Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi (2/10)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Firman Allah s.w.t.:

لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ

Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” (Qs. al-Jinn [72]: 16).

Maksudnya, Kami menguji mereka tentang apa yang mereka lakukan berupa syukur kepada nikmat dan mempergunakannya dalam hal yang diridhai oleh-Nya, atau kedurhakaan kepada-Nya dan tidak mengeluarkan hak-Nya?

(كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى، أَنْ رَءَاهُ اسْتَغْنَى.) “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena itu melihat dirinya serba cukup.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 6-7).

(إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِيْنَةً لَهَا لِنَبْلُوْهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا.) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 7).

(إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ، وَ اللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ، فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs. at-Taghābun [64]: 15-16).

 

Firman Allah s.w.t.:

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah..” (Qs. al-Jinn [72]: 18).

Kata (مَسَاجِدُ) adalah bentuk jama‘ dari (مَسْجِدٌ), dan masjid secara bahasa adalah tempat bagi orang yang sujud, yang ber-wazan (مَفْعِلٌ), seperti kata (مَجْلِسٌ) dengan cara bukan qiyās sebagai tempat duduk, dan ia secara bahasa membenarkan semua tempat yang sesuai untuk sujud.

Ditetapkan dalam Sunnah bahwa dunia seluruhnya sesuai untuk sujud, sebagaimana dalam sabda Nabi s.a.w.: (وَ جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا) “Dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat shalat) dan sarana bersuci.” (2071) Dikecualikan darinya tempat-tempat khusus yang dilarang untuk shalat di dalamnya karena sifat-sifat yang ada padanya, yakni sepiteng, tempat penyembelihan, kuburan, di tengah jalan, di WC, dan tempat-tempat yang hina, tempat menderumnya unta, dan tempat yang dicuri yang masih diperselisihkan dari segi sah tidaknya, serta tempat jual beli.

Syaikh menghitung 19 tempat untuk firman Allah s.w.t.: (كَذَّبَ أَصْحَابُ الْحِجْرِ الْمُرْسَلِيْنَ.) “Dan sesungguhnya penduduk-penduduk kata al-Hijr telah mendustakan rasul-rasul.” (Qs. al-Ḥijr [15]: 80) pada pembahasan tentang hukum tanah yang ditahan dan tempat-tempat hina.

Ia juga menyebutkan setiap tempat dengan dalilnya, dan ini merupakan pembahasan yang panjang lebar dan komprehensif. Masjid berdasarkan kebiasaan adalah semua tempat yang dikhususkan untuk shalat, dan inilah maksud idhāfat di sini kepada Allah s.w.t., yakni idhāfat pemuliaan dan pengagungan dengan pemberitahuan tentang kekhususannya untuk Allah s.w.t., yakni untuk ibadah dan mengingat-Nya, sebagaimana dalam firman Allah: (فِيْ بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَ الْأَصَالِ، رِجَالٌ لَا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَ لَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ.) “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang.” (Qs. an-Nūr [24]: 36-37).

Oleh karena itu, dilarang menjadikan masjid untuk urusan-urusan dunia, seperti jual-beli dan perniagaan, sebagaimana terdapat dalam hadits: (إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ بَيْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لَا أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ) “Jika kalian melihat orang yang jual-beli di masjid maka katakanlah kepadanya: “Semoga Allah tidak memberi untung dalam perdaganganmu.” (HR. an-Nasā’ī (2082) dan at-Tirmidzī, (2093) dan ia menganggapnya ḥasan.”

Demikian juga mencari barang yang hilang, berdasarkan sabda Nabi s.a.w.: (وَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيْهِ ضَالَّةً فَقُوْلُوْا لَا رَدَّ اللهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسْجِدَ لَمْ تُبْنَ لِذلِكَ.) “Jika kalian melihat orang yang mencari-cari di dalamnya barang yang hilang, maka katakanlah kepadanya: “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu”, sesungguhnya masjid tidak dibangun untuk itu.” (HR. Muslim). (2104).

Tentang hadits orang Badui yang kencing di masjid, bahwa Nabi s.a.w. bersabda kepadanya: (فَإِنَّ الْمَسْجِدَ لَمْ تُبْنَ لِذلِكَن إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَ مَا وَالَاهُ.) “Sesungguhnya masjid ini tidak dibangun untuk itu, akan tetapi untuk dzikir kepada Allah dan apa yang mengingat kepada-Nya.” (2115).

Dalam al-Muwaththa’, Mālik mengatakan bahwa ‘Umar r.a. membangun sebuah lapangan terbuka di sisi masjid yang dinamakan bathḥā’, lalu berkata: “Barang siapa ingin membuat kegaduhan atau melantunkan syair, atau berteriak, hendaknya keluar dan masuk ke ruangan tersebut.” (2126).

Kegaduhan adalah perkataan yang di dalamnya terdapat hiruk-pikuk.

Partikel (الْ) pada kata (الْمَسْجِد) adalah untuk istighrāq, sehingga berfungsi mencakup semua masjid, sebagaimana dalam hal keumumannya juga sama. Akan tetapi, terdapat ayat-ayat yang men-takhshīsh sebagian masjid dengan keutamaan dan kekhususan yang lebih banyak, yakni Masjid-il-Ḥarām, sebagaimana Allah s.w.t. mengkhususkannya dalam firman-Nya: (إٍنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَ هُدًى لِلْعَالَمِيْنَ، فِيْهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيْمَ وَ مَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا، وَ للهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ) “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullāh yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqām Ibrāhīm; barang siapa memasukinya (Baitullāh itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 96-97).

Disebutkan bahwa terdapat tujuh perkara yang tidak dimiliki masjid-masjid lain, bahwa ia adalah rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, dan yang diberkahi serta menjadi petunjuk bagi semua manusia. Di dalamnya juga terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqām (tempat berdiri) Ibrāhīm; barang siapa memasukinya (Baitullāh itu) maka amanlah dia; mengerjakan haji, ‘umrah, dan lain-lain. Juga Masjid-il-Aqshā, Allah s.w.t. berfirman: (سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ.) “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid-ul-Ḥarām ke Masjid-ul-Aqshā yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. al-Isra’ [17]: 1).

Jadi, itu dianggap khusus karena tempat Isrā’ Nabi s.a.w., dan dengan berkah di sekitarnya serta diperlihatkan kepada Nabi s.a.w. di antara tanda-tanda Tuhan-Nya.

Mungkin juga beliau mi‘rāj ke langit dari lubang Makkah dan dari Masjid-ul-Ḥarām, tetapi Dia hendak memperlihatkan di antara ayat-ayat Allah s.w.t. seperti plang-plang jalan sebagai dalil bagi Quraisy tentang khabar beliau mengenai Isrā’ dan Mi‘rāj, dan Jibrīl yang menyodorkan kepada beliau tiga gelas yang berisi air, susu, dan khamer, dan pilihan beliau kepada susu sebagai simbol fitrah. Berkumpulnya para nabi kepada beliau dan shalat bersama mereka di Masjid-ul-Aqshā, sementara beliau melihat mereka di langit tujuh. Semua tanda-tanda itu telah Allah perlihatkan kepada Nabi s.a.w. di Masjid-ul-Aqshā, Masjid Nabawī, dan Masjid Qubā’.

Mengenai Masjid Qubā’, turun ayat: (لَا تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا، لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ، فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا، وَ اللهُ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.) “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Qubā’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (Qs. at-Taubah [9]: 108).

Dalam Shaḥīḥ Muslim dijelaskan bahwa Abū Sa‘īd bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Masjid mana yang didirikan atas taqwa semenjak hari pertama?” Beliau lalu mengambil segenggam kerikil dan memukulkannya ke tanah masjidnya, kemudian bersabda: (مَسْجِدُكُمْ هذَا) “Masjid kalian ini.” (2137)

Dalam Bulūgh-ul-Marām dan yang lain terdapat hadits Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Nabi s.a.w. berkata kepada penduduk Qubā’: (إِنَّ اللهَ يُثْنِيْ عَلَيْكُمْ) “Sesungguhnya Allah s.w.t. memuji kalian”.

Mereka lalu berkata: ‘Kami mengikutkan batu dengan air.” (HR. al-Bazzār, dengan sanad dha‘īf).

Dalam Subul-us-Salām dinyatakan: Asalnya terdapat dalam Abū Dāūd dan at-Tirmidzī dalam Sunan dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: (نُزِلَتْ هذِهِ الْأَيَةُ فِيْ أَهْلِ قُبَاء) “Ayat ini turun pada penduduk Qubā’”, (فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا،) “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. at-Taubah [9]: 108).

Ibnu Ḥajar berkata: “Ibnu Khuzaimah menganggapnya shaḥīḥ dari hadits Abū Hurairah dengan tanpa menyebut kata batu.”

Penulis Wafā’-ul-Wafā’ mengatakan: “Diriwayatkan dari Ibnu Syaibah, dari berbagai jalur, yang kesimpulannya adalah, ketika ayat turun, Rasūlullāh s.a.w. mendatangi penduduk Qubā’.”

Dalam satu riwayat: “Penduduk masjid itu.”

Dalam satu riwayat: “‘Amr bin ‘Auf membangun, maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: (إِنَّ اللهَ قَدْ أَحْسَنَ عَلَيْكُمْ الثَّنَاءَ فِي الطُّهُوْرِ، فَمَا بَلَغَ مِنْ طُهُوْرِكُمْ؟) “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah berlaku baik kepada kalian dengan pujian dalam hal kesucian, maka bagaimana kalian sampai kepada kesucian kalian?” Mereka menjawab: “Kami ber-istinjā’ dengan air”.

Ia berkata: Aḥmad (2148) dan Ibnu Syaibah meriwayatkan, dan lafazh milik Aḥmad dari Abū Hurairah, ia berkata: Aku berangkat menuju masjid taqwa bersama ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Samurah bin Jundab. Kami lalu mendatangi Nabi s.a.w., maka beliau berkata kepada kami: “Pergilah kalian ke masjid taqwa.” Kami pun pergi menujunya. Kami lalu mencium kedua tangan beliau di atas punggung Abū Bakar dan ‘Umar, dan kami menghadap ke wajah beliau. Beliau lalu bertanya: “Siapa mereka, wahai Abū Bakar?” Ia menjawab: “‘Abdullāh bin ‘Umar, Abū Hurairah, dan Jundab.”

Hadits Muslim dalam pembahasan tentang masjid Rasūlullāh s.a.w., dan nash-nash tersebut dalam kaitannya dengan Masjid Qubā’.

Ibnu Ḥajar berkata: “Sebenarnya masing-masing dari keduanya didirikan atas taqwa.”

Firman Allah s.w.t.: (فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا،) “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (Qs. at-Taubah [9]: 108) jelas dalam kaitannya dengan penduduk Qubā’.

 

Catatan:


  1. 207). Takhrīj-nya telah dijelaskan sebelumnya.
  2. 208). Dalam pembahasan tentang amal siang dan malam, bab: Apa yang Dikatakan kepada Orang yang Berjual-Beli di Masjid.
  3. 209). Dalam pembahasan tentang jual-beli (no. 1321).
  4. 210). Dalam pembahasan tentang masjid dan tempat-tempat shalat (no. 79).
  5. 211). Diriwayatkan dari Anas bin Mālik: Muslim dalam pembahasan tentang bersuci (no. 100).
  6. 212). HR. Mālik dalam pembahasan tentang Shalat Qashar dan di perjalanan. (no. 93).
  7. 213). HR. Muslim dalam pembahasan tentang hajj (no. 514).
  8. 214). Al-Musnad (2/522).

Unduh Rujukan:

  • [download id="14892"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *