Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir asy-Syanqithi (3/3)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Firman Allah s.w.t.:

وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدُ

Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Qs. al-Ikhlāsh [112]: 4).

Mereka berkata: (كُفُؤًا), (كُفُوًا) dan (كفاء) adalah semakna, yaitu (المثل) “seumpama, semisal, setara).

Terdapat beberapa pendapat mufassir tentang makna ayat ini, dan semuanya berporos pada makna nafi (peniadaan) yang semisal.

Diriwayatkan dari Ka‘b dan ‘Athā’, bahwa maknanya adalah, tidak ada yang semisal dan sebanding dengan-Nya.

Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās: “Semakna dengan: (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (1731).

Diriwayatkan dari Mujāhid: “Maksudnya adalah, Dia tidak mempunyai istri.”

Di dalam al-Qur’ān terdapat beberapa peniadaan, di antaranya peniadaan kesetaraan (kuf’), persamaan/keserupaan (mitsl), bandingan/tandingan (nidd), dan sekutu (‘idl).

Peniadaan kesetaraan terdapat dalam surah ini, dan peniadaan keserupaan terdapat dalam firman Allah: (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (Qs. asy-Syūrā [42]: 11). Juga (فَلَا تَضْرِبُوْا للهِ الْأَمْثَالَ.) “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (Qs. an-Naḥl [16]: 74).

Peniadaan tandingan sekutu (nidd) terdapat dalam firman-Nya: (فَلَا تَجْعَلُوْا للهِ أَنْدَادًا وَ أَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.) “Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [2]: 22).

Peniadaan sekutu (‘idl) terdapat dalam firman-Nya: (ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ.) “Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” (Qs. al-An‘ām [6]: 1).

Telah lewat penjelasan Syaikh r.h. mengenai hal tersebut pada surah al-An‘ām. Maksudnya, mereka menyamakannya dengan untanya, dari kata (الْعِدْلُ), dengan baris kasrah pada huruf pertamanya, yaitu salah satu dari dua sisi pelana unta menurut salah satu dari dua penafsiran, dan yang satu lagi dari kata (الْعُدُوْلُ) “berpaling” dari-Nya kepada selain-Nya.

Dalam surah ini terdapat dua bahasan yang dijelaskan oleh para mufassir. Pertama sebab-sebab turunnya, dan kedua hadits-hadits tentang keutamaannya, dan bukan tema kitab ini menganalisis hal tersebut, kecuali yang memiliki motif-motif terkait makna.

Adapun nash-nash yang menyebutkan tentang keutamaannya, Abū Ḥayyān berkata dalam tafsirnya: “Para mufassir banyak menyebutkan atsar-atsar tentang hal itu, dan ini bukan tempatnya.”

Di antara para mufassir yang menyebutkannya adalah Ibnu Katsīr, al-Fakhr-ur-Rāzī, al-Qurthubī, dan Ibnu Ḥajar dalam al-Ishābah pada biografi Mu‘ādz bin Jabal. Di sini bukan tempat menyebutkannya, kecuali yang disebutkan dalam hadits shaḥīḥ, bahwa membacanya sama seperti membaca sepertiga al-Qur’ān karena keterkaitan temanya dengan tauhid. (1742).

Adapun pembahasan yang satu lagi yaitu sebab turunnya, maka ada yang berpendapat bahwa orang-orang musyrik meminta Rasūlullāh s.a.w. menisbatkan Tuhannya kepada mereka, lalu turunlah surah ini. (1753).

Firman Allah: (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ) merupakan bantahan atas penetapan nasab bagi-Nya.

Ada yang semakna dengan ini, yaitu ketika Fir‘aun bertanya kepada Mūsā tentang Tuhannya: (وَ مَا رَبُّ الْعَالَمِيْنَ) “Siapa Tuhan semesta alam itu?” (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 23). Lalu datanglah jawabnya: (قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا، إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ. قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْمَعُوْنَ. قَالَ رَبُّكُمْ وَ رَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِيْنَ. قَالَ إِنَّ رَسُوْلَكُمُ الَّذِيْ أَرْسِلُوْا إِلَيْكُمْ لَمَجْنُوْنَ.) “Mūsā menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”. Berkata Fir‘aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Mūsā berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”. Fir‘aun berkata: “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.” (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 24-27).

Saya pernah mendengar dari Syaikh r.h. bahwa motif yang mendorong Fir‘aun mengatakan Mūsā (لَمَجْنُوْنَ) “gila” adalah, dia bertanya kepada beliau dengan pertanyaan: (قَالَ فِرْعَوْنُ وَ مَا رَبُّ الْعَالَمِيْنَ.) “Fir‘aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” (Qs. asy-Syu‘arā’ [26]: 23) dia tidak bertanya dengan kalimat tersebut tentang penjelasan hakikat, padahal tuntutan pertanyaan dengan kalimat itu (مَا) untuk menjelaskan hakikat Tuhan, apakah Dia sebenarnya? Sebagaimana ketika ditanya: Apakah itu manusia? Maka jawabnya: “Ia hewan yang berpikir.”

Akan tetapi, Mūsā a.s. berpaling dari pertanyaan Fir‘aun karena ketidaktahuan beliau tentang hakikat Allah, atau karena beliau mengabaikannya, sebagaimana dalam firman Allah: (وَ جَحَدُوْا بِهَا وَ اسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ.) “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (Qs. an-Naml [27]: 14). Mūsā menjawabnya dengan apa yang mengisitmewakan-Nya dan kekhususan yang mengharuskan Fir‘aun mengakui-Nya, bahwa Dia adalah Tuhan pemilik langit dan bumi beserta isinya, bukan seperti ketuhanan Fir‘aun yang palsu.

Demikian juga dalam al-Qur’ān ketika mereka bertanya tentang hilāl (bulan sabit), bagaimana keadaannya? Ia terlihat kecil kemudian membesar? Ini merupakan pertanyaan tentang hakikat perubahannya. Al-Qur’ān tidak menjawab pertanyaan mereka, melainkan menjawab dengan jawaban yang mereka perlukan dan bermanfaat bagi mereka.

Demikian pula jawaban al-Khalīl Ibrāhīm a.s. kepada Namrūdz ketika mendebat beliau tentang Tuhannya: (إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيِيْ وَ يُمِيْتُ.) “Ketika Ibrāhīm mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 258).

Allah menyebutkan sifat-sifatNya.

Dalam surah ini, manakala mereka bertanya tentang hakikat Allah dan nasab-Nya, datang jawaban yang menjelaskan sifat-sifatNya, karena yang mereka tanyakan itu hanya terdapat pada makhluk, bukan pada Khāliq, pada yang mungkin bukan pada yang wājib-ul-wujūdi li dzātihi. Maha Suci Dzāt yang tidak mengetahui hakikat-Nya selain-Nya, dan Maha Benar Allah dalam firman-Nya: (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ، وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. asy-Syūrā [42]: 11).

(يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لَا يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا.) “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Qs. Thāhā [20]: 110).

Catatan:

  1. 173). Ibnu Jarīr ath-Thabarī dalam Jāmi‘-ul-Bayān (30/224).
  2. 174). Diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudhrī: al-Bukhārī dalam Tafsīr (no. 5013, 5014, dan 5015) dan Muslim dalam pembahasan tentang shalat musafir dan shalat qashar (no. 259).
  3. 175). Diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘b: at-Tirmidzī dalam Tafsīr-ul-Qur’ān (no. 3364) dan Aḥmad dalam al-Musnad (5/134).

Unduh Rujukan:

  • [download id="18960"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *