Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Mishbah (4/5)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Mishbah

KELOMPOK 2

 

AYAT 18-28

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا. وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا. قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا. قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا. إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا. حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا. قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا. عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.

AYAT 18

072: 18. Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah bersama Allah sesuatu apa pun.

Ayat yang lalu merupakan lanjutan dari ayat pertama di mana Nabi diperintahkan untuk menyampaikan bahwa Allah telah mewahyukan kepada beliau tentang jinn yang mendengar ayat-ayat al-Qur’ān, ayat di atas masih merupakan lanjutan dari ayat yang lalu.

Kelompok ayat ini berbicara tentang kenabian, keesaan Allah, dan keniscayaan kiamat sebagai kesimpulan dari uraian kisah jinn oleh ayat-ayat yang lalu sekaligus sebagai penutup surah ini. Demikian Thabāthabā’ī.

Ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa: Dan diwahyukan pula kepadaku bahwa sesungguhnya masjid-masjid itu yakni bangunan khusus yang dijadikan tempat sujud dan beribadah, bahkan seluruh persada bumi di alam raya ini adalah milik Allah sehingga semua aktivitas di dalamnya harus diarahkan kepada Allah. Karena itu, Maka janganlah kamu semua – wahai makhluk Allah – menyembah di dalamnya bersama yakni di samping Allah sesuatu apa pun.

Kata (الْمَسَاجِد) al-masājid adalah bentuk jama‘ dari (مَسْجِد) masjid, yakni tempat sujud. Yang memahaminya sebagai seluruh persada bumi beralasan sabda Nabi s.a.w. yang menyatakan “Dijadikan untukku dan umatku persada bumi ini sebagai tempat sujud”. Ada juga ulama yang memahaminya sebagai bentuk jama‘ dari kata (مَسْجَد) masjad dan yang mereka maksud adalah anggota badan manusia yang diperintahkan oleh Rasūl agar bersujud, yaitu dahi, hidung, kedua lutut, kedua tangan, dan kedua kaki. Maksud ayat ini, menurut mereka, adalah: Allah telah menganugerahkan anggota badan itu sebagai nikmat maka janganlah kamu menggungakannya sujud kepada selain Allah. Ada lagi yang memahami ayat di atas dalam arti jadikanlah masjid sebagai tempat sujud dan ibadah kepada Allah semata. Dalam konteks ini, Nabi s.a.w. memperingatkan agar tidak menjadikan masjid sebagai tempat jual-beli atau tempat mencari barang yang hilang. Makna-makna di atas semuanya benar karena memang masjid adalah tempat terhormat; ia adalah rumah Tuhan sehingga jangan sampai digunakan bukan pada tempatnya, apalagi mempersekutukan Allah di sana, baik persekutuan yang nyata maupun yang tersembunyi.

Thāhir Ibn ‘Āsyūr memahami kata al-Masājid pada ayat ini dalam arti al-Masjid-ul-Ḥarām di Makkah dengan alasan bahwa kaum musyrikin Makkah meletakkan aneka berhala di dalamnya dan meletakkan berhala Hubal di atap Ka‘bah. Ayat lain yang menunjuk Masjid-ul-Ḥarām dalam bentuk jama‘ adalah QS. al-Baqarah [2]: 114. Penggunaan bentuk jama‘ pada ayat di atas – menurutnya – adalah untuk memasukkan semua yang melakukan kedurhakaan yang sama dalam kandungan ancaman ayat ini atau penggunaan bentuk jama‘ itu bertujuan menggambarkan keagungan Masjid-ul-Ḥarām. Ini serupa dengan penggunaan bentuk jama‘ (رُسُل) rusul dalam QS. al-Furqān [25]: 37 padahal yang dimaksud adalah Nabi Nūḥ a.s. sendiri.

 

AYAT 19-20

072: 19. Dan bahwa ketika hamba Allah menyeru-Nya hampir saja mereka atasnya bertumpuk-tumpuk.

072: 20. Katakanlah: “Aku hanya menyeru Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu pun.”

Ayat di atas dapat merupakan lanjutan ucapan jinn yang menyampaikan kepada rekan-rekannya bagaimana keadaan Nabi Muḥammad s.a.w. dan bagaimana mereka begitu antusias mengerumuni beliau. Dapat juga ini merupakan lanjutan dari ayat yang lalu yang menguraikan apa yang diwahyukan kepada beliau. Demikian al-Biqā‘ī.

Ayat di atas menyatakan: Dan bahwa ketika hamba Allah, yakni Nabi Muḥammad s.a.w. bangkit secara sempurna lagi bersungguh-sungguh menyeru-Nya, yakni berdoa dan melaksanakan shalat atau berdakwah menyampaikan ajaran Islam, hampir saja mereka, yakni beberapa kelompok dari jinn, atasnya, yakni di sekelilingnya, bertumpuk-tumpuk dan berdesak-desakan karena takjub dan heran dengan apa yang mereka lihat dan mendengarkan. Katakanlah – wahai Nabi Muḥammad – kepada siapa yang berdesakan dan merasa aneh atau takjub melihatmu bahwa: “Tujuan dari apa yang kulakukan itu bukanlah seperti yang kamu duga, Aku hanya menyeru dan beribadah kepada Tuhan Pemelihara dan Yang selalu berbuat baik kepada-ku dan aku sekali-kali tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu pun. Tidak malaikat, tidak berhala, tidak juga manusia, atau makhluk apa pun. Itulah sikapku terhadap Allah.”

Yang dimaksud dengan kata mereka pada firman-Nya: (كَادُوْا) kādū/hampir-hampir saja mereka, menurut sebagian ulama, seperti al-Biqā‘ī, adalah orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama, baik jinn maupun manusia, dan bahwa mereka itu berdesak-desakan karena merasa aneh melihat ibadah Rasūl s.a.w. Sebenarnya – lanjut al-Biqā‘ī – ini tidak perlu diherankan. Yang mengherankan adalah sikap mereka itu yang menyembah selain Allah s.w.t. serta sikap mereka yang heran melihat ketekunan Nabi Muḥammad s.a.w. beribadah. Ath-Thabarī dan banyak ulama lain memahami kata mereka sebagai menunjuk kaum musyrikin Makkah yang berkumpul untuk memadamkan cahaya Islam.

Ada juga yang memahami kata mereka dalam arti jinn. Bila dipahami demikian, tentu saja yang dimaksud bukan peristiwa yang diuraikan oleh ayat pertama surah ini karena peristiwa itu hanya dihadiri oleh tidak lebih dari sepuluh orang, sebagaimana dipahami dari kata nafar (baca ayat pertama). Sedang, jinn yang dibicarakan ayat ini dilukiskan sebagai sejumlah yang banyak sampai-sampai hampir saja mereka atasnya bertumpuk-tumpuk dan berdesak-desakan. Sementara ulama menyatakan bahwa peristiwa yang dibicarakan ayat di atas terjadi sesudah peristiwa pertama dan konon ketika itu jumlah jinn yang hadir sekitar dua belas ribu bahkan ada yang menyatakan tujuh puluh ribu jinn.

Kata (عَبْدُ اللهِ) ‘abd Allah/hamba Allah agaknya sengaja disebutkan, bukan dengan nama panggilan Nabi Muḥammad s.a.w., bukan juga dengan “aku” atau “engkau”, untuk menyifati Nabi agung itu dengan sifat kesempurnaan makhluk, yakni penghambaan diri kepada Allah. Bukankah Allah tidak menciptakan jinn dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya, yakni menjadi hamba-Nya?

Kata (لِبَدًا) libadan terambil dari kata (لَبِدَ) labida yang pada mulanya berarti berkumpul dan menyatu melekat dengan kuat satu dengan yang lain.

 

AYAT 21-23

072: 21. Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepada kamu tidak (juga) petunjuk.”

072: 22. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku dari Allah, dan sekali-kali tidak juga aku menemukan – selain-Nya tempat berlindung.”

072: 23. Akan tetapi penyampaian dari Allah dan risalah-Nya, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Boleh jadi ada yang berkata mengapa dia tidak bermohon kepada Tuhannya agar para pendurhaka dibinasakan saja. Menjawab mereka, Allah memerintahkan Nabi Muḥammad s.a.w. menyampaikan ayat di atas. Di sisi lain, al-Qurthubī meriwayatkan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan permintaan kaum musyrikin Makkah kepada Nabi s.a.w. agar beliau menghentikan dakwahnya karena beliau telah dimusuhi masyarakat. Kaum musyrikin itu menjanjikan perlindungan kepada Nabi s.a.w.

Bisa juga dikatakan bahwa ayat yang lalu memerintahkan Nabi Muḥammad s.a.w. menjelaskan sikap beliau terhadap Allah, sedang ayat di atas memerintahkan menjelaskan kedudukan beliau di tengah manusia, yakni beliau adalah manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan melampaui kemampuan jenis manusia.

Ada pun hubungan dan sebab turunnya, yang jelas ayat di atas bagaikan menyatakan: Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekarang dan masa datang tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepada kamu atau kemanfaatan, tanpa idzin dan kuasa Allah, tidak juga kuasa tanpa idzin-Nya mengakibatkan kamu dalam kesesatan atau memberi kamu petunjuk.”

Setelah menyatakan ketidaksanggupan beliau membantu orang lain, kini beliau diperintahkan untuk menyatakan bahwa terhadap dirinya beliau tak mampu. Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku dari siksa Allah jika Yang Maha Kuasa itu hendak menyiksaku dan sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku, yakni menolong dan menampik siksa atau kesulitan yang dapat menimpaku, dari Allah jika aku mendurhakai-Nya dan sekali-kali tidak juga aku menemukan – selain-Nya tempat berlindung, menyingkir, dan memperoleh upaya untuk menghindar.” Akan tetapi, tugasku hanyalah penyampaian peringatan dari Allah dan peyampaian risalah, yakni ajaran-Nya yang kuterima melalui wahyu. Jika itu telah kulaksanakan, aku mengharap dapat memperoleh perlindungan-Nya. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasūl-Nya, sesungguhnya baginya surga di sana, dia akan berbahagia selama-lamanya, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya, yakni menolak risalah-Nya yang berkaitan dengan ushūluddīn – bukan kedurhakaan yang tidak berkaitan dengan prinsip ajaran – kedurhakaan yang tidak berkaitan dengan prinsip ajaran – maka sesungguhnya baginya secara khusus baginya neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Adapun yang durhaka dan tidak sampai pada tingkat penolakan prinsip ajaran, boleh jadi Allah mengampuninya sesuai kebijaksanaan-Nya atau menyiksanya di neraka tetapi tidak kekal di dalamnya.

Ayat 21 di atas mengandung iḥtibāk, yakni tidak menyebut kata manfaat kerena telah adanya kata manfaat sebagaimana tidak menyebut kata kesesatan karena telah adanya kata rusyudh petunjuk. Al-Biqā‘ī menyatakan bahwa ayat itu bisa juga berarti: Aku tidak kuasa mengakibatkan bagi kamu kemudharatan karena aku tidak kuasa menyesatkan kamu dan aku tidak kuasa memberi kamu petunjuk sebab itu aku tidak kuasa memberi kamu manfaat. Ini, karena tiada manfaat yang dapat diperoleh tanpa petunjuk dan tiada mudharat selain dalam kesesatan.

Kata (مُلْتَحَدًا) multaḥadan terambil dari kata (لَحَدَ) laḥada yang pada mulanya berarti miring atau cenderung. Multaḥadan adalah tempat kecenderungan kepada sesuatu. Jika seseorang ingin menghindar dari bahaya, biasanya ia mencari jalan atau beralih ke satu tempat yang tidak biasanya di sana. Dari sini, kata tersebut dipahami dalam arti tempat berlindung. Penambahan huruf tā’ pada kata itu bertujuan menggambarkan kesempurnaan tempat berlindung tersebut.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *