Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir asy-Syanqithi (2/3)

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir asy-Syanqithi

Firman Allah s.w.t.:

اللهُ الصَّمَدُ

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (Qs. al-Ikhlāsh [112]: 2).

Sebagian mufassir berkata: “Ayat ini ditafsirkan oleh ayat sesudahnya: (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ) “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan”.” (Qs. al-Ikhlāsh [112]: 3).

Ibnu Katsīr berkata: “Ini adalah makna yang bagus.”

Sebagian ulama berkata: “Maknanya adalah, Dialah yang sangat mulia dan sempurna dari segala sesuatu.”

Ada yang berpendapat: “Maknanya adalah, Dzāt yang makhluk-makhluk bergantung kepada-Nya pada hajat mereka, sedangkan Dia tidak membutuhkan siapa pun.”

Telah lewat penjelasan Syaikh r.h. tentang makna (الصَّمَدُ) dalam bahasan firman s.w.t. (وَ هُوَ يُطْعِمُ وَ لَا يُطْعَمُ) “Padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?” (Qs. al-An‘ām [6]: 14). Syaikh juga menyebutkan dalil-dalil pendukung dari semua pendapat yang ada.

Dengan mengamati secara mendalam pada konsep “penafsiran dengan ayat yang berikutnya”, jelaslah bahwa surah ini seluruhnya merupakan penafsiran bagi awalnya: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ), karena keesaan berarti bersendiri-Nya Allah dengan seluruh sifat kemuliaan dan kesempurnaan. Juga karena yang dilahirkan bukanlah esa, sebab itu merupakan bagian dari yang melahirkannya. Yang melahirkan juga bukanlah esa, karena satu bagian darinya terdapat pada anaknya.

Juga dzāt yang memiliki kesetaraan bukanlah esa. Karena adanya sesuatu lain yang setara dengannya. Begitulah surah ini seluruhnya untuk mengukuhkan makna: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) “Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa”.”

 

Firman Allah s.w.t.:

لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” (Qs. al-Ikhlāsh [112]: 3).

Telah lewat penjelasan Syaikh r.h. tentang dalil-dalil pendukungnya pada firman Allah s.w.t.: (الَّذِيْ لَهُ مُلْكُ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَ لَمْ يَكُنْ شَرِيْكٌ فِي الْمُلْكِ.) “Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(-Nya).” (Qs. al-Furqān [25]: 2).

Peringatan

Dalam konsep “menjadikan anak” tidak harus menafikan kemampuan melahirkan, karena mengambil anak bisa jadi dengan tanpa melahirkan, seperti mengadopsi anak atau lainnya, sebagaimana dalam kisah Nabi Yūsuf a.s. pada firman Allah yang menceritakan ucapan penguasa Mesir: (أَكْرِمِيْ مَثْوَاهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا.) “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” (Qs. Yūsuf [12]: 21).

Dalam surah tersebut terdapat nafi yang lebih khusus, maka hal ini harus disinggung dalam surah al-Ikhlāsh, yang setara dengan sepertiga al-Qur’ān karena keistimewaannya dengan hak Allah s.w.t. pada Dzāt-Nya dan sifat-sifatNya berupa keesaan, ketergantungan makhluk kepada-Nya, nafi melahirkan dan anak, serta nafi yang setara dengan-Nya. Semuanya merupakan sifat-sifat milik Allah s.w.t. semata.

Dalam surah tersebut terdapat nash yang jelas menyatakan tidak melahirkan, dan Allah tidak beranak serta tidak diperanakkan. Sifat tidak beranak lebih khusus daripada sifat tidak diperanakkan, dan ini termasuk aksioma di kalanagan kaum muslim seluruhnya tanpa ada keraguan dan perdebatan.

Akan tetapi, kaum non-muslim tidak mengakui hal tersebut; Kaum Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair anak Allah. Kaum Nasrani mengatakan bahwa al-Masīḥ putra Allah. Orang-orang musyrik mengatakan bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah. Mareka sepakat atas klaim anak bagi Allah, namun tak seorang pun dari mereka mengklaim bahwa Allah dilahirkan.

Terdapat nash-nash yang jelas menafikan anak dari Allah s.w.t. Namun sekadar nash yang tidak dipercayai lawan debat, tidak cukup untuk meyakinkannya, sementara dalam sura ini, yang khusus membicarakan sifat-sifat Allah, tidak ada isyarat di dalamnya yang menghalangi Allah untuk mengambil anak, dan salah satu sifat-Nya adalah tidak dilahirkan.

Konsep “menjelaskan penghalang atau pendorong” termasuk bagian metodologi kitab ini, ketika di sini terdapat pendorong pada hukum atau penghalang, sedangkan di sini tidak ada isyarat kepada hal itu. Syaikh sendiri telah berbicara tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah secara ringkas dan terperinci, namun di dalam al-Qur’ān terdapat penyebutan klaim anak bagi Allah, Maha Suci Dia dari yang demikian itu setinggi-tingginya, kemudian datang jawaban dari Allah disertai penjelasan penghalang secara terperinci bersama pemberitahuan dengan dalil akal. Oleh karena itu wajib menyinggungnya, yaitu dalam firman Allah: (وَ قَالُوا اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ، بَلْ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُوْنَ. بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ، وَ إِذَا قَضَى أَمْرًا فِإِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ.) “Mereka (orang-orang kafir) berkata: “Allah mempunyai anak”. Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” Lalu jadilah ia.” (Qs. al-Baqarah [2]: 116-117).

Ini adalah nash yang jelas tentang perkataan mereka (اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا), dan nash yang jelas tentang kesucian Allah dari apa yang mereka katakan itu.

Kemudian datang bantahan atas ucapan mereka itu: (بَلْ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ و الْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُوْنَ.). “Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tundak kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah [2]: 116).

Di dalamnya terdapat penjelasan tentang penghalang mengambil anak secara akal sehingga dapat membungkam lawan debat, yaitu bahwa tujuan mengambil anak adalah supaya si anak berbakti terhadap orang tuanya dan si orang tua mendapatkan manfaat dengan anaknya, sebagaimana dalam firman Allah s.w.t.: (الْمَالُ وَ الْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا.) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. al-Kahfi [18]: 46).

Atau supaya si anak menjadi pewaris orang tuanya, sebagaimana firman Allah s.w.t. tentang Nabi Zakariyyā a.s.: (فَهَبْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا، يَرِثُنِيْ وَ يَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ.) “Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya‘qūb.” (Qs. Maryam [19]: 5-6).

Sedangkan Allah s.w.t. Maha Hidup lagi Maha Kekal, mewarisi dan tidak diwarisi, sebagaimana firman Allah s.w.t.: (كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ، وَ يَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ.) “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzāt Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. ar-Raḥmān [55]: 26-27).

(وَ للهِ مِيْرَاثُ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ.) “Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 180).

Jika seluruh yang ada di langit dan bumi dalam keadaan tunduk dan patuh kepada Allah, baik secara sukarela maupun terpaksa, sebagaimana firman Allah s.w.t.: (وَ مَا يَنْبَغِيْ لِلرَّحْمنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْدًا.) “Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Qs. Maryam [19]: 92-93), maka Allah tidak membutuhkan anak.

Allah s.w.t. lalu menjelaskan kekuasaan-Nya untuk mengadakan dan menciptakan: (بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ، وَ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ.) “Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” lalu jadilah ia.” (Qs. al-Baqarah [2]: 117). Ini jelas menafikan anak dari-Nya.

Allah s.w.t. dipuji: (وَ قُلِ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيْكٌ فِي الْمُلْكِ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَ كَبِّرْهُ تَكْبِيْرًا.) “Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”.” (Qs. al-Isrā’ [17]: 111).

Adapun keadaan-Nya yang tidak dilahirkan, maka tidak seorang pun mengklaim hal tersebut atas-Nya, karena hal itu mustahil pada akal dengan dalil ketidakmungkinan yang terkenal itu, yaitu: Jika keberadaan Allah s.w.t. tergantung hingga Dia dilahirkan, tentu keberadaan-Nya butuh kepada yang mengadakan-Nya. Kemudian yang melahirkan-Nya butuh kepada yang melahirkan, dan begitulah seterusnya hingga terjadi daur dan tasalsul, dan ini batil.

Demikian juga tentang butuh kepada anak, dinafikan oleh makna (الصَّمَدِيَّةُ) yang telah disebutkan sebelumnya. Jika Dia memiliki orang tua, pastilah sang orang tua lebih dahulu adanya dan lebih benar. Maha Suci Allah dari hal itu.

Bisa dikatakan: Dari sisi ketidakmungkinan menurut akal, sekiranya diasumsikan menurut batasan firman-Nya: (قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحمنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِيْنَ.) “Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (Qs. az-Zukhruf [43]: 81).

Berdasarkan asumsi ini kami katakan: Bila Dia memiliki anak, lalu bagaimana permulaan adanya anak ini dan bagaimana akhirnya? Jika keberadaan anak itu baru, maka kapan mulai keberadaannya? Jika Dia qadim, berarti terdapat beberapa yang qadim, dan ini mustahil. Jika anak itu kekal, berarti terdapat beberapa yang kekal. Jika anak itu fanā’ (berakhir), lalu kapan ia akan berakhir? Jika akhirnya harus tiada, lalu apa perlunya mengadakannya padahal tidak ada kebutuhan Allah kepadanya?

Ter-nafi-lah mengambil anak secara akal dan naql, sebagaimana ter-nafi juga melahirkan anak secara akal dan naql.

Sebagian mufassir ada yang melontarkan pertanyaan pada ayat ini, yaitu mengapa didahulukan nafi anak daripada nafi melahirkan anak? Padahal, menurut realita, terlebih dahulu dilahirkan baru kemudian melahirkan?

Jawabnya: Itu termasuk mendahulukan yang paling penting, karena hal itu berarti menolak kaum Nasrani terkait perkataan mereka: “ ‘Īsā anak Allah”. Menolak kaum Yahudi terkait perkataan mereka: “ ‘Uzair anak Allah.” Menolak ucapan orang-orang musyrik: “Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.” Lagipun, tak seorang pun mengklaim Allah s.w.t. dilahirkan dari seseorang, maka klaim mereka bahwa Allah punya anak merupakan suatu kebohongan besar: (كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ، إِنْ يَقُوْلُوْنَ إِلَّا كَذِبًا) “Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Qs. al-Kahfi [18]: 5) dan: (وَ قَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَدًا، لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا، تَكَادُ السَّموَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَ تَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَ تَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا، أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمنِ وَلَدًا.) “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (Qs. Maryam [19]: 88-91).

Jadi, untuk membungkam kebohongan ini didahulukan penyebutannya, kemudian dijawab ketidakmungkinannya dengan firman-Nya: (وَ مَا يَنْبَغِيْ لِلرَّحْمنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا، إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْدًا.) “Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Qs. Maryam [19]: 92-93).

Kami telah mendahulukan dalil mustahil pada akal dan naql.

Di sini juga ada satu pertanyaan, yaitu jika klaim anak telah terjadi dan jawaban atasnya telah datang, maka klaim melahirkan anak belum terjadi, lalu kenapa disebutkan nafi-nya, padahal tidak ada yang mengklaimnya?

Jawabnya: Orang yang membolehkan Allah melahirkan anak dan mengklaim bahwa Allah punya anak, berarti membolehkan Allah dilahirkan, dan Dia adalah anak yang dilahirkan, maka datanglah nafi-nya untuk menyempurnakan peniadaan ini dan pensucian Dzāt-Nya, sebagaimana dalam hadits tentang laut dan pertanyaan tentang hukum berwudhu’ dengan airnya. Namun kemudian datang jawabannya tentang air dan mengenai hukum memakan bangkainya, karena pertanyaan tentang air laut berkaitan erat dengan hukum bangkai binatang laut itu sendiri. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *