyuddīn menjadikan tema larangan mengadakan perjalanan secara umum untuk masalah shalat dan lain-lain, dan ditunjukkan kepadanya dengan kesepakatan umat tentang kebolehan mengadakan perjalanan ke mana pun untuk berbagai macam keperluan, sebagaimana telah maklum.
Di antara dalil yang dijadikan pegangan tentang ketidakbolehan mengadakan perjalanan yang semata-mata untuk ziarah adalah yang diriwayatkan dari Mālik tentang kemakruhan: “Aku telah berziarah ke maqam Nabi s.a.w.” Lalu dijawab: “Kemakruhan Mālik adalah untuk masalah lafazh saja, sebagai bentuk tatakrama, bukan bahwa itu benar-benar kemakruhan ziarah, karena itu adalah perbuatan yang paling utama dan taqarrub yang paling agung, yang bisa menyampaikan kepada yang memiliki keagungan (Allah s.w.t.), dan pensyariatannya adalah berdasarkan ijma‘ tanpa ada perselisihan.” Pembahasan selesai.
Mungkin madzhab al-Bukhārī sesuai dengan keutamaannya adalah madzhab jumhur, karena ada pada bab yang sama setelah hadits tentang mengadakan perjalanan secara langsung dengan hadits: (صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ) “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid selainnya,” yang bisa dirasakan maksudnya yaitu penjelasan motif perjalanan yang adalah keutamaan shalat. Oleh karena itu, larangan untuk menekankan bepergian ke masjid-masjid tertentu, kecuali kepada tiga masjid itu karena pengkhususan dengan pelipat-gandaan shalat di dalamnya, yang tidak berlaku pada masjid-masjid lain dan tempat-tempat lainnya.
Ibnu Ḥajar mendebat lafazh hadits dan men-tarjīḥ madzhab ini ketika ia berkata: Sebagian muḥaqqiqīn menyatakan bahwa sabda beliau: (إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ) “kecuali menuju tiga masjid” yang dikecualikannya dihilangkan. Bisa jadi diasumsikan secara umum sehingga menjadi “janganlah kalian mengadakan perjalanan ke suatu tempat untuk masalah apa pun kecuali kepada tiga tempat”, atau yang lebih khusus daripada itu. Tidak ada jalan kepada yang pertama karena keutamaannya kepada larangan dalam masalah perjalanan untuk jual beli, silaturrahim, mencari ilmu, dan lain-lain, sehingga yang kedua menjadi pasti.
Hal yang pertama diasumsikan yang lebih banyak kaitan, yakni janganlah mengadakan perjalanan ke masjid untuk shalat di dalamnya kecuali kepada tiga masjid.
Dengan demikian, perkataan “berupa larangan ziarah kepada Nabi s.a.w. dan kuburan orang-orang shalih lainnya” menjadi batal.
As-Subkī al-Kabīr berkata: “Tidak ada di bumi sebidang tanah yang dzatnya lebih utama hingga diadakan perjalanan untuk mengunjunginya selain tiga negeri.”
Maksud “utama” adalah, apa yang diperkuat oleh syariat dengan pernyataannya dan menyebabkan hukum syar‘i. Adapun ke negeri-negeri lainnya, janganlah mengadakan perjalanan kepadanya karena dzatnya, akan tetapi karena ziarah, jihad, belajar, dan lain-lain, yang termasuk perkara sunnah atau mubah.
As-Subkī juga berkata: “Hal itu menjadi membingungkan bagi sebagian orang, karena mereka menduga bahwa penekanan perjalanan untuk ziarah bagi yang tinggal di tiga daerah itu tetap terlarang, ini adalah suatu kekeliruan, karena pengecualian ini berlaku pada jenis yang dikecualikan. Sehingga makna hadits di atas secara jelas adalah: “Janganlah kalian bersikeras bepergian ke suatu masjid atau suatu tempat, kecuali tiga tempat tersebut.” Dan penekanan perjalanan untuk ziarah atau pencarian sesuatu, bukan untuk tempat itu sendiri, melainkan untuk seseorang yang ada di sana. Wallāhu a‘lam.” Pembahasan selesai.
Dengan merenungkan perkataan Ibnu Ḥajar, kami mendapatinya melakukan ijrā’ mu‘ādalah (prosedur penyetaraan) terhadap nash hadits, bahwa ia memiliki dua keadaan saja.
Pertama, dikatakan “Janganlah mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid untuk khusus shalat, dan janganlah mengadakan perjalanan ke tempat-tempat lainnya karena shalat”, sehingga larangan diarahkan kepada perjalanan ke tempat mana pun selain masjid tiga karena untuk melakukan shalat kepada yang selainnya, maka selain shalat tetap berada di luar larangan, sehingga perjalanan dibolehkan ke tampat manapun.
Selain shalat mencakup menuntut ilmu, jual-beli, darmawisata, tadabbur alam, jihad, dan lain-lain. Nash-nash mengenai hal itu saling mendukung.
Dalam hal mencari ilmu, kami memaparkan nash-nash, bahwa Nabi Mūsā a.s. pergi menemui Khidhr a.s.: (وَ إِذْ قَالَ مُوْسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمَضِيَ حُقُبًا ) “Dan (ingatlah) ketika Mūsā berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.” Hingga (لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هذَا نَصَبًا) “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” Hingga (قَالَ لَهُ مُوْسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا.) “Mūsā berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”.” (Qs. al-Kahfi [18]: 60-66).
Dalam hal bepergian untuk mengadakan jual-beli adalah: (وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ.) “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Qs. al-Muzzammil [73]: 20).
(هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَ كُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ.) “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (Qs. al-Mulk [67]: 15).
Bepergian untuk mengambil pelajaran adalah firman Allah: (قُلْ سِيْرُوْا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوْا) “Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi lalu perhatikanlah”.” (Qs. an-Naml [27]: 69).
(ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآخَرِيْنَ، وَ إِنَّكُمْ لَتَمُرُّوْنَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِيْنَ، وَ بِالَّيْلِ أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ.) “Kemudian Kami binasakan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Makkah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan?”. (Qs. ash-Shāffāt [37]: 136-138).
(فَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَ هِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوْشِهَا وَ بِئْرٍ مُعَطَّلَةٍ وَ قَصْرٍ مَشِيْدٍ، أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي الْأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فِإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَ لَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ.) “Berapa banyak kota yang Kami telah binasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zhalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. al-Ḥajj [22]: 45-46).
Allah s.w.t. memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengadakan perjalanan agar mereka berpikir dengan akal mereka keadaan kampung-kampung yang telah hancur untuk mendapatkan nasihat tentang keadaan penduduknya.
Ini adalah nash-nash kebolehan bepergian untuk berbagai macam keperluan, sehingga salah satu kandungannya adalah perjalanan ziarah kepada Nabi s.a.w., karena salam kepada beliau termasuk masalah-masalah yang diisyaratkan tanpa diperselisihkan.
Keadaan kedua adalah, perintah bersifat umum untuk semua tempat, sehingga tidak boleh mengadakan perjalanan sama sekali kecuali ketiga masjid dan tiga negerinya.
Akan tetapi, bukan karena khusus shalat saja, melainkan untuk segala sesuatu yang disyariatkan pada asalnya dari jenis-jenisnya yang telah kami paparkan terdahulu, seperti mencari ilmu, jual-beli, mendengarkan ceramah, penenangan diri, dan lainnya, seperti berpuasa, i‘tikaf, mendekatkan diri, melaksanakan haji, ‘umrah, silaturrahim, menyaksikan peninggalan-peninggalan sejarah, dan lainnya.
Juga termasuk di dalamnya salam kepada Nabi s.a.w. Jika seseorang mengadakan perjalanan ke Madīnah untuk segala sesuatu, maka di antaranya adalah zakat dan salam kepada Rasūlullāh s.a.w. Tidak ada pertentangan antara satu keadaan dari dua keadaan, dan hadits tidak bertentangan dengan keduanya, untuk semua asumsi dikecualikan dalam hadits tersebut.
Catatan: