Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Jalalain (2/3)

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Jinn 72 ~ Tafsir al-Jalalain

وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ للهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.

18. (وَ أَنَّ الْمَسَاجِدَ) “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu” atau tempat-tempat salat itu (للهِ فَلَا تَدْعُوْا) “adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kalian menyembah” di dalamnya (مَعَ اللهِ أَحَدًا) “seseorang pun di samping Allah” seumpamanya kalian berbuat kemusyrikan di dalamnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, yaitu apabila mereka memasuki gereja dan sinagog mereka, maka mereka menyekutukan-Nya.

وَ أَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ كَادُوْا يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.

19. (وَ أَنَّهُ) “Dan bahwasanya” dapat dibaca annahu dan innahu; juga merupakan kalimat baru, sedangkan dhamīr yang ada ialah dhamīr sya’n (لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ) “tatkala hamba Allah berdiri” yakni Nabi Muḥammad saw. (يَدْعُوْهُ) “menyembah-Nya” beribadah kepada-Nya di lembah Nakhl (كَادُوْا) “hampir saja mereka” yakni jin-jin yang mendengarkan bacaan al-Qur’ān itu (يَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِ لِبَدًا.) “desak-mendesak mengerumuninya” yaitu sebagian di antara mereka menindih sebagian yang lain berjejal-jejal karena keinginan mereka yang sangat untuk mendengarkan bacaan al-Qur’ān. Lafal libadan dapat pula dibaca lubadan; dan merupakan bentuk jamak dari lubdatun.

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا.

20. (قُلْ) “Berkatalah dia” Nabi Muḥammad berkata sebagai jawabannya terhadap orang-orang kafir yang mengatakan kepadanya, kembalilah kamu dari apa yang kamu lakukan sekarang ini. Akan tetapi menurut qirā’at yang lain lafal qāla dibaca qul, artinya katakanlah: (إِنَّمَا أَدْعُوْ رَبِّيْ) ““Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbku” sebagai Tuhanku (وَ لَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا) “dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya”.”

قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَ لَا رَشَدًا.

21. (قُلْ إِنِّيْ لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa untuk mendatangkan sesuatu kemudaratan pun kepada kalian” atau keburukan (وَ لَا رَشَدًا) “dan tidak pula sesuatu kemanfaatan”.” Atau kebaikan.

قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ مُلْتَحَدًا.

22. (قُلْ إِنِّيْ لَنْ يُجِيْرَنِيْ مِنَ اللهِ) “Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada yang dapat melindungiku dari Allah” dari adzab-Nya jika aku mendurhakai-Nya (أَحَدٌ وَ لَنْ أَجِدَ مِنْ دُوْنِهِ) “seseorang pun, dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh selain dari-Nya” atau selain-Nya (مُلْتَحَدًا) “tempat untuk berlindung” maksudnya, tempat aku berlindung.

إِلَّا بَلَاغًا مِّنَ اللهِ وَ رِسَالَاتِهِ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا.

23. (إِلَّا بَلَاغًا) “Akan tetapi, aku hanya, menyampaikan peringatan” makna yang dikandung dalam lafal ini merupakan pengecualian atau istitsnā dari maf‘ūl atau objek yang terdapat di dalam lafal amliku. Yakni aku tiada memiliki bagi kalian selain hanya menyampaikan peringatan (مِّنَ اللهِ) “dari Allah” yang aku terima dari-Nya (وَ رِسَالَاتِهِ) “dan risalah-Nya” lafal ini di-‘athaf-kan kepada lafal balāghan dan lafal-lafal yang terdapat di antara mustatsnā minhu dan istitsnā merupakan jumlah mu‘taridhah atau kalimat sisipan yang berfungsi untuk mengukuhkan makna tiada memiliki. (وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ) “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasūl-Nya” dalam hal ketauhidan, lalu ia tidak beriman (فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ) “maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam, mereka kekal” lafal khālidīna adalah ḥāl atau kata keterangan keadaan dari dhamīr man. Sehubungan dengan lafal lahū dhamīr yang ada padanya adalah untuk menyesuaikan maknanya dengan lafal man. Lafal khālidīna ini merupakan ḥāl dari lafal yang tidak disebutkan, lengkapnya mereka memasukinya dalam keadaan pasti kekal (فِيْهَا أَبَدًا) “di dalamnya untuk selama-lamanya.”

حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا.

24. (حَتَّى إِذَا رَأَوْا) “Sehingga apabila mereka melihat” lafal hattaa di sini mengandung makna ibtida’iyyah atau permulaan, dan sekaligus mengandung makna ghayah atau tujuan terakhir dari lafal yang diperkirakan sebelumnya; lengkapnya, mereka masih tetap berada di dalam kekafirannya sehingga mereka melihat (مَا يُوْعَدُوْنَ) “apa yang diancamkan kepada mereka” yaitu adzab (فَسَيَعْلَمُوْنَ) “maka mereka akan mengetahui” manakala adzab itu datang menimpa mereka, yaitu dalam perang Badar atau pada hari kiamat nanti (مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَ أَقَلُّ عَدَدًا) “siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit bilangannya”.” maksudnya pembantu-pembantunya, apakah mereka ataukah orang-orang mukmin; penafsiran ini menurut pendapat yang pertama, yaitu dalam perang Badar. Aku ataukah mereka; penafsiran ini berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pada hari kiamat nanti. Sebagian di antara mereka, atau di antara orang-orang kafir itu ada yang bertanya, kapankah datangnya ancaman yang dijanjikan itu? Kemudian turunlah firman selanjutnya, yaitu:

قُلْ إِنْ أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا.

25. (قُلْ إِنْ) “Katakanlah: “Tiadalah” tidaklah (أَدْرِيْ أَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ) “aku mengetahui apa yang diancamkan kepada kalian itu dekat” artinya, apakah adzab itu dekat (أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّيْ أَمَدًا) “ataukah Rabbku menjadikan bagi kedatangannya masa yang panjang?” Yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali hanya Dia.

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.

26. (عَالِمُ الْغَيْبِ) “Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib” mengetahui semua hal yang ghaib di mata hamba-hambaNya (فَلَا يُظْهِرُ) “maka Dia tidak memperlihatkan” tidak menampakkan (عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا) “kepada seorang pun tentang yang ghaib itu” di antara manusia ini.

إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا.

27. (إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَإِنَّهُ) “Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia” di samping Dia memperhatikan hal yang ghaib kepada Rasūl-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya sebagai mukjizat bagi rasūl itu (يَسْلُكُ) “mengadakan” menjadikan dan memberlakukan (مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ) “di muka” rasūl itu (وَ مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا) “dan di belakangnya penjaga-penjaga” yang terdiri dari malaikat-malaikat untuk menjaganya, hingga rasūl itu dapat menyampaikan hal tersebut, di antara sejumlah wahyu-wahyuNya kepada manusia.

لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوْا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا.

28. (لِيَعْلَمَ) “Supaya Dia mengetahui” yakni supaya Allah menampakkan (أَنْ) “bahwa” adalah bentuk takhfīf dari anna. (قَدْ أَبْلَغُوْا) “sesungguhnya mereka itu telah menyampaikan” yakni rasūl-rasūl itu (رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ) “risalah-risalah Rabbnya” di sini dipakai dhamīr hum karena memandang segi makna yang terkandung di dalam lafal man (وَ أَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ) “sedangkan, sebenarnya, ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka” di-‘athaf-kan kepada lafal yang tidak disebutkan, lengkapnya ilmu mengenai hal tersebut telah diliputi oleh ilmu-Nya (وَ أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا) “dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.”” lafal ‘adadan adalah tamyīz yang mengganti kedudukan maf‘ūlnya, asalnya ialah “aḥshā ‘adada kulli syai’in,” yakni Dia telah menghitung bilangan segala sesuatu.

Unduh Rujukan:

  • [download id="14721"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *