Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Mishbah (3/5)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Mishbah

AYAT 11-12

072: 11. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang saleh dan di antara kami ada yang tidak demikian; adalah kami (menempuh) jalan-jalan yang berbeda-beda.

072: 12. Dan sesungguhnya kami menduga bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melawan Allah di bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melawan-Nya dengan lari.

Lebih jauh, para jinn itu menguraikan keadaan anggota masyarakat mereka dengan menyatakan: Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang saleh halnya, ada yang kesalehannya dan di antara kami ada juga yang tidak demikian halnya, ada yang kesalehannya terbatas ada juga yang sama sekali tidak saleh bahkan ada yang mengajak kepada kedurhakaan. Sungguh kami bermacam-macam; adalah kami yakni makhluk yang tercipta dari api itu, menempuh jalan-jalan yang berbeda-beda akibat perbedaan pandangan dan kecenderungan kami. Dan sesungguhnya kami menduga yakni mengetahui dan percaya, setelah berpikir dan melihat ayat-ayat Allah serta menyadari kelemahan kami, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melawan Allah untuk melepaskan diri dari kekuasaan-Nya di bumi mana pun kami berada dan sekali-kali tidak pula dapat melawan-Nya dengan lari ke tempat lain di langit atau di mana pun untuk menghindar dari ketetapan-Nya.

Kata (الصَّالِحُوْنَ) ash-shāliḥūn dipahami oleh banyak ulama dalam arti orang-orang yang mantap kesalehan dengan iman dan amalnya yang bermanfaat lagi baik. Thabāthabā’ī tidak memahaminya demikian. Menurutnya, kesalehan yang dikandung oleh kata ash-shāliḥūn pada ayat di atas adalah kebaikan perangai dalam ber-mu‘āsyarah dan ber-mu‘āmalah, yakni dalam berinteraksi, bukan dalam arti kesalehan agama. Jika yang dimaksud dengan kesalehan beragama – menurut ulama itu – tentulah ayat di atas lebih tepat diletakkan sesudah ayat berikut yang berbicara tentang keimanan mereka setelah mendengar petunjuk al-Qur’ān.

Kata (قِدَدًا) qidadan adalah bentuk jama‘ dari (قِدَّةٌ) qiddah. Ia terambil dari kata (قَدَّ) qadda yang berarti memotong atau memutus. Kelompok manusia yang pikiran dan kecenderungan mereka berbeda dengan kelompok yang lain dinamai qiddah karena hubungan mereka terputus dengan kelompok yang lain akibat perbedaannya dengan kelompok yang lain itu.

Kata (ظَنَنَّا) zhananna terambil dari (ظَنَّ) zhann/menduga. Sementara ulama berpendapat bahwa kalau kata tersebut diiringi dengan kata (أَنَّ) anna, ini berarti yakin. Menurut al-Biqā‘ī, penggunaan kata tersebut di sini sebagai isyarat bahwa seorang yang berakal hendaknya menghindari apa yang dibayangkannya buruk walau dengan cara sekecil apa pun, apalagi kalau keburukan itu diyakini kepastiannya.

Kata (نُّعْجِزَ) nu‘jiza terambil dari kata (عَجَزَ) ‘ajaza, yakni lemah, dan dengan demikian nu‘jiza berarti menjadikan seseorang lemah tidak dapat melawan atau menghalangi. Thabāthabā’ī memahami kalimat lan nu‘jiza Allāhu fil-ardh/kami sekali-kali tidak akan dapat melawan Allah di bumi dalam arti mengalahkan-Nya menyangkut apa yang dikehendaki-Nya di bumi, yakni dengan melakukan pengrusakan serta mengganggu sistem yang diterapkan-Nya. Bila ada pengrusakan yang terjadi, itu adalah bagian dari kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada jinn.

 

AYAT 13-15

072: 13. Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk, kami beriman kepadanya, maka barang siapa beriman kepada Tuhannya maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak pula kesulitan.

072: 14. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang muslim dan ada (pula) penyimpang. Barang siapa yang patuh, maka mereka itu telah memilih arah kebenaran.

072: 15. Adapun para penyimpang, maka mereka itu bagi Jahannam adalah bahan bakar(nya).

Setelah ayat 12 yang lalu mengisyaratkan adanya siksa yang dipersiapkan Allah bagi yang durhaka dan tidak satu pun yang dapat menghindar, ayat di atas berbicara tentang keimanan sekelompok jinn. Rasa takut kepada Allah dan siksa-Nya mengantar kepada upaya menghindar dari keburukan dan iman mengantar kepada upaya melakukan kebaikan. Bahwa ayat yang berbicara tentang iman diletakkan setelah uraian yang mengisyratkan siksa karena rasa takutlah yang merupakan salah satu faktor utama dari lahirnya amal-amal saleh di samping itu upaya menghindar dari keburukan lebih diutamakan daripada menghiasi diri dengan kebaikan. Itulah agaknya mengapa kaum yang menerima petunjuk Ilahi itu menyebut kandungan ayat di atas setelah menyebut kandungan ayat yang lalu. Demikian hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya.

Ada pun hubungannya, yang jelas ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa dan sesungguhnya kami tatkala mendengar dari Nabi Muḥammad s.a.w. petunjuk yang sempurna, yakni al-Qur’ān, kami langsung beriman kepadanya tanpa ragu atau menimbang-nimbang karena jelasnya petunjuk itu maka barang siapa yang senantiasa beriman kepada Tuhannya serta selalu memperbarui imannya maka ia tidak takut akan pengurangan pahala amal-amalnya dan tidak takut pula kesulitan akibat penambahan dosa dan kesalahan.

Boleh jadi dengan pernyataan di atas ada yang menduga bahwa semua jinn – baik yang mendengar langsung ayat-ayat al-Qur’ān maupun yang belum atau tidak mendengarnya – kesemuanya telah patuh kepada Allah. Untuk menampik dugaan itu, para jinn melanjutkan keterangannya dengan berkata bahwa dan sesungguhnya di antara kami masyarakat jin ada orang-orang muslim, yakni yang benar-benar taat dan penuh kepatuhan kepada Allah, dan ada pula para penyimpang, yakni mereka yang telah sangat jauh dari kebenaran lagi sangat mantap kekufurannya. Barang siapa yang patuh, maka mereka itu telah bersungguh-sungguh memilih arah yang mengantar ke jalan kebenaran. Mereka itulah yang selalu bersikap adil dan melakukan perbaikan dan akan masuk ke surga. Adapun para penyimpang dari jalan kebenaran, maka mereka itu yang sungguh jauh kebejatannya adalah orang-orang yang aniaya lagi perusak dan mereka bagi api neraka Jahannam adalah bahan bakarnya.”

Kata (بَخْسًا) bakhsan berarti kekurangan yang menimpa akibat kecurangan.

Lihat ayat 6 surah ini untuk memahami makna kata (رَهَقًا) rahaqan.

Kata (تَحَرَّوْا) taḥarrau terambil dari kata (الْحِرَاءُ) al-ḥirā, yakni arah atau tempat. Kata yang digunakan ayat ini berarti mengarah ke arah yang benar. Karena itu, kata (حَرِيٌّ) ḥariyyun berarti sangat tepat lagi wajar. Penggunaan kata ini – menurut Sayyid Quthub – mengesankan bahwa perolehan petunjuk kepada Islam maknanya ketelitian dalam mencari serta menelusuri jalan lurus. Yakni, memilihnya atas dasar pengetahuan dan kesengajaan/tekad setelah jelas hakikatnya. Bukannya asal memilih secara sembrono, bukan juga mengikuti tanpa kesadaran.

Lihatlah ayat 10 untuk memahami makna kata (رَشَدًا) rasyadan.

Kata (الْقَاسِطُوْنَ) al-qāsithūn terambil dari kata (قَسَطَ – يَقْسِطُ – قُسُوْطًا) qasatha – yaqsithu – qusūthan, yakni berlaku aniaya. Kata ini berbeda dengan kata (أَقْسَطَ – يَقْسِطُ) aqsatha – yaqsithu yang berarti berlaku adil.

 

AYAT 16-17

072: 16. Dan bahwa: Jikalau mereka tetap konsisten di atas jalan itu, niscaya pasti Kami akan memberi minum mereka air yang segar;

072: 17. untuk Kami uji mereka padanya, dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan Kami masukkannya ke dalam siksa yang mendaki.

Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran akan menjadi bahan bakar neraka, padahal jika mereka patuh tentulah mereka akan meraih kebahagiaan. Untuk maksud tersebut, Allah berfirman memerintahkan Nabi Muḥammad s.a.w. untuk menyampaikan, sebagaimana memerintahkan beliau pada awal ayat untuk menyampaikan ketekunan jinn mendengar ayat-ayat al-Qur’ān. Ayat di atas bagaikan berkata: Dan, diwahyukan pula kepadaku bahwa: Jikalau mereka, para makhluk atau orang-orang kafir dari jenis jinn dan manusia, tetap konsisten di atas jalan itu, yakni tuntunan agama Islam, niscaya pasti Kami akan memberi minum mereka air yang segar yakni aneka rezeki yang melimpah. Tujuan pemberian aneka rezeki itu adalah untuk Kami uji mereka padanya, yakni melalui rezeki yang melimpah itu. Siapa yang lulus dalam ujian itu dengan memperhatikan tuntunan Allah, dia akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dan barang siapa yang gagal akibat berpaling dari peringatan Tuhannya Yang telah menganugerahi-nya rezeki yang banyak itu, niscaya akan Kami masukkannya ke dalam siksa yang mendaki. Yakni amat berat dari saat ke saat semakin berat sehingga dia tidak dapat menahan sakitnya.

Penggunaan kata (مَّاءً) ma’an/air untuk makna rezeki karena air adalah sumber hidup. Masyarakat Makkah serta ‘Arab yang tidak sering diguyur hujan menjadikan air lambang kesejahteraan. ‘Umar Ibn al-Khaththāb berkata: “Di mana ada air di situ ada harta, dan di mana ada harta di sana ada fitnah (cobaan).”

Sayyid Quthub menulis bahwa paling tidak ada tiga hal pokok yang dikandung oleh pernyataan ayat-ayat di atas. Pertama, adanya hubungan yang sangat erat antara konsistensi suatu umat atau masyarakat melaksanakan tuntunan agama dan menghubungkan diri dengan Allah dengan kesejahteraan lahir dan batin serta faktor-faktor penyebabnya. Salah satu faktor terpenting bagi perolehan kesejahteraan adalah curahan air. Kedua, kesejahteraan merupakan ujian Allah s.w.t. kepada hamba-hambaNya – seperti bunyi ayat di atas (لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ) linaftinahum fīhi/untuk Kami uji mereka padanya. Memang, bersabar dalam menikmati kesejahteraan dengan mensyukurinya dalam bentuk berbuat baik lebih sulit daripada bersabar dalam kesempitan. Ini karena kesejahteraan dan kenikmatan sering kali menjadikan orang lupa daratan, berbeda dengan kesulitan yang biasanya mengundang orang mengingat Tuhan. Ketiga, berpaling dari peringatan Allah dapat mengantar kepada ujian Ilahi berupa limpahan kesejahteraan, dan ini pada gilirannya mengundang jatuhnya siksa. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan yang dibarengi oleh pengabaian nilai-nilai Ilahi mengakibatkan peningkatan siksa.

Begitulah pemahaman jinn yang direkam dan dibenarkan oleh al-Qur’ān.

Selanjutnya, rujuklah ke QS. Nūḥ [71]: 11-12 untuk memahami lebih banyak tentang maksud ayat di atas. (43).

Kata (غَدَقًا) ghadaqan terambil dari kata (غَدَقَ) ghadaqa atau (غَدِقَ) ghadiqa yang berarti melimpah. Seorang yang terlalu banyak berbicara atau banyak musuhnya dinamai (غَيْدَاق) ghaidāq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *