AYAT 24
072: 24. Sampai apabila mereka melihat siksa yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya.
Al-Biqā‘ī menjadikan ayat di atas berhubungan dengan uraian ayat 19 yang lalu yang berbicara tentang bertumpuk-tumpuknya para pendurhaka keheran-heranan melihat ibadah Nabi Muḥammad s.a.w. Menurutnya, keheranan dan kerumunan mereka itu akan berlanjut sampai mereka melihat siksa.
Sementara ulama mengaitkan ayat di atas dengan kandungan makna akhir ayat yang lalu, yang berbicara tentang kekekalan orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya di neraka. Kekekalan itu disebabkan kekufuran mereka. Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa kekufuran itu akan berlanjutnya sampai, yakni baru berakhir, mereka melihat siksa yang dijanjikan kepada mereka.
Thabāthabā’ī menghubungkannya dengan kandungan penggalan akhirnya, yakni siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya. Yakni, mereka akan terus-menerus menilai pendukung Nabi lemah dan jumlahnya sedikit sampai mereka melihat siksa.
Ada pun hubungannya, yang jelas ayat di atas berbicara tentang orang-orang kafir dan bahwa mereka terus akan durhaka, melecehkan Nabi Muḥammad s.a.w. dan ajaran beliau, serta menganggap beliau lemah tidak memiliki banyak pendukung sampai apabila mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksa yang diancamkan kepada mereka, dan itu pasti akan terjadi sebagaimana diisyaratkan oleh kata “idzā”, maka ketika dan sejak itu mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya. Apakah Nabi Muḥammad ataukah para pendurhaka itu.
AYAT 25-27
072: 25. Katakanlah: “Aku tidak mengetahui, apakah dekat siksa yang diancamkan kepada kamu ataukah Tuhanku menjadikan baginya masa yang panjang?”
072: 26. Maha Yang Mengetahui ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan menyangkut ghaib-Nya kepada satu (makhluk) pun.
072: 27. Kecuali kepada yang diridhai-Nya, yaitu Rasūl. Maka sesungguhnya Dia mengadakan di mukanya dan di belakangnya penjaga-penjaga.
Kaum musyrikin, apabila diancam dengan siksa, sering kali melecehkan dan bertanya untuk tujuan mengejek, kapankah datangnya ancaman itu. Untuk itu, ayat di atas memerintahkan bahwa: Katakanlah, wahai Nabi Muḥammad: “Aku tidak mengetahui sedikit dan dari sumber apa pun apakah dekat, yakni tidak lama lagi datangnya, siksa yang diancamkan kepada kamu ataukah Tuhanku menjadikan baginya, yakni ataukah Tuhan menangguhkan kedatangan siksa itu, ke masa yang panjang?” Aku tidak tahu tentang masa datangnya, aku hanya yakin bahwa suatu ketika ia pasti datang. Yang Mengetahui kepastian waktu kedatangan siksa itu hanyalah Allah, Dia Maha Yang Mengetahui ghaib yang mutlak apalagi yang relatif, maka Dia tidak memperlihatkan secara nyata, yakni memberitahukan sehingga tersingkap bagaikan tersingkapnya sesuatu di siang hari bolong, menyangkut ghaib-Nya itu kepada satu makhluk pun. Kecuali kepada yang diridhai-Nya. Itu pun bukan semua yang diridhai-Nya tetapi yang diridhai-Nya, , yaitu Rasūl, yang merupakan malaikat atau manusia.
Jika Allah hendak memperlihatkan kepada rasūl ghaib-Nya itu, Maka sesungguhnya Dia Yang Maha Mengetahui itu mengadakan di mukanya dan di belakangnya, yakni di seluruh arah sang rasul itu, penjaga-penjaga berupa malaikat-malaikat yang melindunginya dari berbagai gangguan syaithan dan bisikan jahat.
Kata (يُظْهِرُ) yuzhhir terambil dari kata (ظَهَرَ) zhahara yang berarti tampak dengan jelas. Dari sini, siang dinamai zhuhr karena ketika itu matahari memancarkan cahayanya dengan sangat jelas sehingga menampakkan segala sesuatu. Penggunaan kata tersebut dalam konteks penampakan ghaib, demikian juga penggunaan kata (عَلَيْهِ) ‘alaihi/atasnya yang mengesakan penguasaan sempurna atas sesuatu, mengantar sementara ulama menyatakan bahwa ayat 26 di atas tidak berarti bahwa Allah tidak menginformasikan atau mengisyaratkan sekelumit ghaib kepada yang bukan utusan-Nya. Penampakan kepada rasul sangat jelas, sedang kepada selain mereka remang-remang atau sekadar isyarat tentang ghaib-Nya, dan ini dapat dianugerahkan-Nya antara lain kepada awliyā’, yakni orang-orang yang dekat kepada-Nya, walau itu hanya dalam bentuk remang-remang.
Kalimat (مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ) min baini yadaihi dipahami oleh al-Biqā‘ī dalam arti arah yang diketahuinya, sedang (مِنْ خَلْفِهِ) min khalfihi adalah arah yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, gabungan keduanya mencakup semua arah.
Firman-Nya: “Maka sesungguhnya Dia mengadakan di mukanya dan di belakangnya penjaga-penjaga dan seterusnya” merupakan bukti bahwa wahyu yang diterima para nabi dan rasūl sangat terpelihara sejak dari sumbernya, yakni dari Allah s.w.t., sampai dengan sampainya kepada manusia. Keterpeliharaannya sejak sumber hingga tibanya kepada rasūl ditunjuk oleh kata min khalfihi/di belakngnya sedang keterpeliharaannya hingga diketahui oleh manusia ditunjuk oleh kata min baini yadaihi/di mukanya. Demikian Thabāthabā’ī.
AYAT 28
072: 28. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya mereka telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka, sedang Dia meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.
Ayat yang lalu menguraikan pemeliharaan dan penjagaan terhadap ghaib dan wahyu yang diturunkan kepada rasul yang menerimanya. Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah melakukan penjagaan itu supaya Dia mengetahui dalam kenyataan – setelah sebelumnya Dia telah mengetahui dalam ilmu-Nya yang azali – bahwa sesungguhnya mereka, yakni para rasul itu, telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka, sedang sebenarnya Dia dengan ilmu dan kuasa-Nya meliputi secara terperinci apa yang ada pada diri mereka semuanya, bukan hanya yang berkaitan dengan penyampaian risalah itu dan Dia menghitung segala sesuatu yang wujud satu per satu, walau sebutir pasir pun. Tak satu pun luput dari pengetahuan-Nya.
Kata (لِيَعْلَمَ) li ya‘lama/agar Dia mengetahui ada juga yang memahaminya dalam arti agar dia, yakni Nabi Muḥammad s.a.w., mengetahui bahwa rasūl-rasūl sebelum beliau – serupa dengan keadaan beliau – telah menyampaikan pula risalah Ilahi dengan benar dan mereka pun tidak diganggu oleh syaithan. Pendapat lain menyatakan bahwa agar Nabi Muḥammad s.a.w. mengetahui bahwa malaikat Jibrīl bersama malaikat-malaikat lain yang mengantar wahyu Ilahi benar-benar telah menyampaikan wahyu yang merupakan risalah Ilahiah itu secara sempurna.
Ayat di atas menunjukkan keterpeliharaan wahyu sejak diterima oleh Rasūl dari malaikat yang mengantarnya sehingga sang Rasūl yakin bahwa itu adalah wahyu tanpa sedikit perubahan pun dan tanpa beliau melupakan, menambah, atau menguranginya, sekaligus menunjukkan tidak adanya keterlibatan pihak lain dalam pengubahan makna atau lafazhnya. Ini karena tujuan dari penjagaan dan pemeliharaan Allah itu adalah agar tercapai dalam kenyataan di lapangan tibanya wahyu itu kepada manusia yang merupakan sasarannya. Seandainya Rasūl tidak terpelihara dalam segala hal yang dapat mengakibatkan wahyu tersebut tidak sampai kepada sasaran atau sampai tetapi mengalami perubahan, itu berarti gagalnya penjagaan dimaksud, dan itu mustahil karena yang melakukannya adalah para malaikat yang didukung oleh Allah s.w.t.
Ayat 27 dan 28 di atas merupakan salah satu bukti yang terkuat tentang kepalsuan riwayat yang dikenal dengan ayat-ayat syaithan (al-Gharānīq) yang intinya menyatakan bahwa syaithan pernah menyelipkan dalam penyampaian Nabi s.a.w. pada surah an-Najm kalimat-kalimat yang mengandung restu terhadap penyembahan berhala. Untuk jelasnya, rujuklah ke QS. al-Ḥajj [22]: 52. (44).
Kata (أَحْصَى) aḥshā terambil dari kata (حَصَى) ḥashā, yakni batu kecil. Dahulu, biasanya yang menghitung banyak hal – apabila telah mencapai bilangan tertentu katakanlah puluhan atau ratusan – meletakkan batu-batu kecil sebagai tanda tentang bilangan yang telah dihitung itu agar tidak terlupakan.
Kata (لَدَيْهِمْ) ladaihim yang terambil dari kata (لَدَى) ladā biasa digunakan al-Qur’ān untuk hal-hal yang tidak terbayangkan oleh nalar manusia, berbeda dengan kata (عِنْدَ) ‘inda. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa apa yang dihitung oleh Allah itu mencakup semua hal walaupun yang tidak terbayang dalam benak manusia.
Awal surah ini menguraikan bahwa para jinn mendengarkan dengan tekun ayat-ayat al-Qur’ān yang dibacakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dan menguraikan pula bagaimana jinn tidak mampu mendengarkan percakapan di langit. Akhir surah ini menguraikan pemeliharaan Allah atas ghaib, termasuk wahyu-wahyu yang disampaikan-Nya kepada para rasūl, termasuk wahyu al-Qur’ān yang disampaikan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Demikian bertemu uraian awal surah ini dengan akhirnya. Maha Benar Allah dan sungguh serasi firman-firmanNya. Wa Allāh A‘lam.