SŪRAH AL-IKHLĀSH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
112:1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
112:2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
112:3. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
112:4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
(Sūrat-ul-Ikhlāsh [112]: 1-4).
Disebutkan bahwa orang-orang musyrik bertanya kepada Rasulullah s.a.w. perihal Rabb Yang Maha Agung, lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban bagi mereka.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa surah ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang bertanya kepada beliau: “Allah telah menciptakan semua ciptaan ini, lalu siapa yang menciptakan Allah?” Lalu turunlah surah ini sebagai jawaban bagi mereka.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat yang menyebutkan bahwa ini sebagai jawaban bagi orang-orang musyrik yang menanyakan perihal Rabb Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi adalah:
- Ahmad bin Muni al-Mawarzi dan Mahmud bin Khidasy ath-Thalaqani menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Abu Sa‘id-ish-Shan‘ani menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ja‘far-ir-Razi menceritakan kepada kami dari ar-Rabi‘ bin Anas, dari Abul-‘Aliyah, dari Ubai bin Ka‘b, ia berkata: “Orang-orang musyrik berkata kepada Nabi s.a.w.: “Ceritakan perihal Tuhanmu kepada kami”. Allah lalu berfirman: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (2486).
38452). Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Wadhih menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Husain menceritakan kepada kami dari Yazid, dari ‘Ikrimah, ia berkata: Sesungguhnya orang-orang musyrik berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami tentang Tuhanmu. Sebutkan sifat Tuhanmu kepada kami, apa itu, terbuat dari apa Dia?” Allah lalu berfirman: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”. (2487).
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Abu Ja‘far, dari ar-Rabi‘, dari Abul-‘Aliyah, mengenai firman-Nya: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Ia berkata: Komandan pasukan sekutu (kaum musyrik) berkata: “Ceritakan kepada kami perihal Tuhanmu”. Jibril lalu datang kepada beliau membawakan surah ini.” (2488).
- Muhammad bin ‘Auf menceritakan kepada kami, ia berkata: Suraij menceritakan kepada kami, ia berkata: Isma‘il bin Mujalid menceritakan kepada kami dari Mujalid, dari asy-Sya‘bi, dari Jabir, ia berkata: “Orang-orang musyrik berkata kepada Nabi s.a.w.: “Ceritakan kepada kami perihal Tuhanmu.” Allah lalu menurunkan ayat: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”. (2489).
Riwayat yang sesuai dengan pendapat yang menyebutkan bahwa surah ini diturunkan berkenaan dengan pertanyaan orang-orang Yahudi, adalah:
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Salamah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Ishaq menceritakan kepadaku dari Muhamamd, dari Sa‘id, ia berkata: Sejumlah orang Yahudi mendatangi Nabi s.a.w. lalu berkata: “Wahai Muhammad, inilah Allah yang telah menciptakan ciptaan ini, lalu siapa yang telah menciptakan-Nya?” Nabi s.a.w. pun marah hingga tampak pada raut wajah beliau, beliau marah kepada mereka karena Tuhannya. Jibril a.s. lalu mendatangi beliau untuk menenangkannya, dan berkata: “Tenangkan dirimu, hai Muhammad.” Jibril mendatangi beliau dengan membawakan jawaban dari Allah atas pertanyaan mereka: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Tatkala Nabi s.a.w. membacakan ayat tersebut kepada mereka, mereka berkata: Ceritakan kepada kami tentang Tuhanmu, bagaimana bentuk-Nya, bagaimana kemurkaan-Nya, dan bagaimana lengan-Nya? Nabi s.a.w. pun marah lagi, lebih hebat dari kemarahannya yang pertama, dan beliau memarahi mereka. Jibril lalu mendatangi beliau dan berkata kepada beliau seperti sebelumnya. Jibril pun membawakan jawaban atas pertanyaan mereka: (وَ مَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَ الْأَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ السَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِيْنِهِ، سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ.) “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (az-Zumar [39]: 67). (2490).
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Sa‘id bin Abi ‘Arubah, dari Qatadah, ia berkata: Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata: “Ceritakan kepada kami perihal Tuhanmu.” Lalu turunlah ayat: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa….”. (2491).
Jika maknanya sebagaimana yang kami kemukakan, maka penakwilannya adalah, katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang yang bertanya kepadamu perihal sifat dan bentuk Tuhanmu, bahwa Tuhan yang kalian tanyakan kepadaku adalah Allah yang berhak terhadap ibadah segala sesuatu, tidaklah layak ibadah kecuali untuk-Nya, dan tidak layak bagi sesuatu pun selain-Nya.
Para ahli bahasa ‘Arab berbeda pendapat tentang rafa‘-nya (أَحَدٌ).
Sebagian berkata: “Penyebab rafa‘-nya adalah kata (اللهُ), dan (هُوَ) merupakan penopang yang setara dengan huruf hā’ pada redaksi (إِنَّهُ أَنَا اللهُ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ) “Sesungguhnya, Akulah Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.” (an-Naml [27]: 9).
Ada yang mengatakan bahwa (هُوَ) adalah rafa‘ walaupun nakirah dengan permulaan redaksi, seperti ungkapan (هذَا بَعْلِيْ شَيْخٌ) “ini suamiku sudah tua”. Lafazh (هُوَ اللهُ) “Dialah Allah,” merupakan jawaban atas pertanyaan orang-orang kepada beliau: “Apa yang engkau sembah?” Beliau menjawab: (هُوَ اللهُ) “Dialah Allah.” Kemudian ditanyakan lagi: “Apa itu?” Beliau menjawab: (أَحَدٌ) “Yang Maha Esa.”
Ada yang mengatakan bahwa (أَحَدٌ) bermakna wahid (satu atau tunggal atau esa), dan mengingkari bahwa penopangnya adalah redaksi permulaan dengan ini, sehingga sebelumnya adalah salah satu partikel syakk, seperti kata zhann dan saudara-saudaranya, kana dan serupanya, atau in dan serupanya. Pendapat kedua ini lebih mirip dengan madzhab ahli bahasa.
Para ahli qira’at berbeda pendapat mengenai ini.
Semua ahli qira’at seluruh negeri membacanya (أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ.) (2492), dengan tanwin pada (أَحَدٌ), selain Nashr bin ‘Ashim dan ‘Abdulalh bin Abi Ishaq, karena diriwayatkan dari keduanya tanpa tanwin, yaitu (أَحَدُ. اللهُ.). Seolah-olah demikian pula bacaan orang yang mengatakan bahwa i‘rab bila bersambung dengan huruf alif dan lam, atau sukun dari partikel, maka kadang dibuang, sebagaimana ucapan penyair berikut ini:
كَيْفَ نَوْمِيْ عَلَى الْفِرَاشِ وَ لَمَا |
تَشْمَلِ الشَّامَ غَارَةٌ شَعْوَاءُ |
تُذْهِلُ الشَّيْخَ عَنْ يَنِيْهِ وَ تُبْدِيْ |
عَنْ خِدَامِ الْعَقِيْلَةُ الْعَذْرَاءُ |
“Bagaimana aku bisa tidur di atas kasur, sementara serangan dahsyat belum mencapi Syam.
Memisahkan orang tua dari anak-anaknya dan menampakkan pelayanan, yang pandai lagi perawan.” (2493).
Maksudnya adalah (عَنْ خِدَامٍ الْعَقِيْلَةُ)
Menurut kami, yang benar mengenai ini adalah dengan tanwīn, karena dua alasan:
Pertama, lebih fasih daripada yang lain, lebih populer, dan lebih bagus menurut orang ‘Arab.
Kedua, samanya alasan para ahli qira’at seluruh negeri untuk memilih tanwīn padanya. Ini sudah cukup sebagai bukti atas kebenarannya daripada yang lain. Kemudian tentang makna (أَحَدٌ) telah kami paparkan pada keterangan yang lalu, sehingga tidak perlu diulang di sini.
Firman-Nya: (اللهُ الصَّمَدُ) “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,” maksudnya adalah Sesembahan yang tidak layak ibadah kecuali bagi-Nya, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna (الصَّمَدُ) “yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”
Sebagian berkata: “Maksudnya adalah yang tidak berperut, tidak makan dan tidak minum.” Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- ‘Abd-ur-Rahman bin al-Aswad menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Rabi‘ah menceritakan kepada kami dari Salamah bin Sabur, dari ‘Athiyyah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) “yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2494).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abd-ur-Rahman menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Manshur, dari Mujahid, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ), yaitu al-mushmat, yakni yang tidak berperut.” (2495).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Waki‘menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Manshur, dari Mujahid, sama seperti itu.” (2496).
- Al-Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Al-Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Warqa menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah al-mushmat, yakni yang tidak berperut.” (2497).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abd-ur-Rahman dan Waki‘menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2498).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Waki‘menceritakan kepada kami, Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami, semuanya dari Sufyan, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, riwayat yang sama. (2499).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abd-ur-Rahman menceritakan kepada kami, ia berkata: Ar-Rabi‘ bin Muslim menceritakan kepada kami al-Hasan, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2500).
- ….. ia berkata: Ar-Rabi‘ bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibrahim bin Maisarah, ia berkata: Mujahid mengutusku kepada Sa‘id bin Jubair untuk menanyakan tentang lafazh (الصَّمَدُ). Ia lalu berkata: “(Maksudnya adalah) yang tidak berperut.” (2501).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Isma‘il bin Abi Khalid menceritakan kepada kami dari asy-Sya‘bi, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak memakan makanan.” (2502).
- Ya‘qub menceritakan kepada kami, ia berkata: Husyaim menceritakan kepada kami dari Isma‘il bin Abi Khalid, dari asy-Sya‘bi, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak memakan makanan dan tidak meminum minuman.” (2503).
- Abu Kuraib dan Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Waki‘menceritakan kepada kami dari Salamah bin Nabith dari adh-Dhahhak, ia berkata: Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2504).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Za’idah menceritakan kepada kami dari Isma‘il, dari ‘Amir, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak memakan makanan.” (2505)
- Ibnu Basysyar dan Zaid bin Ahzam menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Ibnu Daud menceritakan kepada kami dari al-Mustaqim bin ‘Abd-ul-Malik, dari Sa‘id bin al-Musayyab, ia berkata: Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2506).
- Diceritakan kepadaku dari al-Husain, ia berkata: Aku mendengar Abu Mu‘adz berkata: ‘Ubaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar adh-Dhahhak berkata mengenai firman-Nya: (الصَّمَدُ), ia berkata: “Maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2507).
- Al-‘Abbas bin Abi Thalib menceritakan kepadaku, ia berkata: Muhammad bin ‘Umar bin Rumi menceritakan kepada kami dari ‘Ubaidullah bin Sa‘id, penuntun al-A‘masy, ia berkata: Shalih bin Hayyan menceritakan kepadaku dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: Aku tidak mengetahuinya kecuali ia telah me-marfū‘-kannya, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2508).
Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, ia berkata: Bisyr bin al-Mufadhdhal menceritakan kepada kami dari ar-Rabi‘ bin Muslim, ia berkata: Al-Hasan berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2509).
- Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma‘mar, dari ‘Ikrimah, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak berperut.” (2510).
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah, yang tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Ya‘qub menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu ‘Ulayyah menceritakan kepada kami dari Abu Raja’, ia berkata: Aku mendengar ‘Ikrimah berkata mengenai firman-Nya: (الصَّمَدُ), bahwa maksudnya adalah, yang tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, tidak beranak dan tidak diperanakkan. (2511).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Ja‘far menceritakan kepada kami, ia berkata: Syu‘bah menceritakan kepada kami dari Abu Raja’ Muhammad bin Yusuf, dari ‘Ikrimah, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah, yang tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya.” (2512).
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah yang tidak beranak dan tidak pun diperanakkan. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Abu Ja‘far, dari ar-Rabi‘, dari Abul-‘Aliyah, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, karena tidak ada yang beranak kecuali akan diwarisi, dan tidak ada yang diperanak kecuali akan mati. Jadi, Allah ta‘ala mengabarkan kepada mereka bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak akan mati.” (2513).
- Ahmad bin Muni dan Mahmud bin Kindasy menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Abu Sa‘id ash-Sha‘ani menceritakan kepada kami, ia berkata: “Orang-orang musyrik berkata kepada Nabi s.a.w.: “Ceritakan kepada kami perihal Tuhanmu”. Allah lalu menurunkan ayat: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ.) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,” karena tidak ada sesuatu yang dilahirkan kecuali akan mati, dan tidak sesuatu pun yang mati kecuali akan diwarisi, sedangkan Allah s.w.t. tidak akan pernah mati dan tidak akan diwarisi. (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” serta tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (2514).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Waki‘menceritakan kepada kami dari Abu Ma‘syar, dari Muhammad bin Ka‘b, tentang ayat (الصَّمَدُ), bahwa maksudnya adalah, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (2515).
Ada yang mengatakan bahwa itu adalah tuan (majikan) yang telah mencapai puncak status majikannya. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Abus-Sa’ib menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Mu‘awiyah menceritakan kepadaku dari al-A‘masy, dari Syaqiq, tentang ayat (الصَّمَدُ) ia berkata: “Maksudnya adalah tuan (majikan) yang telah mencapai puncak status majikannya.” (2516).
- Abu Kuraib, Ibnu Basysyar, dan Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, mereka berkata: Waki‘menceritakan kepada kami dari al-A‘masy, dari Abu Wa’il, tentang ayat (الصَّمَدُ), ia berkata: “Maksudnya adalah tuan (majikan) yang telah mencapai puncak status majikannya.”
Aku Kuraib dan Ibnu ‘Abd-il-A‘la tidak berkata: “status majikannya.” (2517).
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari al-A‘masy, dari Abu Wa’il, riwayat yang sama.” (2518).
- ‘Ali menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu‘awiyah menceritakan kepadaku, dari ‘Ali, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya: (الصَّمَدُ), ia berkata: “(Maksudnya adalah) tuan (majikan) yang telah sempurna status majikannya, yang mulia dan telah sempurna kemuliaannya, yang agung dan telah sempurna ilmunya, yang bijaksana segala bentuk kemuliaan serta penguasaannya, yaitu Allah s.w.t., yang memiliki sifat-sifat ini, dan tidak layak disandangkan kepada selain-Nya.” (2519).
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah kekal dan tidak fana. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‘id menceritakan kepada kami dari Qatadah, mengenai firman-Nya: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”.” Ia berkata: “Al-Hasan dan Qatadah berkata: “(Maksudnya adalah) yang kekal setelah para makhluk-Nya”. Ini surah yang sama sekali tidak menyinggung tentang perkara dunia dan akhirat.” (2520).
- Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma‘mar, dari Qatadah, ia berkata: “Lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah yang kekal.” (2521).
Abu Ja‘far berkata: Menurut orang ‘Arab, lafazh (الصَّمَدُ) maksudnya adalah tuan yang menjadi sandaran, yang tidak ada seorang pun di atasnya. Demikian juga sebutan bagi para pemuka, seperti dalam ungkapan penyair berikut ini: (2522).
أَلَا بَكَّرَ النَّاعِيْ بِخَيْرَيْ بَنِيْ أَسَدْ
بِعَمْرِو بْنِ مَسْعُوْدٍ وَ بِالسَّيِّدِ الصَّمَدْ
“Ingatlah, orang bersegera mengumumkan kebaikan Bani Asad
Dan ‘Amr bin Mas‘ud sebagai tuan yang menjadi sandaran.” (2523).
Az-Zarbaqan berkata:
وَ لَا رَهِيْنَةَ إِلَّا سَيِّدٌ صَمَدُ
“Dan tidak ada penjamin selain tuan yang menjadi sandaran.” (2524).
Jika demikian, maka makna yang paling tepat untuk kalimat ini adalah makna yang dikenal dari perkataan bahasanya kaum ketika diturunkannya al-Qur’an. Seandainya hadits Ibnu Buraidah dari ayahnya statusnya shaḥīḥ, maka itu merupakan pendapat yang paling shaḥīḥ, karena Rasulullah s.a.w. lebih mengetahui maksud Allah s.w.t. dan apa yang diturunkan kepada beliau.
Firman-Nya: (لَمْ يَلِدْ) “Dia tidak beranak,” maksudnya adalah, tidak fana, karena tidak ada sesuatu pun yang beranak kecuali fana dan bermula.
Firman-Nya: (وَ لَمْ يُوْلَدْ) “Dan tidak pula diperanakkan,” maksudnya adalah, tidak pula baru yang dulunya tidak ada kemudian ada, karena setiap yang diperanakkan (dilahirkan), berarti sebelumnya tidak ada, padahal Allah ta‘ala Maha dahulu dan tetap, abadi dan tidak bermula, serta tidak sirna dan tidak fana.
Firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ini.
Sebagian mengatakan bahwa maknanya adalah, dan tidak ada yang setara dengan Dia, dan tidak ada pula yang menyerupai-Nya. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Abu Ja‘far, dari ar-Rabi‘, dari Abul-‘Aliyah, tentang firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “Tidak ada yang menyerupai-Nya dan setara dengan-Nya, serta tidak ada sesuatu pun yang seperti Dia.” (2525).
- Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‘id menceritakan kepada kami dari Qatadah, dari ‘Amr bin Ghailan ats-Tsaqafi (saat itu ia pemimpin Bashrah), dari Ka‘b, ia berkata: “Sesungguhnya Allah ta‘ala telah melandasi langit yang tujuh dan bumi yang tujuh di atas surah ini: (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. Sesungguhnya Allah, tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (2526).
- ‘Ali menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu‘awiyah menceritakan kepadaku dari ‘Ali, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (2527).
- Al-Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Al-Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Warqa menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, tentang ayat: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “Maknanya adalah, yang serupa.” (2528).
Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah, Dia tidak beristri. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:
- Ibn Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abd-ur-Rahman menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari ‘Abd-ul-Malik Ibnu Abjar, dari Thalhah, dari Mujahid, mengenai firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “(Maknanya adalah) istri.” (2529).
- Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Ibnu Abjar, dari Thalhah, dari Mujahid, riwayat yang sama. (2530).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Idris menceritakan kepada kami dari ‘Abd-ul-Malik, dari Thalhah, dari Mujahid, riwayat yang sama. (2531).
- Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Ibnu Abjar, dari seorang laki-laki, dari Mujahid, mengenai firman: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “(Maknanya adalah) istri.” (2532).
- Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata Waki‘menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari ‘Abd-ul-Malik bin Abjar, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mujahid, mengenai firman-Nya: (وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia,” ia berkata: “(Maknanya adalah) istri.” (2533).
- Abus-Sa’ib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Idris menceritakan kepada kami dari ‘Abd-ul-Malik, dari Thalhah, dari Mujahid, riwayat yang sama.” (2534).
Dalam perkataan orang ‘Arab, kata al-kufu’, al-kafī’, dan al-kifā’ artinya sama, yaitu serupa dan setara. Contohnya adalah perkataan Nabighah bin Dzibyan berikut ini:
لَا تَقْذِفَنِّيْ بِرُكْنٍ لَا كِفَاءَ لَهُ
وَ لَوْ تَأَثَّفَكَ الْأَعْدَاءُ بِالرَّفَدِ
“Janganlah kau lemparkanku ke sudut yang tidak serupanya,
Walaupun para musuh mengepungmu dengan rapat.” (2535).
Para ahli qirā’at berbeda bacaan pada lafazh (كُفُوًا) “yang setara.”
Ahli qirā’at Bashrah membacanya (كُفُوًا), dengan dhammah pada huruf kāf dan fā’.
Sebagian ahli qirā’at Kufah membacanya dengan sukūn pada huruf fā’ yang disertai hamzah (كُفْئًا). (2536).
Pendapat yang benar adalah, keduanya merupakan logat (dialek) yang dikenal, dan keduanya pun merupakan qirā’at yang masyhur. Jadi, dengan qira’at manapun seorang qāri’ membacanya, telah dianggap benar.
Akhir surah al-Ikhlāsh, alhamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn.