Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-Insan 76 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-76
AL-INSĀN

Surat al-Insān bermakna manusia, diturunkan di Madīnah sesudah surat ar-Raḥmān. Ada yang mengatakan bahwa surat al-Insān turun di Makkah. Surah al-Insān juga dinamakan dengan ad-Dahr, surat al-Amsyāj, dan Hal atā, terdiri dari 31 ayat.

A. KANDUNGAN ISI

Surat ini membicarakan tentang bangkit, kejadian manusia, masalah manusia memperoleh petunjuk, dan dampak kebajikan dan kejahatan.

Surat ini juga memperingatkan orang-orang yang mengingkari adanya neraka yang mengingkari Allah dan Rasūl-Nya di akhirat, sekaligus menggembirakan orang-orang yang berbuat kebajikan dengan berbagai macam nikmat yang akan mereka peroleh di surga.

Pada akhir surat, Allah memerintahkan Nabi s.a.w. bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan menyebut nama Allah pada pagi dan petang hari di samping bertahajjud pada malam hari.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Qiyāmah) dengan surat ini adalah bahwa dalam surat yang telah lalu, Tuhan menjelaskan huru-hara yang akan dialami oleh orang-orang yang berbuat maksiat pada hari kiamat, sedangkan dalam surat ini Tuhan menjelaskan nikmat kesenangan di surga yang akan diberikan kepada mereka yang berbuat kebajikan di dunia.

Saat menjalankan shalat Shubuḥ pada hari Jum‘at, Rasūlullāh selalu membaca surat Alif lām mīm tanzīl (as-Sajdah) dan Hal atā (al-Insān). (11)

C. TAFSĪR SURAT AL-INSĀN

1. Manusia diciptakan dari setetes mani dan diberikan petunjuk. Kepada orang kafir disediakan rantai belenggu dan api neraka.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

 

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُوْرًا.

Hal atā ‘alal insāni ḥīnum minad dahri lam yakun syai’am madzkūrā.

“Sungguh telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa, sedangkan ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.” (22) (al-Insān [76]: 1).

Sungguh telah datang kepada manusia pada suatu masa, saat dia belum berwujud atau belum menjadi makhlūq yang dikenal dan diberi perhatian karena masih berupa tanah liat.

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ، نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا.

Innā khalaqnal insāna min nuthfatin amsyājin nabtalīhi fa ja‘alnāhu samī‘am bashīrā.

“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes mani yang mempunyai campuran. Kami akan mengujinya, lalu Kami jadikan sebagai manusia yang dapat mendengar dan melihat.” (al-Insān [76]: 2).

Allah telah menjadikan manusia dari nuthfah yang bercampur antara cairan lelaki (sperma) dan cairan perempuan (sel telur) untuk menguji dan mencoba manusia dengan berbagai hukum setelah dia sampai umur, apakah dia akan mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya dan apakah dia bersabar menghadapi malapetaka yang menimpanya.

Allah menjadikan manusia sedemikian rupa, agar dia dapat mendengar ayat-ayat Allah dan dapat memperhatikan dalil-dalil yang menunjuk kepada keesaan Allah, serta dapat mempergunakan akal pikirannya. Manusia memang dijadikan untuk diuji dan sebagai makhlūq yang bisa mendengar dan melihat.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُوْرًا.

Innā hadaināhus sabīla immā syākiraw wa immā kafūrā.

“Sesungguhnya Kami telah menunjuki jalan kepadanya, sebagian ada yang mau bersyukur dan sebagian tidak tahu berterima kasih.” (33) (al-Insān [76]: 3).

Oleh karena akal tidak sanggup mengetahui kebajikan dan kejahatan (kemaksiatan), maka Allah pun memberikan petunjuk-Nya yang merupakan hukum dan syarī‘at kepada manusia yang disampaikan melalui para rasūl.

Apabila menerima pemberian-pemberian Allah, manusia ada yang menyukuri nikmat-Nya dan melaksanakan jalan-jalan kebajikan sehingga berhak memperoleh kemuliaan. Tetapi ada juga yang mengingkari nikmat-nikmat Allah, tidak mensyukuri-Nya, serta mengerjakan kejahatan sehingga patut memperoleh kehinaan. (44).

إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ سَلَاسِلَاْ وَ أَغَلَالًا وَ سَعِيْرًا.

Innā a‘tadnā lil kāfirīna salāsila wa aghlālaw wa sa‘īrā.

“Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan api yang menyala.” (al-Insān [76]: 4).

Untuk orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dan menyalahi perintah-Nya telah disediakan rantai pengikat yang menarik mereka ke dalam neraka dan belenggu yang diikatkan pada tangan-tangan mereka, sebagaimana Allah menyediakan neraka Jahannam yang menghanguskan mereka.

2. Arak Bercampur Kapur Barus Disediakan bagi Orang-orang yang Berbakti. Orang yang Memperoleh Kemuliaan Ialah yang Memenuhi Janji, Takut kepada Hari Kiamat, Memberi Makan Orang Miskin, Anak Yatim dan Orang-orang Tawanan.

إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًا. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا.

Innal abrāra yasyrabūna min ka’sin kāna mizājuhā kāfūrā. ‘Ainay yasyrabu bihā ‘ibādullāhi yufajjirūnahā tafjīrā.

“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti akan meminum arak yang bercampur kapur barus. Mereka didatangkan ke sebuah mata-air, tempat para hamba Allah meminum. Mereka mengalirkannya dari mata-airnya.” (al-Insān [76]: 5-6).

Semua orang yang berbakti dan menaati Allah dengan menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan, di dalam surga mereka akan meminum arak yang dicampur dengan kapur barus yang amat harum baunya, sejuk, dan putih warnanya. Mereka dibawa ke sebuah mata-air yang mengalir di celah-celah taman surga, yang mengalir menurut kehendak penghuni surga.

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَ يَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا.

Yūfūna bin nadzri wa yakhāfūna yauman kāna syarruhū mustathīrā.

“Mereka memenuhi janji nadzar-nya dan takut kepada hari yang bahayanya berkembang lebar.” (al-Insān [76]: 7).

Adapun penyebabnya mereka memperoleh kemuliaan dan kenikmatan yang sempurna adalah karena mereka memenuhi semua janji nadzarnya, menunaikan tugas yang dibebankan ke atas bahunya. Dia pun menunaikan apa yang telah difardhukan (diwajibkan) oleh Allah dan apa yang dinadzarkan.

Mereka meninggalkan apa yang diharamkan dan apa yang dicegah oleh Allah untuk dikerjakan, dengan dasar takut kepada hisab pada hari kiamat dan pada waktu ‘adzāb datang ke segala penjuru dan menimpa semua orang yang tidak memperoleh rahmat Allah.

وَ يُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْنًا وَ يَتِيْمًا وَ أَسِيْرًا.

Wa yuth‘imūnath tha‘āma ‘alā ḥubbihī miskīnaw wa yatīmaw wa asīrā.

“Mereka memberikan makanan yang disayanginya kepada orang-orang miskin, anak yatim dan para tawanan.” (55) (al-Insān [76]: 8).

Mereka memberikan makanan yang sesungguhnya mereka butuhkan kepada orang miskin yang tidak sanggup berusaha, kepada anak yatim dan para tawanan atau budak belian. Yang dimaksud dengan “memberi makanan” di sini adalah berbuat ihsan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan dan menolong mereka dengan jalan yang mungkin dilakukan.

Rasūlullāh memang telah memerintahkan kita untuk berbuat iḥsān kepada para budak. Itulah wasiat Nabi yang terakhir.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَ لَا شُكُوْرًا.

Innamā nuth‘imukum liwajhillāhi lā nurīdu minkum jazā’aw wa lā syukūrā.

“Kata mereka: kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharap keridhaan Allah. Kami tidak menginginkan balasan dan tidak pun ucapan terima kasih.” (al-Insān [76]: 9).

Mereka mengatakan: “Kami memberikan makanan kepadamu, karena Allah semata, bukan karena mengharapkan balasanmu.”

Mereka juga mengatakan: “Kami tidak meminta balasan terhadap pemberian kami dan tidak menginginkan kamu mensyukuri kami.” Menurut Mujāhid dan Sa‘īd ibn Jubair, ucapan mereka itu tentu saja tidak disebutkan dengan lisannya, tetapi Allah mengetahui bahwa seperti itulah isi hati mereka. Allah pun memuji mereka.

إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا.

Innā nakhāfu mir rabbinā yauman ‘abūsan qamtharīrā.

(Syarat kedua):

“Sesungguhnya kami takut kepada hari yang sangat gelap dari Tuhan.” (66) (al-Insān [76]: 10).

Kami berbuat yang seperti itu, karena kami mengharap kepada rahmat Tuhan kami dan kami takut kepada hari yang penuh dengan bencana dan siksa.

فَوَقَاهُمُ اللهُ شَرَّ ذلِكَ الْيَوْمِ وَ لَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَ سُرُوْرًا.

Fa waqāhumullāhu syarra dzālikal yaumi wa laqqāhum nadhrataw wa surūrā.

“Karena itu Allah melindungi mereka dari bahaya hari itu, dan memberikan kepada mereka muka yang berseri-seri dan hati gembira.” (77) (al-Insān [76]: 11).

Allah pun menghilangkan apa yang mereka takuti disebabkan oleh sikap mereka, yang hanya melakukan perbuatan yang diridhai oleh Allah.

Allah memberikan kejernihan pada air muka mereka dan kegembiraan di dalam hati mereka.

وَ جَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَ حَرِيْرًا.

Wa jazāhum bimā shabarū jannataw wa ḥarīrā.

“Allah membalas mereka disebabkan oleh kesabarannya dengan surga dan pakaian sutra.” (88) (al-Insān [76]: 12).

Allah membalas mereka dengan surga yang penuh kelezatan dan pakaian yang indah. Sebab, mereka telah mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri dan sabar menderita kesulitan.

مُتَّكِئِيْنَ فِيْهَا عَلَى الْأَرَائِكِ، لَا يَرَوْنَ فِيْهَا شَمْسًا وَ لَا زَمْهِرِيْرًا.

Muttaki‘īna fīhā ‘alal arā’iki, lā yarauna fīhā syamsaw wa lā zamharīrā.

“Mereka duduk di dalamnya bertelekan di atas sofa; mereka melihat matahari, tidak merasa dingin.” (99) (al-Insān [76]: 13).

Di dalam surga, mereka duduk bertelekan di atas sofa dalam ruangan yang indah. Mereka tidak merasa panas dan tidak pula merasa dingin.

وَ دَانِيَةً عَلَيْهِمْ ظِلَالُهَا وَ ذُلِّلَتْ قُطُوْفُهَا تَذْلِيْلًا.

Wa dāniyatan ‘alaihim zhilāluhā wa dzullilat quthūfuhā tadzlīlā.

“Naungan rendah di atas mereka dan buah-buahannya dekat yang mudah dipetik.” (al-Insān [76]: 14).

Naungan-naungan pohon surga itu sangat dekat dengan orang-orang yang melakukan kebajikan (berbakti) dan menaungi mereka untuk menambah kenikmatan yang diperoleh mereka.

Buah-buahan di dalam surga telah diatur sedemikian rupa, sehingga dapat dijangkau dengan mudah, baik oleh orang yang sedang bertelekan, orang yang sedang duduk ataupun orang yang sedang berdiri.

وَ يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِآنِيَةٍ مِنْ فِضَّةٍ وَ أَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَاْ. قَوَارِيْرَاْ مِنْ فِضَّةٍ قَدَّرُوْهَا تَقْدِيْرًا.

Wa yuthāfu ‘alaihim bi’āniyatin min fidhdhatiw wa akwābin kānat qawārīrā. Qawārīra min fidhdhatin qaddarūhā taqdīrā.

“Dan bejana perak dan gelas dari kaca diedarkan kepada mereka. Kaca yang jernih yang terbuat dari perak, yang telah diukur dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.” (al-Insān [76]: 15-16).

Pelayan-pelayan surga mengelilingi mereka dengan membawa gelas-gelas yang terbuat dari perak, yang putih dan bersih berisi minuman, yang memang telah diatur dengan sebaik-baiknya menurut ukuran yang dapat memuaskan mereka.

Ringkasnya, gelas-gelas yang dipergunakan oleh para penghuni surga itu terbuat dari perak yang putih bersih yang memungkinkan kita dapat melihat apa isinya dari luar.

Catatan:

  1. 1). Muslim 7, No. 64.
  2. 2). Kaitkan dengan QS. Maryma [19]: 66, 67, QS. an-Nisā’ [4]: 28, akhir QS. al-Aḥzāb [33], QS. ar-Raḥmān [55], QS. al-Isrā’ [17], QS. al-Ḥijr [15], QS. as-Sajdah [32], QS. Luqmān [31], QS. al-Ḥasyr [59], QS. Qāf [50], QS. an-Nāzi‘āt [79], QS. al-Ma‘ārij [70], QS. an-Najm [53], QS. al-Qiyāmah [75], QS. ‘Abasa [80], QS. al-Balad [90], QS. al-Insyiqāq [84], QS. al-Infithār [82], QS. ath-Thāriq [86], QS. at-Tīn [95], QS. al-Fajr [89].
  3. 3). Baca QS. al-Mulk [67]: 2, QS. Muḥammad [47]: 31.
  4. 4). Baca QS. al-Kahfi [18]: 29.
  5. 5). Baca QS. Āli ‘Imrān [3]: 92, QS. al-Insān [76]: 9, QS. al-Balad [90]: 11-16.
  6. 6). Kaitkan dengan QS. al-Muzzammil [73] dan awal QS. al-Ḥajj [22].
  7. 7). Baca QS. ‘Abasa [80]: 38-39.
  8. 8). Baca QS. al-Ḥajj [22]: 23.
  9. 9). Kaitkan dengan QS. an-Naba’ [78] dan QS. al-Wāqi‘ah [56].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *