Ada yang berpendapat bahwa hadits Muslim dalam kaitannya dengan kekhususan Masjid Nabawi, sebagai bantahan terhadap dua orang yang berselisih dalam hal masjid yang dimaksud, maka Nabi s.a.w. hendak menjelaskan kepada mereka bahwa ayat itu tidak khusus pada Masjid Qubā’ saja, akan tetapi berlaku umum pada setiap masjid yang didirikan atas taqwa, bahwa yang menjadi sandaran adalah keumuman lafazh, bukan khususnya sebab (al-‘ibratu bi umūm-il-lafzhi lā bi khushūsh-is-sabab) sebagaimana telah maklum dalam ushul fikih.
Baginya, ayat mencakup semua masjid di manapun adanya, jika asasnya dari sejak pertama pembangunannya adalah taqwa, dan ini dibuktikan dengan konteks ayat dalam kaitannya dengan yang sebelum dan sesudahnya. Yang sebelumnya terdapat kisah masjid dhirār dengan firman Allah:
وَ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَ كُفْرًا وَ تَقْرِيْبًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ إِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ مِنْ قَبْلُ، وَ لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَ اللهُ يَشْهَدُ إِنِّهُمْ لَكَاذِبُوْنَ. لَا تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ.
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasūl-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Qubā’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersambahyang di dalamnya.” (Qs. at-Taubah [9]: 107-108).
Telah maklum bahwa masjid dhirār berada di wilayah Qubā’, dan mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk shalat di dalamnya untuk mendapatkan berkah pada zhahirnya, dan sebagai pengakuan atas keberadaannya, akan tetapi Allah s.w.t. menyingkap tentang hakikat mereka.
Terdapat ayat yang membandingkan antara dua masjid: (لَا تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا، لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ، فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا،) “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Qubā’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. at-Taubah [9]: 108).
Setelahnya secara langsung muncul untuk perbandingan untuk yang kedua kalinya, yang lebih bersifat umum daripada yang pertama:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَ رِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ، وَ اللهُ لَا يَهْدِيْ الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ، لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِيْ بَنَوْا رِيْبَةً فِيْ قُلُوْبِهِمْ.
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam Neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka.” (Qs. at-Taubah [9]: 109-110).
Dengan demikian, sebab turun ayat adalah perbandingan antara dua dasar yang berbeda, dan prioritas dalam firman Allah: (مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ) “Sejak hari pertama” (Qs. at-Taubah [9]: 108) adalah prioritas yang bersifat nisbi, yakni dalam kaitannya dengan semua masjid pada mula kali pembangunan. Meski yang zhahir dalam ayat tersebut adalah prioritas waktu belaka, yakni hari pertama Nabi s.a.w. sampai di Madīnah, dan singgah di Baqā’, sehingga perbandingan dalam ayat ini tetap ada hingga Allah s.w.t. kehendaki pada setiap waktu dan tempat, sebagaimana kami paparkan.
Keempat masjid tersebut dikhususkan dengan masalah-masalah yang terkait dengan berbagai macam kaitan, dan yang paling penting adalah pembatasan tempatnya, karena berdasarkan wahyu atau menyerupai wahyu.
Tentang Bait-ul-Ḥarām, firman Allah s.w.t: (وَ إِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيْمَ مَكَانَ الْبَيْتِ) “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrāhīm di tempat Baitullāh (dengan mengatakan).” (Qs. al-Ḥajj [22]: 26).
Mengenai Masjid-ul-Aqshā, dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Allah s.w.t. mewahyukan kepada Nabi Daud a.s. agar membangun sebuah rumah untuk-Nya, maka beliau menjawab: “Di mana Engkau ingin aku membangunnya untuk-Mu, wahai Tuhan?” Dia menjawab: “Di tempat yang kamu dapat melihat ksatria menghunus pedangnya.” Maka beliau membangun di tempat yang dapat dilihatnya saat ini, itu adalah sebuah patung milik seseorang dari kalangan Bani Isrā’īl ….. hingga akhir kisah dalam al-Baihaqī. (2151).
Mengenai Masjid Qubā’, sanad yang ada dalam haditsnya terdapat kelemahan. Ketika Nabi s.a.w. singgah di Qubā’, beliau bersabda: “Barang siapa mengendarai unta untuk menemuiku.” Beliau lalu bersabda: “Lepaskanlah tali kekangnya, maka ia akan berlari kencang.”
Baliau bersabada: “Biarkan jalannya karena ia diperintahkan, hingga ia sampai ke depan rumah Abū Ayyūb al-Anshārī r.a.”
Di depannya terdapat tempat untuk orang-orang yatim dan kuburan Yahudi, maka beliau membeli tempat tersebut, menggali kuburan, dan membangun masjid. (2162).
Demikian juga dengan bangunan, semuanya adalah bangunan para utusan Allah s.w.t. Masjid-ul-Ḥarām dibangun oleh Ibrāhīm a.s., yakni bangunan yang disebutkan dalam al-Qur’ān dan berbagai riwayat, akan tetapi yang pasti dalam Qur’ān ialah: (وَ إِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعَدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْرَائِيْلُ.) “Dan (ingatlah), ketika Ibrāhīm meninggikan (meminta) dasar-dasar Baitullāh bersama Ismā‘īl.” (Qs. al-Baqarah [2]: 127).
Demikian juga Bait-ul-Maqdis, dan antara beliau dengan bangunan tersebut adalah tahun, (2173) sebagaimana dalam hadits ‘Ā’isyah dalam al-Bukhārī, yakni memperbarui bangunannya. (2184).
Demikian juga Masjid Qubā’, Nabi s.a.w. telah ikut serta membangunnya, dan terdapat riwayat dalam kisah pembangunannya, bahwa seorang laki-laki menemui Nabi s.a.w. yang sedang membawa batu, lalu ia berkata kepada beliau: “Biarkan aku yang membawanya, wahai Rasūlullāh.” Beliau menjawab: (اِنْطَلِقْ وَ خُذْ غَيْرَهَا، فَلَسْتَ بِأَحْوَجَ مِنَ الثَّوَابِ مِنِّيْ) “Biarkanlah dan ambil yang lainnya saja, karena kamu tidak lebih butuh pahala daripada aku.”
Demikian juga masjidnya yang mulia di Madīnah al-Munawwarah, ketika beliau membangunnya untuk pertama kali dari batang dan pelepah kurma, kemudian membangunnya untuk kedua kalinya sekembalinya beliau dari Tabuk.
Kekhususan-kekhususan terhadap empat masjid tersebut berbeda dengan masjid pada umumnya.
Di antara yang terpenting adalah kelipatan amal di dalamnya, utamanya adalah shalat, sebagaimana al-Bukhārī membuat bab tersendiri dengan judul [keutamaan shalat di masjid Makkah dan Madīnah], dan ia menyebutkan dua hadits.
Pertama adalah hadits:
لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَ مَسْجِدِ النَّبِيِّ.
“Janganlah kalian bersikeras bepergian kecuali ke tiga masjid: Masjid-ul-Ḥarām, Masjid-ul-Aqshā, dan Masjid-un-Nabī (Nabawi).” (2195).
Kedua adalah hadits:
صَلَاةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاة فِيْمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid lainnya, kecuali Masjid-ul-Ḥarām.” (2206).
Beliau mengkhususkan Masjid Nabawi dengan raudhah-nya, yang merupakan salah satu taman surga.
Juga sabda Nabi s.a.w.: (وَ مِنْبَرِيْ عَلَى تُرْعَةٍ مِنْ تُرَعِ الْجَنَّةِ) “Mimbarku adalah salah satu dari pintu surga.”
Hadits masyhur:
مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَ مِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَ مِنْبَرِيْ عَلَى تُرْعَةٍ مِنْ تُرَعِ الْجَنَّةِ.
“Apa yang ada di antara rumah dan mimbarku adalah salah satu dari taman surga, dan mimbarku adalah salah satu pintu surga.” (2217).
Juga mengkhususkan Masjid Qubā’ dengan sabdanya:
مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيْهِ رَكَعَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ.
“Barang siapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi Masjid Qubā’, maka baginya seperti pahala ‘umrah.” (2228) (HR. Ibnu Mājah dan ‘Umar bin Syabbah dengan sanad jayyid, serta Aḥmad dan al-Ḥākim, ia berkata: “Sanad-nya shaḥīḥ”.)
Dalam Wafā’-ul-Wafā’ dinyatakan: ‘Umar bin Syabbah berkata: Suwaid bin Sa‘īd menceritakan kepada kami, ia berkata: Abū Ayyūb bin Hiyam menceritakan kepada kami dari Sa‘īd bin ar-Raqisy al-Asadī, ia berkata: Anas bin Mālik datang kepada kami ke Masjid Qubā’, kemudian shalat dua raka‘at di dekat salah satu tiangnya, kemudian ia salam dan duduk, dan kami duduk di sekitarnya, ia lalu berkata: “Subḥānallāh, betapa agung hak masjid ini, seandainya jarak tempuhnya adalah perjalanan satu bulan, maka ia berhak untuk didatangi. Barang siapa keluar dari rumahnya dan sengaja hendak menujunya untuk bisa shalat di dalamnya sebanyak empat rakaat, maka Allah s.w.t. menggantinya dengan pahala ‘umrah.”
Makna ini telah masyhur di kalangan umum dan khusus, hingga ‘Abd-ur-Raḥmān bin al-Ḥakam berkata dalam syairnya:
فَإِنَّ أَهْلَكَ فَقَدْ أَقْرَرْتَ عَيْنًا | مِنَ الْمُعْتَمَرَاتِ إِلَى قُبَاء |
مِنَ اللَّاتِيْ سَوَالِفُهُنَّ غِيْدَ | عَلَيْهِنَّ الْمَلَاحَة بِالْبَهَاء |
(tidak ada terjemahannya)
Ibnu Syubbah meriwayatkan dengan sanad shaḥīḥ dari jalur ‘Ā’isyah binti Sa‘d bin Abī Waqqāsh, ia berkata: Aku mendengar bapakku berkata: “Bagiku shalat di Masjid Qubā’ sebanyak dua rakaat lebih aku sukai daripada aku mendatangi Bait-ul-Maqdis dua kali. Jika mereka mengetahui apa yang ada di Qubā’. Maka mereka akan memukul unta yang sulit berjalan untuk bisa sampai kepadanya.”
Juga lainnya berupa atsar marfū‘ dan mauqūf yang mempertegas makna bahwa Qubā’ memiliki kekhususan bagi orang yang bersuci di rumahnya dan mendatanginya dengan sengaja dan shalat di dalamnya sebanyak dua rakaat, maka baginya seperti pahala ‘umrah.
Catatan: