Surah al-Jinn
Surah ini terdiri dari 28 ayat.
Surah ini dinamakan AL-JINN,
yang berarti “Bangsa Jinn”,
diambil dari ayat pertama.
Surah al-Jinn
Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum hijrahnya Nabi Muḥammad s.a.w. ke Madīnah. Ia diduga turun pada tahun ke-10 atau ke-11 dari kenabian, yakni sekitar tiga tahun sebelum hijrah. Ibn Isḥāq menyebutkan bahwa surah ini turun setelah Nabi s.a.w. kembali dari Thā’if untuk menemui suku Tsaqīf dan yang ketika itu beliau tidak disambut dengan baik.
Tujuan utama uraian surah ini menurut banyak ulama adalah menunjukkan kemuliaan Nabi Muḥammad s.a.w. yang ajarannya melampaui jenis manusia bahkan disambutkan baik oleh Jinn. Al-Biqā‘ī (البقاعي) yang juga berpendapat demikian menjelaskan bahwa surah ini menampakkan kemuliaan Nabi Muḥammad s.a.w. yang merupakan “Pembuka” dan Penutup (para nabi) di mana Allah melunakkan hati manusia dan jinn serta makhluk lain sehingga beliau mampu menguasai hati mereka yang sejenis (manusia) dan menguasai pula jiwa yang berbeda jenis dengan manusia, yakni jinn. Hal itu melalui keagungan al-Qur’ān, padahal masa keberadaan beliau di tengah kaumnya kurang dari dua setengah persen dari bilangan keberadaan Nabi Nūḥ a.s. di tengah kaumnya. Nabi Nūḥ a.s. merupakan awal nabi yang diutus kepada para pembangkang tetapi tidak beriman kepada beliau kecuali jumlah yang terbatas. Makna ini – masih menurut al-Biqā‘ī – ditunjukkan oleh nama surah ini Sūrat-ul-Jinn dan Sūratu Qul Ūhiya Ilayya yang bila diperhatikan uraiannya akan mengantar kita memahami tujuann tersebut.
Surah ini merupakan surah yang ke-40 dari segi perurutan turunnya surah-surah al-Qur’ān. Ia turun sesudah surah al-A‘rāf dan sebelum surah Yāsīn. Jumlah ayat-ayat menurut berbagai cara perhitungan adalah dua puluh delapan ayat.
KELOMPOK 1
AYAT 1-17.
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا. يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَ لَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. وَ أَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَ لَا وَلَدًا. وَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ سَفِيْهُنَا عَلَى اللهِ شَطَطًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ تَقُوْلَ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى اللهِ كَذِبًا. وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا. وَ أَنَّهُمْ ظَنُّوْا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَّنْ يَبْعَثَ اللهُ أَحَدًا. وَ أَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَ شُهُبًا. وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا. وَ أَنَّا لَا نَدْرِيْ أَشَرٌّ أُرِيْدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا. وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا. وَ أَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللهَ فِي الْأَرْضِ وَ لَنْ نُّعْجِزَهُ هَرَبًا. وَ أَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَ لَا رَهَقًا. وَ أَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَ مِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا. وَ أَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا. وَ أَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا. لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.
AYAT 1-3
072: 1. Katakanlah: Telah diwahyukan kepadaku bahwa: Sekelompok jinn telah mendengarkan dengan tekun, lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan.”
072: 2. (Ia) memberi petunjuk ke jalan yang benar, maka kami beriman kepadanya dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan dengan Tuhan kami suatu apa pun.
072: 3. dan bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak mengambil seorang istri dan tidak (pula) anak.
Menurut al-Biqā‘ī, surah yang lalu berbicara tentang Nabi Nūḥ a.s. yang merupakan Rasūl Allah yang pertama diutus kepada para pembangkang dan penyembah berhala. Mereka menolak ajakannya padahal Nabi Nūḥ a.s. adalah salah seorang dari anggota masyarakat mereka dan yang bahasanya adalah bahasa mereka pula. Surah yang lalu itu diakhiri dengan doa Nabi Nūḥ a.s. atas mereka itu. Nabi Muḥammad s.a.w. adalah akhir rasūl Allah, yang diutus-Nya kepada seluruh makhluk di seluruh penjuru dunia. Kaum Nabi Muḥammad s.a.w. memiliki persamaan yang banyak dengan kaum Nabi Nūḥ a.s., bahkan sampai kepada nama-nama berhala yang mereka sembah (Rujuk penafsiran ayat 23 dari surah Nūḥ). Namun demikian, mereka pada akhirnya menerima ajakan beliau dalam jumlah yang berlipat ganda dari jumlah yang menerima ajakan Nabi Nūḥ a.s. kendati masa kehadiran Nabi Muḥammad s.a.w. sangat singkat. Ini disebabkan keagungan al-Qur’ān dan karena itu awal ayat surah ini mengingatkan hal tersebut sambil mengisyaratkan kecaman kepada masyarakat ‘Arab yang tidak bersegera menyambut ajakan beliau padahal mereka mengetahui petunjuk kitab suci itu, baik lafal maupun maknanya, karena kitab itu menggunakan bahasa mereka dan Nabi yang menyampaikannya pun dari suku bangsa mereka bahkan orang yang terdekat kepada mereka. Demikian al-Biqā’ī.
Ayat di atas menyatakan: Katakanlah, wahai Nabi Muḥammad, kepada manusia seluruhnya, khususnya yang mengingkari kerasulanmu, bahwa: “Telah diwahyukan kepadaku, yakni telah diberitahukan kepadaku oleh Allah melalui malaikat Jibril dan dengan cara tersembunyi, bahwa: Sekelompok jinn telah mendengarkan dengan tekun bacaanku terhadap ayat-ayat al-Qur’ān ketika aku membacanya di Bathn Makkah, suatu tempat antara Thā’if dan Makkah saat aku melaksanakan shalat shubuh lalu mereka para jinn itu berkata kepada kaumnya setelah mereka kembali ke tempat mereka bahwa: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan” sempurna yang sangat indah lagi menakjubkan kata-kata dan kandungannya. Kami belum pernah mendengar bacaan seindah itu. Ia memberi petunjuk dengan jelas lagi lemah-lembut ke jalan yang benar. Kami sadar bahwa bacaan itu tidak mungkin hasil buatan makhluk. Itu pasti merupakan firman Allah Yang Maha Esa, maka kami semua yang mendengarnya beriman kepadanya dan kami sekali-kali sejak saat ini tidak lagi akan mempersekutukan dengan Tuhan Pemelihara dan Pembimbing kami yang menurunkan bacaan mulia itu suatu apa pun dari makhluk-makhlukNya.
Setelah mereka menjelaskan tekad mereka untuk tidak mempersekutukan Allah, mereka menggambarkan penyucian Allah dari segala kekurangan dengan berkata: Dan bahwa Maha Tinggi sehingga tidak terjangkau oleh siapa dan apa pun kebesaran Tuhan kami, Dia tidak mengambil seorang istri dan tidak pula anak.
Perintah Allah kepada Nabi untuk menyampaikan apa yang terjadi di atas agaknya untuk mengisyaratkan bahwa, di samping kepada manusia, beliau juga diutus kepada jinn dan bahwa, kendati mereka makhluk halus serta memiliki sifat yang berbeda dengan manusia, mereka mengetahui keistimewaan al-Qur’ān dan kebenaran Nabi Muḥammad s.a.w. Perintah ini perlu diketahui oleh masyarakat umum bukan saja untuk menjelaskan adanya makhluk berakal yang tidak terjangkau oleh indra manusia, tetapi juga untuk menegaskan betapa ajaran yang disampaikan Nabi Muḥammad s.a.w. adalah ajaran yang benar serta diakui oleh jenis selain manusia.
Sementara ulama menjadikan pemberitahuan Allah di atas sebagai bukti bahwa ketika itu Nabi s.a.w. tidak mengetahui bahwa jinn mendengarkan bacaan al-Qur’ān. Ulama lain mengatakan bahwa memang pada mulanya Nabi s.a.w. tidak mengetahui tetapi, setelah turunnya surah ini, beliau diperintahkan berkunjung kepada jinn untuk membacakan al-Qur’ān dan menyampaikan dakwahnya.
Kata (نَفَرٌ) nafar digunakan untuk menunjuk kelompok yang terdiri dari tiga sampai sembilan atau sepuluh orang. Konon, ketika itu, ada tujuh atau sembilan orang jinn yang tekun mendengarkan al-Qur’ān.
Kata (جَنٌّ) Jinn terambil dari kata (جَنَنَ) janana yang berarti tersembunyi. Ia tercipta dari api (baca QS. ar-Raḥmān [55]: 15). Berbeda-beda pendapat ulama tentang hakikat Jinn. Sementara orang yang sangat rasional menolak adanya makhluk halus yang bernama Jinn. Pakar-pakar Islam yang sangat rasional tidak mengingkari ayat-ayat al-Qur’ān yang berbicara tentang jinn, hanya saja mereka memahaminya bukan dalam pengertian hakiki. Aḥmad Khān (1817-1898M) – seorang pemikir India – misalnya memahami jinn sebagai jenis manusia yang belum berperadaban. Menurutnya, al-Qur’ān menyebut kata jinn sebanyak lima kali dalam konteks bantahan terhadap keyakinan kaum musyrikin ‘Arab. Ayat-ayat tersebut, menurutnya, tidak dapat dijadikan bukti tentang adanya makhluk yang bernama jinn seperti keyakinan umumnya kaum muslimin. Adapun makna ayat-ayat selain dari kelima ayat yang dalam konteks bantahan itu adalah manusia-manusia liar yang hidup di hutan-hutan atau tempat-tempat terpencil di pergunungan. Demikian antara lain alasannya. Pendapat ini dinilai menyimpang oleh mayoritas ulama. “Kalau memang yang dimaksud dengan jinn dalam al-Qur’ān adalah jenis manusia, mengapa Allah memilih kata tersebut yang dapat menimbulkan kerancuan? Bukankah maksud Allah menguraikan tentang jinn antara lain untuk mengikis kepercayaan jahiliah? Dan, seperti diketahui, masyarakat Jahiliah memercayainya bukan dalam arti manusia terbelakang tetapi justru makhluk yang sangat berbeda dengan manusia.” Demikian bantahan al-Maududi seorang ulama terkemuka Pakistan. Kita pun dapat bertanya apakah jinn yang diuraikan dalam surah ini juga manusia-manusia terkebelakang? Apakah mereka yang menyatakan pernah satu ketika menyentuh langit dapat dinamai terkebelakang? (Baca ayat 8-9 surah ini!).
Dalam Ensiklopedia Abad XX karya Muḥammad Fāris Wajdī dinyatakan bahwa, dalam pandangan kaum muslimin, jinn adalah: “Makhluk yang bersifat hawa (udara) atau api, berakal, dapat berbentuk dengan berbagai bentuk dan mempunyai kemampuan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat.” Sayyid Sābiq seorang ulama Mesir kontemporer mendefinisikan jinn sebagai: “Sejenis ruh berakal, berkehendak, mukallaf (dibebani tugas keagamaan oleh Allah, seperti halnya manusia) tetapi tidak berbentuk materi, kasar sebagaimana yang dimiliki manusia, yakni luput dari jangkauan indra, atau tidak dapat terlihat sebagaimana keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang sesungguhnya dan mereka mempunyai kemampuan untuk tampil dalam berbagai bentuk.”
‘Ā’isyah ‘Abd-ur-Raḥmān atau yang populer dengan Bint-usy-Syāthi‘ seorang ulama dan cendekiawan wanita Mesir kontemporer, tidak membatasi pengertian jinn pada apa yang selama ini tergambar dalam benak ulama masa lampau. Melihat kebiasaan al-Qur’ān memperhadapkan penyebutan jinn dengan ins (manusia), ulama itu memahami bahwa kata jinn sebagai makhluk yang dapat mencakup semua jenis makhluk yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat atau tidak terjangkau dan yang berada di luar batas alam tempat kita manusia hidup serta tidak terikat pula dengan hukum-hukum alam yang mengatur kehidupan kita sebagai manusia. Atas dasar itu, Bint-usy-Syāthi‘ tidak menutup kemungkinan masuknya apa yang di dinamai UFO (Unidentified Flying Object) dalam kategori apa yang dinamai jinn. Sebelum ulama ini, Syaikh Muḥammad ‘Abduh juga pernah menyatakan bahwa apa yang dinamai virus dan kuman-kuman boleh jadi juga adalah salah satu jenis jinn. (Rujuklah ke buku Penulis Yang Tersembunyi untuk memahami lebih banyak tentang makhluk halus itu).
Kata (عَجَبًا) ‘ajaban terambil dari kata (الْعَجَبُ) al-‘ajab, yakni sesuatu yang mengundang rasa takjub atau heran karena ia tampil berbeda dari apa yang selama ini dikenal. Al-Qur’ān menakjubkan dan mengherankan karena redaksi dan kandungannya yang sungguh jauh berbeda dengan apa yang dikenal selama ini. Dia mengherankan dan menakjubkan juga karena langgam dan getaran nada yang dihasilkan oleh pilihan kata-katanya.
Kata (رُشْد) rusyd antara lain digunakan dalam arti kebajikan, kebenaran, dan petunjuk.
Kata (تَعَالَى) ta‘ālā terambil dari kata (عَلَا) ‘alā, yakni meninggi. Yang dimaksud adalah tinggi yang luar biasa sehingga tidak terjangkau oleh apa dan siapa pun. Huruf tā’ yang digunakan di sini “memimpin” makna kesungguhan dan keterpaksaan guna menunjuk kepada ketinggian-Nya yang sedemikian luar biasa. Ini karena biasanya manusia yang memaksa diri dan bersungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu, pencapaiannya akan melampaui batas siapa pun yang tidak bersungguh-sungguh atau tidak memaksa diri. Bahwa kata ini hanya “meminjam” karena bagi Allah tidak ada istilah keterpaksaan dan kesungguhan berupaya sebagaimana yang dilakukan oleh makhluk.
Kata (جَدٌّ) jadd ada yang memahaminya dalam arti kebesaran dan keagungan, ada juga kekayaan dan ketidakbutuhan kepada sesuatu. Ada lagi yang memahaminya dalam arti kekuasaan. Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa kata tersebut digunakan di sini untuk menggambarkan kesempurnaan Allah yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Penegasan sifat Allah itu merupakan argumentasi tentang ketidakbutuhan-Nya kepada anak dan pasangan. Istri dibutuhkan sebagai pendamping hidup, pemenuhan kemesraan, serta untuk mendapat anak, sedang anak dibutuhkan untuk membantu dan melanjutkan keturunan. Allah tidak butuh lagi Maha Kaya dan Agung karena itu Allah tidak memiliki pasangan tidak juga anak.