Hati Senang

Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir ash-Shabuni (3/3)

Tafsir ash-Shabuni | Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

072

SŪRAT-UL-JINN

(Bagian 3 dari 3)

 

Kemudian Allah berfirman mengenai penduduk Makkah. “Dan bahwasnya jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam)”; seandainya orang-orang kafir itu beriman dan lurus di atas syariat Allah, “benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)”; tentu Kami bentangkan rezeki untuk mereka dan Kami beri mereka keleluasaan di dunia sebagai tambahan atas apa yang mereka peroleh di akhirat, yaitu kenikmatan yang kekal. Dengan demikian, mereka memperoleh karunia kebesaran dunia dan akhirat. Dalam at-Tashīl disebutkan, yang dimaksud adalah air yang banyak. Itu merupakan isti‘ārah (sejenis majaz) yang maksudnya rezeki melimpah. Sedangkan yang dimaksudkan “tharā’iqa” (jalan) adalah agama Islam dan ketaatan kepada Allah. Maknanya, seandainya mereka konsisten berada di atas hal tersebut, tentu Allah melapangkan rezeki mereka. Ini semakna dengan ayat, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (8081) (al-A‘rāf: 96). “Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya”; rezeki itu Kami jadikan sebagai ujian bagi mereka. Apakah mereka bersyukur atau tidak? “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam adzab yang amat berat”; barang siapa yang berpaling dari taat dan beribadah kepada Allah, maka Dia memasukkannya ke dalam siksa yang berat dan sulit tanpa ada jeda dan istirahat. Qatādah berkata: “Maknanya, siksa yang tidak ada jedanya.” (8092) ‘Ikrimah berkata: “Maksudnya, sebuah batu besar licin di jalan yang dia dipaksa menaikinya. Jika dia sampai ke puncaknya, maka dia tergelincir ke Jahannam.” (8103).

 

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”; ini termasuk wahyu Allah kepada Nabi s.a.w. Diwahyukan kepadaku, bahwa masjid-masjid dan tempat-tempat ibadah adalah khusus bagi Allah. Maka di dalamnya janganlah kalian menyembah selain Allah dan murnikanlah penyembahan kepada-Nya. Mujāhid berkata: “Yahudi dan Nasrani jika masuk gereja dan tepat ibadah mereka, mereka mempersekutukan Allah di dalamnya. Itulah sebabnya Allah memerintah Nabi dan muslimin untuk memurnikan penyembahan kepada Allah jika mereka masuk semua masjid.” (8114) “Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah)”; ketika Nabi Muḥammad berdiri menyembahkan Allah, “hampir saja jinn-jinn itu desak mendesak mengerumuninya”; hampir saja bangsa jinn saling tumpang tindih karena sangat berdesakan ingin sekali mendengarkan al-Qur’ān. Ibnu ‘Abbās berkata: “Mereka hampir memberatkan Nabi s.a.w. untuk mendengarkan al-Qur’ān.” (8125) Allah hanya menyebutkan kata hamba dan tidak menyebutkan nama beliau. Ini untuk lebih mengagungkan beliau.

 

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya””; hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang kafir yang memintamu meninggalkan agamamu itu: Kami hanya menyembah Tuhanku dan kami tidak akan mempersekutukan selain Allah dengan-Nya, baik dia manusia maupun berhala. Ash-Shāwī berkata: “Sebab turunnya ayat ini ketika kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi s.a.w.: “Anda datang membawa hal yang berat dan anda memusuhi seluruh umat manusia. Maka tinggalkanlah hal itu, kami akan menolongmu dan menyelamatkanmu.” Maka turunlah ayat ini.” (8136). “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudaratan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfataan”” katakanlah hai Muḥammad ketika berdiskusi dengan mereka: “Kami tidak mampu untuk menolak mudharat dari kalian maupun mendatangkan manfaat bagi kalian. Yang kuasa untuk itu hanyalah Allah semata.” “Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya””; katakanlah juga kepada mereka: Tidak seorangpun dapat menyelamatkan kami dari siksa Allah jika kami durhaka kepada-Nya dan kami tidak menjumpai penolong dari-Nya. Lalu bagaimana kami menuruti apa yang kalian inginkan?” Qatādah berkata: “Makna multaḥada”; tempat berlindung dan penolong.” (8147) “Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya”; kami tidak menjumpai tempat berlindung, kecuali jika kami menyampaikan risalah Allah, menasihati kalian dan menunjukkan kalian sebagaimana Dia perintahkan kepadaku. Saat itulah Tuhanku menyelamatkanku dari siksa. Ini semakna dengan ayat: “Hai Rasūl, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (al-Mā’idah: 67). Ibnu Katsīr berkata: “Maknanya, yang menyelamatkanku dari siksa-Nya hanyalah penyampaianku terhadap risalah yang Dia wajibkan atasku.” (8158) “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”; barang siapa berdusta kepada Allah dan Nabi s.a.w. dan tidak beriman kepada pertemuan dengan Allah serta berpaling dari ayat-ayat dan risalah, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia tidak akan keluar darinya selamanya.

 

Sehingga apabila mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka”; ketika orang kafir menyaksikan siksa yang diancamkan kepada mereka “maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongan dan lebih sedikit bilangannya”; saat itulah mereka tahu, siapa yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bala tentaranya? Apakah mereka atau orang mu’min yang bertauhid? Tidak ada kebimbangan, bahwa Allah penolong hamba-Nya yang beriman. Sehingga, merekalah yang paling kuat penolongnya dan paling banyak jumlahnya. Sebab, Allah dan para malaikat bersama mereka.

 

Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah adzab yang diancamkan kepadamu itu dekat”; hai Muḥammad, katakanlah kepada mereka: Kami tidak tahu, apakah siksa yang diancamkan kepada kalian ini akan segera tiba. “ataukah Tuhanku menjadikan bagi (kedatangan) adzab itu, masa yang panjang?””; ataukah siksa itu masih lama terjadinya dan ada batas tertentu? Ulama tafsir berkata: “Setiap kali Nabi Muḥammad memperingatkan orang-orang yang mendustakan dan memperingatkan mereka akan dahsyatnya prahara hari kiamat, mereka menertawakan beliau dengan terang-terangan. Sambil menertawakan bertanya, kapankah terjadinya siksa itu dan kapankah terjadi hari kiamat? Karena itu, Allah menyuruh beliau untuk berkata kepada mereka: Kami tidak tahu waktu hal itu, apakah sudah dekat atau masih jauh? “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”; Allah tahu apa yang ghaib bagi mata, lalu Dia tidak memperlihatkan ghaib itu kepada siapapun dari makhluk-Nya. “Kecuali kepada rasūl yang diridhai-Nya”; kecuali orang yang dipilih dan diridhai Allah untuk mengemban risalah dan kenabian, maka Allah memperlihatkan kepadanya yang ghaib yang Dia kehendaki. Ulama tafsir berkata: “Yakni Allah tidak memperlihatkan hal ghaib kepada siapapun, kecuali kepada sebagian rasūl. Allah memperlihatkan sebagian ghaib kepada mereka agar menjadi mu‘jizat. Termasuk mengatakan sebagian hal yang ghaib. Sebagaimana firman Allah tentang ‘Īsā: “Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.” (Āli ‘Imrān; 49) “maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”; Allah mengutus beberapa malaikat penjaga di depan dan belakang rasūl tersebut untuk melindunginya dari jinn dan menjaganya saat dia menerima hal ghaib. Ath-Thabarī berkata: “Allah mengutus beberapa penjaga di depan dan belakangnya yang melindunginya dari jinn.” (8169) “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasūl-rasūl itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya”; agar Allah mengetahui dengan nyata.” (81710) sebab Allah Maha Tahu apa yang sudah ada dan yang akan ada, bahwa rasa rasul-Nya telah menyampaikan wahyu-Nya tanpa ditambahi maupun dikurangi. Ibnu Katsīr berkata: “Allah menjaga para rasul dengan malaikat agar mrereka bisa menyampaikan risalah. Allah menjaga wahyu yang Dia turunkan kepada mereka agar Dia mengetahui bahwa mereka telah menyampaikan risalah. Padahal sudah jelas pasti Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi.” (81811) “sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka”; ilmu Allah meliputi apa yang ada pada para rasūl, maka tidak ada yang samar bagi-Nya dari perkara mereka. “dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu”; Allah Maha Tahu jumlah segala sesuatu yang tersebar di bumi dan langit. Termasuk tetes hujan, pasir, dedaunan pohon dan buih lautan. Tidak ada samar bagi-Nya dan tidak yang lepas dari-Nya. Lalu, bagaimana ilmu Allah tidak meliputi apa yang ada pada para rasul berupa risalah dan wahyu yang diperintah untuk menyampaikannya kepada makhluk? Dan bagaimana mungkin para rasul bersalah menyampaikan risalah atau menambah atau mengurangi atau mengubah? “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfūzh).” (al-An‘ām: 59).

 

Aspek Balāghah

Dalam surat al-Jinn terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:

Pertama, menyifati dengan mashdar (asal kata) untuk menegaskan dengan penekanan lebih:

قُرْآنًا عَجَبًا

Kedua, thibāq salab (menyampaikan dua ungkapan yang sesuai).

فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا.

Maka kami beriman kepadanya dan kami tidak menyekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.”

Sebab iman berlawanan dengan syirik.

Ketiga, jinas isytiqāq (dua kata sejenis dari akar kata yang sama).

نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ

Kami duduk di tempat duduk untuk mendengarkan.”

Keempat, gaya bahasa tinggi dengan menisbatkan kebaikan kepada Allah demi menjaga etika.

وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا.

Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka

Dan antara kata (رَشَدًا) “kebaikan” dan (شَرٌّ) “keburukan” terdapat thibāq.

Kelima, thibāq antara (الْإِنْسُ) “manusia” dan (الْجِنُّ) “jinn”, antara (ضَرًّا) “kemudharatan” dan (رَشَدًا) “kebaikan”, antara (الْمُسْلِمُوْنَ) “yang muslim” dan (الْقَاسِطُوْنَ) “orang durhaka”.

Keenam, isti‘ārah (sejenis majaz dan perumpamaan) yang lembut:

كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”

Yang dimaksudkan adalah madzhab yang berbeda-beda.

Ketujuh, keserasian akhir-akhir ayat, Misalnya:

أَحَدًا، وَلَدًا، رَصَدًا، رَشَدًا، صَعَدًا، عَدَدًا.

Dalam ilmu badī‘, ini disebut saja‘ murasha‘. Wallāhu a‘lam.

Berkat pertolongan Allah, tafsir surat al-Jinn selesai.

Catatan:


  1. 808). At-Tashīl, 4/154.
  2. 809). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/73.
  3. 810). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/352.
  4. 811). Tafsīr-ul-Qurthubī, 19/21.
  5. 812). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/353.
  6. 813). Ḥāsyiyat-ush-Shāwī, 4/257
  7. 814). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/76.
  8. 815). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/560.
  9. 816). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/77.
  10. 817). Ulama tafsir berkata: “Apa yang ada di dalam al-Qur’ān, yaitu kata agar Allah tahu dan sejenisnya, maksudnya adalah Allah tahu secara nyata, bukan Allah baru tahu, sebab Allah tahu segala-galanya pada azal, sebelum menciptakan makhluk, Allah hanya menampakkan ilmu-Nya kepada para hamba.
  11. 818). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/561.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.