Hati Senang

Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Tafsir Ibni 'Arabi - Isyarat Ilahi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الْإِخْلَاصُ

AL-IKHLASH

Surah Ke-112; 4 Ayat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.

112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

Qul Huwa (Katakanlah! Dia-lah Allah yang Maha Esa – ayat 1). Kata Qul (katakanlah) adalah perintah dari alam Kesatuan yang turun ke alam kemajemukan. Itulah ungkapan dari hakikat Kesatuan-murni. Tegasnya adalah dari “Dzat sebagaimana Dia adanya di dalam diri-Nya”, tanpa sudut pandang sifat yang tidak diketahui kecuali oleh-Nya. Kata Allah – dalam ayat di atas – adalah penjelas (badl) bagi kata Huwa (Dia). Kata Allah itulah yang merupakan nama Dzat berikut seluruh sifat-sifat-Nya. Dengan memakai kata penjelas ini, Allah menunjukkan bahwa sesungguhnya sifat-sifat-Nya bukanlah merupakan tambahan terhadap dzat-Nya, melainkan sifat-sifat itulah yang merupakan dzat-Nya sendiri. Tidak ada perbedaan di antara keduanya kecuali jika dilihat dan dipilah-pilah oleh sudut pandang akal. Karena itu surah ini disebut al-Ikhlāsh. Karena al-Ikhlāsh berarti membersihkan hakikat keesaan-Nya dari sifat-kurang kemajemukan. Ini seperti dikatakan Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abū Thālib: Puncak ikhlas bagi-Nya adalah menafikan seluruh sifat dari-Nya. Karena penyaksian setiap sifat bahwa diri sifat itu bukanlah yang disifati (maushūf), dan karena penyaksian setiap yang disifati (maushūf) bahwa diri yang disifati itu bukanlah sifat. Makna itulah yang dimaksudkan orang yang berkata: Sifat Allah ta’ala adalah bukan Dia dan bukan selain Dia. Jelasnya, bukan Dia dilihat dari sudut pandang akal (yang terbatas dan suka memilih-milih), dan bukan selain Dia dilihat dari sudut pandang hakikat. Kata Aḥad – dalam ayat di atas – adalah kata penjelas bagi kata Huwa (Dia).

Sementara itu, perbedaan antara kata aḥad (Esa, Tunggal) dan kata wāḥid (Yang Esa) adalah bahwa kata aḥad sesungguhnya adalah “Dzat Dia dalam diri-Nya sendiri.” Tanpa melibatkan sudut pandang kemajemukan makhluk. Lebih jelasnya lagi, aḥad adalah hakikat-murni yang tak lain merupakan “sumber mata air kafur”, bahkan mata air kafur itu sendiri. Itulah wujud sebagaimana adanya tanpa ada batasan keumuman dan kekhususan, tanpa ada syarat sifat dan sifat baru.

Sedangkan kata wāḥid adalah dzat-Nya dilihat dari sudut pandang ragam nama-nama-Nya, karena sesungguhnya nama adalah Dzat berikut seluruh sifat-sifat-Nya. Karena itu, hakikat-murni yang tak diketahui kecuali oleh Dia semata diungkapkan dengan kata Huwa (Dia). Kemudian Allah menjelaskan kata huwa ini dengan kata Allah (yang mengacu kepada Dzat berikut seluruh sifat-Nya), sebagai petunjuk bahwa seluruh sifat itu pada hakikatnya adalah dzat-Nya itu sendiri. Dan Allah mengabarkan seluruh sifat itu dengan kata aḥad untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya sifat-sifat yang dalam pandangan akal tampak banyak dan beragam itu, pada hakikatnya bukanlah berarti apa-apa, sifat-sifat yang banyak itu sama sekali tidak membatalkan keesaan-Nya dan tidak pula berpengaruh pada kemanunggalan-Nya. Bahkan sebaliknya, kehadiran kesatuan sifat-sifat yang beragam itu pada hakikatnya adalah kehadiran keesaan-Nya. Ini bisa dianalogikan misalnya dengan gejala hujan di lautan: sekalipun hujan tampak banyak dan menimpa lautan, tapi hujan itu sendiri secara keseluruhan pada hakikatnya adalah (berasal dari) lautan.

اللهُ الصَّمَدُ.

لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ.

وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

112:2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

112:3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,

112:4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

Allāh-ush-Shamad (Allah adalah Tuhan yang bergantung padaNya segala sesuatu – ayat 2). Tegasnya, Dia adalah dzat di dalam kehadiran atau dalam hubungan-Nya dengan sifat-sifat-Nya. Itulah Dzat dilihat dari sudut pandang nama-namaNya. Itulah sandaran mutlak bagi segala sesuatu karena segala sesuatu yang mungkin membutuhkan dan hidup karena-Nya, sementara Dia Maha Kaya secara mutlak yang dibutuhkan oleh segala sesuatu. Seperti dikatakan-Nya: Dan Allah Maha Kaya, sementara kalian fakir. Segala sesuatu selain-Nya menjadi berwujud semata-mata karena wujud-Nya, sehingga pada hakikatnya ia tak berarti apa-apa, karena segala wujud yang baru mungkin sama sekali tidak berarti wujud itu sendiri. Karena itu tak satu pun selain-Nya yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Lam yalid (Dia tiada beranak – ayat 3). Karena efek-efek yang dibuat-Nya (ma’lulat) tidaklah berwujud bersama-Nya, tetapi ia berwujud karena-Nya. Karena itu, segala sesuatu yang dibuat-Nya adalah karena-Nya. Segala sesuatu yang dibuat-Nya itu dalam diri-Nya bukanlah apa-apa (Dan tiada pula diperanakkan) Karena sifat shamad-Nya yang mutlak. Karena itu Dia tidak membutuhkan apa pun di dalam wujud ini. Lalu, karena ke-Dia-an yang tunggal itu tidak menerima kebanyakan dan keterbagian dan keesaan dzat-Nya tiada tara – sebab segala sesuatu selain Wujud Mutlak tak lain adalah ketiadaan murni – , maka tak seorang pun yang menyerupai-Nya. (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya), sebab ketiadaan murni tentu tidak serupa dengan wujud murni. Karena itu surah ini disebut pula sebagai surah al-Asas, karena ia adalah asas agama tauhid bahkan asas seluruh wujud.

Diriwayatkam dari Anas bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya langit tujuh dan bumi tujuh dibangun atas asas Qul huwa Allāhu aḥad.” Itulah makna sifat shamad-Nya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.