Surah al-Insyiqaq 84 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 84; 25 ayat
Al-Insyiqāq
(terbelah).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah al-Insyiqāq

Orang yang meniti jalan sempit watak kemanusiaan untuk menuju jagat raya ketuhanan, dan menghadap ke Ka‘bah keesaan untuk berpaling dari alam kebanyakan; pasti mengetahui bahwa istilah kembali dan pulang, itu sesuai dengan balik ke permulaan dan kemunculan awal. Sedangkan istilah bergantung dan naik, cocok dengan kemunduran dan kemerosotan. Sebagaimana halnya jiwa dan roh manusia dapat turun ke dunia dari langit nama-nama Ilahi – yang diekspresikan dengan alam ketuhanan yang bersih dari berbagai macam noda kekurangan dan kejadian secara mutlak – menuju alam tabiat dan watak kemanusiaan yang dikeruhkan oleh berbagai macam kotoran; ia juga dapat naik menuju ke alam ketuhanan setelah mendapat persetujuan dari Allah s.w.t. dan diberi bantuan dari sisi-Nya.

Ada berbagai tanda dan waktu yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. dalam ilmu dan lembaran qadha-Nya, untuk dapat naik dan mendaki alam ketuhanan. Namun Dia tidak memberitahukan waktu tersebut kepada seorang pun. Hanya saja, dalam surah al-Insyiqāq ini, Dia memberitahukan beberapa tanda dan isyarat yang menunjukkan seseorang telah naik ke alam ketuhanan. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang mengetahui semua hal yang terjadi pada masa awal penciptaan sesuai dengan kedermawanan Dzat-Nya, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada ciptaan-Nya tersebut dengan memberikan bantuan dan melanggengkannya sampai ke hari yang dijanjikan, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada hamba-hambaNya yang khusus dengan cara mengantarkan mereka menuju martabat kasyaf (penyingkapan) dan syuhūd (penyaksian).

Ayat 1.

(إِذَا السَّمَاءُ) [Apabila langit], yakni langit dari alam tabiat dan penopang, telah (انْشَقَّتْ) [terbelah] dan robek sehingga arwah dapat naik menuju langit nama-nama dan sifat-sifatNya, setelah berbagai batasan disingkirkan dan bagian-bagian pelengkap dihilangkan.

Ayat 2.

(وَ أَذِنَتْ لِرَبِّهَا) [Dan patuh kepada Rabbnya], yakni memperhatikan dan tunduk kepada hukum dan perintah Allah s.w.t. yang terus-menerus membelahnya, (وَ) [dan] setelah diperintahkan, (حُقَّتْ) [sudah semestinya itu patuh] dan menerima keadaannya dengan menjalankan semua yang diperintahkan kepadanya.

Ayat 3.

(وَ إِذَا الْأَرْضُ) [Apabila bumi], yakni bumi tabiat dan watak yang menerima kecenderungan alami karena mendapatkan pantulan pengaruh dari langit nama-nama dan sifat-sifatNya, (مُدَّتْ) [diratakan] dan dibentangkan untuk kemudian dilipat.

Ayat 4.

(وَ أَلْقَتْ) [Dan memuntahkan] serta mengeluarkan (مَا فِيْهَا) [apa yang ada di dalamnya] sehingga tampaklah ketakwaan yang dititipkan dan menerima limpahan cahaya Dzat, (وَ تَخَلَّتْ) [dan menjadi kosong] dari keterjagaan amanat ilahiyah.

Ayat 5.

(وَ أَذِنَتْ لِرَبِّهَا) [Dan patuh kepada Rabbnya] dalam hal penerimaan dan pelepasan, maka (وَ حُقَّتْ) [sudah semestinya bumi itu patuh] dan tunduk untuk meraih martabat ‘ubūdiyyah. Pada saat itu, akan tersingkap kepadanya pahala atas semua yang telah dilakukannya di dunia.

Kemudian Allah s.w.t. berseru kepada manusia untuk memperingatkan, menggali, menggerakkan antusiasme fitrah, dan merangkai ketaatan, dengan berfirman:

Ayat 6.

(يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ) [Hai manusia] yang dihiasi dengan hiasan Sang Rahman, dan dipilih di antara makhluk untuk menunjukkan hikmah khilafah dan perwakilan serta memberitahukan kemaslahatan ma‘rifah dalam tauhid; ketahuilah kemampuanmu dan janganlah kamu melupakan hakikat dirimu. Sebab (إِنَّكَ كَادِحٌ) [sesungguhnya kamu telah bekerja] dan berusaha untuk mengesakan serta mendekatkan diri (إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا) [dengan sungguh-sungguh menuju Rabbmu] serta meniadakan identitasmu dalam identitas-Nya. (فَمُلَاقِيْهِ) [Maka pasti kamu akan menemui-Nya] sesuai dengan usaha dan kerja kerasmu. Maka dari itu, hendaknya kamu tidak memisahkan diri dari sesuatu yang dapat mengantarkanmu sampai kepada-Nya dan menenggelamkan dirimu dalam diri-Nya setelah kamu mendapat kegembiraan dan taufiq dari sisi-Nya, supaya kamu masuk dalam golongan orang-orang yang mendapat kebahagiaan dan karamah, yang dinamai dengan ashḥāb-ul-yamīn (golongan kanan) yang diberi catatan amal melalui tangan kanannya, di mana kondisi ini menjadi tanda keimanan dan kema‘rifatan mereka.

Ayat 7.

(فَأَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ) [Adapun orang yang diberikan kitabnya] yang terlipat dan berisi semua catatan amal yang dilakukannya secara rinci, (بِيَمِيْنِهِ) [dari sebelah kanannya], di mana ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan, kemuliaan, dan keridhaan.

Ayat 8.

(فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيْرًا) [Maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah], gampang, dan cepat.

Ayat 9.

(وَ يَنْقَلِبُ) [Dan ia akan kembali] setelah penghisaban, (إِلَى أَهْلِهِ) [kepada kaumnya] yang merupakan teman-temannya dalam meraih kebahagiaan dan karamah (مَسْرُوْرًا) [dengan gembira], senang, dan bersuka-cita.

Ayat 10.

(وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ) [Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang], di mana ini merupakan tanda-tanda kesengsaraan, ketercelaan, hukuman, dan berbagai celaan serta penyesalan.

Ayat 11.

(فَسَوْفَ يَدْعُوْ) [Maka ia akan berteriak] keras dengan berkata: (ثُبُوْرًا) [“Celakalah aku], binasalah diriku” dikarenakan penghisaban atas dirinya begitu lama, dan karena keburukannya mengalahkan kebaikannya.

Ayat 12.

(وَ) [Dan] di akhirat nanti, (يَصْلَى) [ia akan masuk] dan dilemparkan dalam keadaan terhina (سَعِيْرًا) [ke dalam kobaran api] yang dinyalakan dengan api syahwat dan kelalaian yang berasal dari dirinya dikarenakan ia mengikuti berbagai macam angan-angan, khayalan, kesesatan, dan kebodohan yang muncul dari kekuatan hewani yang berasal dari kesewenang-wenangan tabiat.

Ayat 13.

(إِنَّهُ كَانَ فِيْ أَهْلِهِ مَسْرُوْرًا) [Sesungguhnya ia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir)], bersuka-cita dan bersikap sombong dengan harta, pangkat, kekayaan, dan kekuasaan yang dimilikinya, serta merasa lebih unggul atas teman-temannya yang lain. Dan ia pun berjalan di atas bumi dengan penuh kecongkakan.

Ayat 14.

Yang membuatnya berlaku demikian karena (إِنَّهُ ظَنَّ) [sesungguhnya ia merasa yakin], berdasarkan kebodohan dan penentangannya, (أَنْ لَّنْ يَحُوْرَ) [bahwa ia sekali-kali tidak akan kembali] kepada Allah s.w.t. dan tidak akan berdiri di hadapan-Nya untuk dihisab dan diberi hukuman. Karena itulah ia berani melakukan berbagai macam kemaksiatan.

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 15.

(بَلَى) [Bukan demikian), yang benar] sebagai bantahan atas persangkaan yang telah disebutkan sebelumnya dan membenarkan infromasi yang disebutkan sesudahnya dengan nada peringatan, bahwa (إِنَّ رَبَّهُ) [sesungguhnya Rabbnya] yang telah mengajarinya fitrah ma‘rifat dan menciptakannya dalam keadaan bertauhid: (كَانَ بِهِ بَصِيْرًا) [selalu melihatnya] dan mengetahui rincian perbuatannya, di mana tidak ada satu pun dari perbuatan dan keadaannya yang keluar dari jangkauan ilmu-Nya. Jadi Allah s.w.t. tidak membiarkannya begitu saja. Dia akan tetap mengembalikan dan memberi balasan kepadanya.

Selanjutnya Dia berfirman:

Ayat 16.

(فَلَا أُقْسِمُ) [Maka sesungguhnya Aku tidak bersumpah] untuk mendatangkan hari kiamat dan menegaskan keberadaan pahala, hukuman, balasan, penghabisan, dan perkara-perkara lain yang terjadi pada hari itu. Sebab semua itu adalah perkara yang nampak dan terlihat jelas oleh ahli kasyaf dan syuhūd dari kalangan para pecinta dan wali yang telah sampai di lautan tauhid dan mata air hakikat. Namun Aku bersumpah (بِالشَّفَقِ) [dengan cahaya merah di waktu senja] yang menjauh dari belas kasih dan ampunan Ilahi. Ia adalah cahaya putih yang menghilang dari ufuk alam ketuhanan saat habisnya waktu bagi berkembangnya watak kemanusiaan. Ini terjadi pada saat Allah s.w.t. memutuskan untuk mengumpulkan catatan semua keadaan dan identitas.

Ayat 17.

(وَ اللَّيْلِ) [Dan dengan malam] maksudnya: Aku bersumpah dengan waktu malam, yakni dengan tingkatan keesaan Ilahi: (وَ مَا وَسَقَ) [dan apa yang diselubunginya], yakni bersumpah dengan gabungan berbagai cahaya yang memantulkan bayangan dasar semua makhluk.

Ayat 18.

(وَ الْقَمَرِ) [Dan dengan bulan] maksudnya: Aku juga bersumpah dengan bulan, yakni wujud pelengkap yang membentang di atas cermin ketiadaan, yang memantul dari matahari zat keesaan yang menyinari jagat raya ketuhanan: (إِذَا اتَّسَقَ) [apabila jadi purnama], sempurna, merata, dan mencakup semuanya. Ia pun menjadi bulan purnama secara sempurna, tanpa kekurangan sama sekali.

Ayat 19.

Wahai orang-orang mukallaf, (لَتَرْكَبُنَّ) [sesungguhnya kamu akan melalui] dan akan dilemparkan ke dalam api keterputusan dan kekurangan, lalu (طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ) [setingkat demi setingkat] menjauhinya, melewatinya dalam keadaan sangat ketakutan dengan kengeriannya, menjauhi bagian dasar neraka dan fase-fase pembakarannya, serta merasakan berbagai siksaan dan kepedihan lainnya.

Ringkasnya, dengan sumpah-sumpah yang agung ini, kamu akan masuk ke dalam neraka yang bertingkat-tingkat seandainya kamu mengingkari Allah s.w.t., melanggar perintah-Nya, dan keluar dari ketentuan-ketentuan dan hukum-hukumNya.

Ayat 20.

Setelah mereka mendengar penjelasan dari Sang Maha Benar, (فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ) [mengapa mereka tidak mau beriman] dan tidak mau disifati sebagai orang-orang yang tunduk dan berserah diri? Apa saja yang telah ditawarkan kepada mereka, dan apa yang telah terjadi dengan diri mereka? Apabila setelah adanya berbagai teguran dan peringatan dari Allah s.w.t. melalui lisan para rasul dan kitab-kitab yang mereka bawa?

Ayat 21.

(وَ) [Dan] di antara tindakan mereka yang melupakan Allah s.w.t. dengan sangat keterlaluan, dan kesesatan mereka dari jalan hidayah dan petunjuk adalah: (إِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ) [apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka] di mana al-Qur’an berfungsi untuk menjelaskan tentang jalan kebenaran, keimanan, dan ma‘rifat: (لَا يَسْجُدُوْنَ) [mereka tidak bersujud], tidak mau tunduk, dan tidak mau patuh, padahal al-Qur’an diturunkan hanya untuk memberi hidayah dan petunjuk kepada mereka. Sebaliknya, mereka malah bersikap menentang dan berlaku sombong, jadi bagaimana mungkin mereka mau tunduk dan patuh?

Ayat 22.

(بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَ) [Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan] al-Qur’an, mendustakan kedudukannya, dan mendustakan orang yang menjadi obyek diturunkannya al-Qur’an.

Ayat 23.

(وَ اللهُ) [Padahal Allah], Dzat yang dapat melihat segala sesuatu yang tersimpan dalam hati hamba-Nya, (أَعْلَمُ) [lebih mengetahui] dengan ilmu-Nya, (بِمَا يُوْعُوْنَ) [apa yang mereka sembunyikan]. Maksudnya, Allah s.w.t. mengetahui semua bentuk kekufuran, pengingkaran, kedustaan, permusuhan, kelalaian, dan kezaliman yang mereka sembunyikan dalam jiwa mereka; dan Dia akan membalas mereka sesuai dengan pengetahuan-Nya tentang sesuatu yang ada dalam jiwa mereka.

Ayat 24.

(فَبَشِّرْهُمْ) [Maka berilah kabar gembira kepada mereka] dengan nada mengejek dan mencemooh, wahai Rasul yang paling sempurna, (بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ) [dengan adzab yang pedih] yang akan diturunkan kepada mereka pada saat mereka dihukum karena kemaksiatan dan dosa mereka.

Ayat 25.

(إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ) [Tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh] dari mereka yang keluar dari dilema kezaliman dengan berpegang teguh pada ikatan iman dan bergantung pada tali al-Qur’an: (لَهُمْ أَجْرٌ) [bagi mereka pahala] yang besar (غَيْرُ مَمْنُوْنٍ) [yang tidak ada putus-putusnya] maupun berkurang, jika mereka memang benar-benar ikhlas dalam keimanan dan kepatuhan mereka.

“Perbuatlah kepada kami apa yang Engkau inginkan, waktu Tuhan kami.”

 

Penutup Surah al-Insyiqāq

Wahai orang yang mengimani keesaan Allah s.w.t., mengikuti ajaran Muḥammad s.a.w., dan diciptakan dalam fitrah iman dan ‘irfān – semoga Allah s.w.t. menempatkanmu di posisi yang mudah bagimu dan meneguhkanmu di posisi tersebut -; kamu harus memegang erat tali taufiq Ilahi, bergantung di ujung cita-cita pemilik kebenaran dari kalangan para nabi dan rasul yang mendapat dan memberi hidayah, dan dari kalangang para wali yang diberi hidayah. Sebab merekalah intisari dunia dan pemilik kasyaf serta syuhūd yang terbaik.

Kamu harus berakhlak dengan akhlak mereka, mengikuti ajaran yang mereka wariskan, mencari petunjuk dari sang pemberi petunjuk yang bijak – yaitu al-Qur’ān al-Karīm – yang mengantarkan peraih anugerah menuju kemurnian tauhid dan menggugurkan berbagai macam taklid yang tertanam dalam hati orang-orang yang lalai dan berprasangka.

Kamu harus merenungkan zhāhir dan bāthin al-Qur’an, batasan-batasan dan isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya sehingga perenungan tersebut dapat menuntutmu untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi lagi dari isyarat-isyarat yang ditanamkan Allah s.w.t. dalam al-Qur’an, dan menjadikan sebagian jiwa yang suci, rela untuk binasa dalam kesucian zat yang kekal.

Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita sebagai pembantu dan debu telapak kaki mereka.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *