AYAT 4-5
072: 4. Dan bahwa: Yang picik dari kami selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang melampaui batas,
072: 5. dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan terhadap Allah suatu kebohongan.
Ayat-ayat yang lalu merekam ucapan iblīs yang intinya mengakui kebesaran Allah dan menolak segala macam ketidaksempurnaan yang dinisbatkan kepada-Nya. Ayat di atas melanjutkan ucapan jinn yang menyatakan dan bahwa; Yang picik dan kurang akal dari kaum kami atau secara khusus iblīs selalu mengatakan terhadap Allah Yang Maha Esa dan Maha Suci itu perkataan yang melampaui batas, dan sesungguhnya kami mengira, karena prasangka kami selalu baik, bahwa manusia dan jinn sekali-kali tidak akan mengatakan terhadap Allah suatu kebohongan seperti bahwa Dia memiliki anak dan istri. Semua kebohongan itu, al-Ḥamdulillāh, sirna setelah kami mendengar ayat-ayat al-Qur’ān.
Sementara ulama berpendapat bahwa ucapan jinn yang direkam ayat-ayat di atas menjelaskan mengapa sebelum mendengar petunjuk al-Qur’ān itu mereka mempersekutukan Allah, dan percaya bahwa Dia memiliki istri dan anak. Yakni, itu disebabkan kami teperdaya dan menduga bahwa tidak akan ada manusia maupun jinn yang mengada-ngada terhadap Allah.
Kata (سَفِيْه) safīh pada mulanya digunkan untuk menunjuk seseorang yang lemah akalnya. Kata tersebut digunakan juga oleh al-Qur’ān dalam arti seseorang yang tidak menempuh jalan yang benar tetapi menduga dirinya benar sehingga bersikap kepala batu.
Kata (شَطَطًا) syathathan terambil dari kata (شَطَط) syathath yang pada mulanya berarti sangat jauh. Dari akar kata yang sama, lahir kata (شَطٌّ) syathth, yakni tepi pantai karena ia jauh dari kedalaman laut. Kata tersebut digunakan juga dalam arti sangat jauh dari kebenaran dan keadilan. Dan inilah yang dimaksud oleh ayat di atas.
Ayat-ayat di atas dapat merupakan pelajaran agar seseorang hendaknya baru mengikuti pendapat pihak lain jika ada tanda-tanda yang dapat mendukungnya sebab, kalau tidak, seseorang dapat terjerumus dalam kesalahan-kesalahan bahkan kekufuran. Karena itu Nabi s.a.w. berpesan agar menghindari hal-hal yang samar dan tidak jelas: “Siapa yang menghindari syubhat (hal-hal yang samar) maka ia telah memelihara agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhārī, Muslim, dan lain-lain melalui Nu‘mān Ibn Basyīr).
AYAT 6-7
072: 6. Dan bahwa ada beberapa orang laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jinn, maka mereka menambah bagi mereka kesempitan.
072: 7. Dan sesungguhnya mereka menyangka sebagaimana persangkaan kamu bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang pun.
Kedua ayat di atas dinilai oleh sementara ulama sebagai komentar Allah yang diselipkan di antara ucapan-ucapan para jinn yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu dan yang akan datang. Ada juga yang berpendapat bahwa keduanya adalah lanjutan dari ucapan jinn.
Al-Biqā‘i menilai ayat di atas sebagai lanjutan dari ucapan jinn. Menurutnya, setelah diketahui dari ayat yang lalu bahwa dasar kesesatan adalah dugaan (yang tidak berdasar) dan kesamaran yang mestinya dapat diketahui kesalahannya bila diperhatikan, kini melalui ayat di atas para jinn itu menyebut lagi sebab kesesatan yang lain, yaitu berpegang hanya pada hal-hal yang bersifat indriawi serta khayal dan waham.
Ada pun hubungannya, yang jelas ayat di atas bagaikan menyatakan: dan bahwa ada beberapa orang laki-laki, yakni tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan dan pengaruh, dari jenis manusia yang senantiasa meminta perlindungan karena takut atas diri dan kemaslahatannya kepada beberapa laki-laki, yakni tokoh-tokoh, dari jenis jinn, maka mereka, yakni jinn-jinn itu, menambah bagi mereka, yang meminta perlindungan itu, kesempitan, kesulitan, dan dosa. Dan sesungguhnya mereka, para jinn itu, menyangka sebagaimana persangkaan kamu, wahai para jinn atau wahai kaum kafir Makkah, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang pun setelah kematiannya atau mengutus seorang rasul pun.
Kata (يَعُوْذُوْنَ) ya‘ūdzūna terambil dari kata (الْعَوْذُ) al-‘audz, yakni berlindung guna menghindari gangguan atau bahaya. Dahulu, kaum musyrikin apabila berada di tengah perjalanan atau berhenti di suatu tempat sepi, merasa sangat takut diganggu oleh makhluk halus. Karena itu, mereka meminta perlindungan kepada “Penguasa” tempat itu yang mereka percaya sebagai jinn atau makhluk-makhluk halus. Mereka ber-ta‘awwudz bukan kepada Allah tetapi kepada jinn. Islam datang mengecam sikap mereka itu dengan memerintahkan memohon perlindungan hanya kepada Allah s.w.t. sambil mengajarkan doa-doa yang hendaknya dibaca pada saat-saat tertentu guna menanamkan rasa percaya diri sekaligus mengaitkan jiwa dengan Allah s.w.t. Karena itu – misalnya – Nabi Muḥammad s.a.w. mengajarkan untuk memohon perlindungan Allah ketika akan memasuki kamar kecil (WC) dengan membaca Allāhumma innī a‘ūdzu bika min-al-khubutsi wal-khabā’its (HR. Bukhārī, Muslim, dan lain-lain melalui Anas Ibnu Mālik). Atau ketika akan melakukan hubungan seks dengan membaca Allāhumma jannibnī-sy-syaithāna wa jannib-isy-syaithāna mā razaqanī. (HR. Bukhārī, Muslim, melalui Ibnu ‘Abbās). Ibnu ‘Āsyūr memahami kata ya‘ūdzūna di sini dalam arti mengarah dan menoleh kepada, yakni ada orang-orang yang menyembah jinn karena mereka itu takut gangguannya. Ini serupa dengan sementara orang dewasa ini yang membari sesaji – seperti kepala kerbau saat membangun jembatan – karena takut gangguan apa yang mereka namakan “penghuni tempat” atau makhluk halus.
Baru-baru ini tersebar berita bahwa adanya orang-orang yang memperjualbelikan jinn. Mereka itu tanpa sadar ditipu oleh yang menjualnya lalu si penjual dan pembeli keduanya ditipu oleh jinn yang mereka jual/beli itu. Mereka termasuk dalam apa yang diinformasikan ayat di atas.
Kata (رَهَقًا) rahaqan terambil dari kata (رَهِقَ) rahiqa yang pada mulanya berarti meliputi sesuatu dengan keras serta keterpaksaan. Yang dimaksud di sini adalah diliputi oleh kesulitan dan kesempitan serta dosa dan siksa akibat kesesatan yang dilakukannya itu. Sementara ulama menggarisbawahi bahwa semua orang yang memohon bantuan jinn – walau pada awal hidupnya terlihat bahagia – namun dia tidak akan meninggal dunia, kecuali mengalami kesulitan hidup, bahkan kesengsaraan, di samping tumpukan dosa.
AYAT 8-9.
072: 8. Dan sesungguhnya kami telah menyentuh langit maka kami mendapatinya telah dipenuhi penjagaan yang kuat dan panah-panah api,
072: 9. dan sesungguhnya kami dahulu duduk di sana di sekian tempat untuk mendengar. Tetapi, siapa yang mendengar sekarang, ia akan menjumpai untuknya panah api yang mengintai.
Ayat-ayat di atas masih merupakan lanjutan dari ucapan jinn yang pernah mendengar ayat-ayat al-Qur’ān kepada anggota masyarakat mereka. Pada akhir ayat lalu, mereka menyatakan bahwa ada yang menduga bahwa Allah tidak akan membangkitkan siapa pun yang telah mati atau Allah tidak akan mengutus seorang rasūl pun. Untuk menampik dugaan itu, para jinn tersebut menunjukkan kuasa Allah atas mereka dengan menyatakan bahwa: Dan sesungguhnya kami telah berusaha menyentuh langit, yakni mencoba menuju ke sana untuk mengetahui percakapan para malaikat – sebagaimana yang pernah kami lakukan dahulu, maka kami mendapatinya telah dipenuhi oleh penjagaan yang kuat dari para malaikat dan semburan panah-panah api yang menghalangi kami mendekat, dan sesungguhnya kami dahulu – yakni sebelum Nabi Muḥammad s.a.w. diutus Allah – sering kali dapat duduk di sana, yakni di sekian banyak tempat di langit itu, untuk mendengar berita-beritanya. Ketika itu kami dapat mendengar tanpa ada halangan. Tetapi, siapa yang mencoba secara sungguh-sungguh untuk mendengar seperti itu sekarang ini – yakni setelah Nabi Muḥammad s.a.w. diutus – maka ia akan menjumpai untuk menghalangi-nya panah api yang mengintai sehingga membinasakannya.
Kata (مُلِئَتْ) muli’at terambil dari kata (مَلَأَ) mala’a, yakni penuh. Yang dimaksud di sini adalah sangat banyak.
Kata (شُهُبًا) syuhuban adalah bentuk jamak dari kata (شِهَابٌ) syihāb. Kata ini ada yang memahaminya dalam arti meteor. Ada juga dalam arti sesuatu yang berembus dari planet-planet. Rujuklah ke QS. al-Mulk [67]: 5 untuk memahami pendapat sementara pakar tentang maksud pelontaran jinn dengan syuhub itu! (42).
AYAT 10
072: 10. Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi siapa yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki bagi mereka kebaikan.
Perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w. itu tidak diketahui persis oleh para jinn yang direkam ucapan-ucapannya oleh ayat-ayat yang lalu. Ayat di atas melanjutkan bahwa para jinn itu juga berkata: Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan adanya penjagaan yang demikian ketat itu – walau kami telah berusaha mengetahui – apakah keburukan yang dikehendaki bagi siapa yang di bumi ataukah Tuhan Pemelihara dan Pendidik mereka menghendaki bagi mereka penghuni bumi ini kebaikan yang besar.
Ucapan jinn di atas mengandung banyak pelajaran antara lain: Pertama, sopan santun terhadap Allah adalah sesuatu yang sangat diperhatikan oleh siapa yang beriman. Terbaca pada ayat di atas bagaimana para jinn yang taat itu tidak menisbahkan keburukan kepada Allah dengan menggunakan kalimat yang dikehendaki tetapi di sisi lain menyebut secara tegas sumber kebaikan dengan menyatakan: ataukah Tuhan mereka menghendaki bagi mereka kebaikan. Rujuklah ke QS. al-Fātiḥah dan al-Kahf [18]: 79-82 untuk mengetahui lebih banyak tenang persoalan ini.
Kedua, tidak diketahuinya sesuatu yang berkaitan dengan perincian satu permasalahan yang tidak penting atau yang penting, tetapi di luar kemampuan nalar untuk mengetahuinya sama sekali bukanlah sesuatu yang tercela.
Ketiga, sesuatu yang berada di luar keinginan seseorang bahkan yang boleh jadi dilihatnya buruk, belum tentu bertujuan atau membawa keburukan pula. Allah Maha Mengetahui dan pengetahuan makhluk amat terbatas.
Sementara ulama berpendapat bahwa ucapan di atas adalah ucapan iblīs yang bagaikan menyatakan: Kami tidak mengetahui apakah Allah menghendaki – dengan penjagaan yang ketat itu – jatuhnya siksa bagi penghuni bumi ataukah menghendaki diutusnya rasūl buat mereka. Ada juga yang memahami ayat di atas sebagai ucapan jinn satu sama lain – sebelum mereka mendengar tuntunan al-Qur’ān dan setelah mereka mengetahui telah diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w. Seakan-akan mereka saling berkata: “Kami tidak mengetahui apakah kebinasaan yang dikehendaki bagi penghuni bumi dengan mengutus Nabi Muḥammad s.a.w. jika mereka dustakan ataukah mereka itu akan memperoleh petunjuk dan kebaikan bila mereka percaya.
Kata (رَشَدًا) rasyadan tunggalnya adalah (رَاشَدٌ) rāsyid. Ia terambil dari kata (رَشَدَ) rusyd yang makna dasarnya adalah ketetapan dan kelurusan jalan.